Warisan Utang Pemerintah Jokowi, Telah Nyata Mengancam Prabowo dan Rakyat

Foto: Net

Oleh: Agusto Sulistio (Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)

JAKARTA || Ekpos.com – Kontroversi penarikan gas subsidi 3 kg dari warung eceran telah memicu gejolak sosial di berbagai daerah. Antrean panjang warga untuk mendapatkan gas melon bersubsidi pada awal Februari 2025 bukan sekadar soal teknis distribusi, melainkan cerminan dari minimnya kas negara akibat beban fiskal yang berat.

Di tingkat elit, muncul pro dan kontra antara Presiden dan Menteri ESDM terkait kebijakan ini. Namun, perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas keputusan tersebut bukanlah inti persoalan. Faktanya, negara sedang mengalami keterbatasan anggaran, yang berujung pada pemangkasan subsidi dan kebijakan kontroversial seperti ini.

Jauh sebelum polemik ini mencuat, dalam Diskusi Reboan Indonesia Democracy Monitor (InDemo) menjelang pelantikan Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto, berbagai isu ekonomi telah dibahas. Salah satu perhatian utama adalah beban utang jumbo warisan pemerintahan Jokowi, yang diprediksi akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo. Kini, prediksi itu mulai terbukti. keterbatasan anggaran semakin nyata, dan rakyatlah yang pertama merasakan dampaknya.

Warisan utang jumbo pemerintahan Jokowi telah nyata membuatv sulit Pemerintahan Prabowo Subianto, antara lain fiskal yang kurus, didepan mata jatuh tempo utang Rp.800 triliun (periode 2025) dan beban bunga utang sebesar Rp.552 triliun. Kondisi ini membatasi kemampuan negara dalam membiayai program strategis, termasuk subsidi gas elpiji (LPG) 3 kg yang menyerap Rp.87,6 triliun.

Sejak awal kepemimpinan Joko Widodo (2014-2024), utang pemerintah melonjak drastis dengan dalih pembangunan infrastruktur. Dari sekitar Rp.2.600 triliun pada 2014, utang membengkak menjadi lebih dari Rp8.000 triliun pada akhir 2023. Proyek-proyek besar seperti jalan tol, pelabuhan, dan kereta cepat dibiayai dengan utang, tanpa memastikan pemasukan negara cukup untuk membayarnya. Kini, hampir 40% penerimaan negara harus digunakan hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang.

Alhasil terjadi defisit APBN yangb semakin dalam sehingga memaksa pemerintah menambah utang baru. Disisi lain memberlakukan rasionalisasi anggaran di semua sektor, dengan melakukan pemangkasan belanja sosial dan subsidi. Hal ini dapat mendorong terbukanya potensi gejolak sosial jika subsidi energi dikurangi, karena masyarakat kecil akan terpukul. Mau tak mau harus memilih keputusan pahit. InDemo dalam diskusi rutinnya senantiasa mengharap dan menghimbau agar semua kalangan, khususnya internal lembaga Indonesia Democracy Monitor tetap ciptakan suasana kondusif, menahan diri dengan gerakan: Jaga kesehatan, perbanyak ibadah/doa, serta saling membantu sesama jika mampu.

*Warisan Utang yang Berujung Krisis*

Sejarah telah menunjukkan bahwa utang yang tidak terkendali dapat berujung pada kehancuran ekonomi dan gejolak sosial. Berikut beberapa contoh nyata terjadi di Yunani (2010-2015), bangkrut akibat utang yang membengkak. Pemerintah Yunani selama 1990-an hingga awal 2000-an melakukan pinjaman besar untuk membiayai infrastruktur dan belanja sosial, serupa dengan kebijakan Jokowi. Pada 2010, utang Yunani mencapai lebih dari 175% dari PDB, memicu kegagalan membayar cicilan utang dan bailout dari Uni Eropa.

Dari keadaan itu, Yunani melakukan pemangkasan besar-besaran belanja sosial dan subsidi. Sehingga menimbulkan gelombang protes besar-besaran di Athena (2011-2015), dipimpin oleh Alexis Tsipras (PM Yunani saat itu). Angka pengangguran melonjak hingga 27%, yang memicu ketidakstabilan politik.

Hal serupa terjadi di Argentina (2001 & 2018), utang yang berujung kerusuhan, akibat pemerintah Argentina sejak 1990-an mengambil utang luar negeri besar untuk membiayai program populis, termasuk subsidi energi dan pangan. Saat itu Argentina gagal membayar utang US$.132 miliar, menjadi default terbesar dalam sejarah.

Terjadi demonstrasi besar-besaran dan kerusuhan sosial pada Desember 2001, memaksa Presiden Fernando de la Rúa mundur. Tahun 2018 Argentina kembali menghadapi tekanan fiskal akibat utang yang tidak terkendali. IMF memberikan bailout US$57 miliar, tetapi kebijakan penghematan malah memicu demonstrasi besar.

Selanjutnya utang besar yang mengakibatkan Presiden Sri Lanka (2022) kabur karena bangkrut. Saat itu pemerintah Sri Lanka di bawah Gotabaya Rajapaksa meminjam utang luar negeri besar-besaran untuk proyek infrastruktur, tanpa perencanaan matang. Sehingga pada 2022, Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri senilai US$51 miliar. Cadangan devisa habis, menyebabkan krisis pangan dan energi. Alhasil pada Juli 2022, ribuan demonstran menyerbu Istana Presiden, memaksa Gotabaya Rajapaksa melarikan diri ke luar negeri. Menurut informasi berbagai media internasional negaranya mengalami inflasi hingga 70%, harga bahan pokok melonjak drastis.

*Akankah Indonesia Mengalami Krisis Serupa?*

Jika pemerintahan Prabowo tidak segera mengambil langkah tegas dalam mereformasi kebijakan fiskal, Indonesia berisiko mengalami krisis yang mirip dengan negara-negara di atas. Potensi dampak jika tidak ada perbaikan:

Defisit APBN makin besar dapat mendorong Pemerintah harus terus berutang, memperburuk krisis. Salah satu antisipasinya adalah Subsidi LPG & BBM bisa dikurangi, walaupun pasti Masyarakat kecil paling terkens dampak dan dapat memicu gelombang protes.

Ketergantungan impor energi meningkat sehingga Indonesia dapat semakin rentan terhadap gejolak harga global. Potensi gejolak sosial & politik, ekonomi memburuk, bisa terjadi demonstrasi besar seperti Sri Lanka.

*Solusi Reformasi Fiskal Sebelum Terlambat*

Dari berbagai kajian dan berbagai sumber terpercaya yang mengulas negara krisis diatas guna antisipasi terjadinya skenario buruk, maka pemerintahan Prabowo perlu menekan defisit anggaran dengan memangkas program yang tidak produktif. (Hal ini telah dilakukan langkah-langkah efisiensi yang dipimpin Presiden Prabowo).

Mengoptimalkan pendapatan negara melalui pajak yang lebih efektif dan penguatan industri dalam negeri, tanpa menambah beban ekonomi rakyat. (Penerapan PPN 21% yang tidak membebani rakyat telah diputuskan Prabowo)

Menyesuaikan subsidi secara bertahap agar hanya dinikmati oleh masyarakat miskin, dengan distribusi berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Mengurangi ketergantungan pada impor energi, dengan percepatan transisi ke energi alternatif. Kemudian yang tidak kjlah penting adalah menegosiasikan ulang utang luar negeri, agar beban bunga dapat dikurangi dan pembayaran lebih fleksibel.

*Penutup*

Indonesia saat ini berada dalam fase kritis akibat warisan utang jumbo dari pemerintahan Jokowi. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini dapat memicu krisis fiskal, lonjakan harga kebutuhan pokok, dan ketidakstabilan sosial.

Pelajaran dari Yunani, Argentina, dan Sri Lanka menunjukkan bahwa utang yang tidak terkendali bisa menjadi awal dari kehancuran ekonomi dan politik. Jika pemerintah Prabowo tidak segera mengambil langkah reformasi fiskal yang tegas, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami nasib serupa dengan gelombang protes besar, krisis ekonomi, dan bahkan potensi kejatuhan pemerintahan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa negara yang gagal mengelola utangnya akan jatuh dalam krisis. Kini, bola ada di tangan Prabowo, penulis berkeyakinan Presiden kita akan menyelamatkan Indonesia dari jebakan utang, dan membiarkan bom waktu ini meledak. Untuk itu, marilah kita menahan diri dan mendukung segala program perbaikan pemerintah untuk keluar dari masa sangat sulit ini.

Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 6 Februari 2025, 17:27 Wib.

Total
0
Shares
Previous Article

Kasad: Agroforestry Gunung Hejo, Perkuat Ketahanan Pangan dan Efektif Kurangi Impor

Next Article

Saksi Sebut Cek Atas Nama Miming Theniko Sebanyak 26 Lembar Telah Dicairkan 

Related Posts