Ilustrasi: Presiden RI ke-7 Joko Widodo dan Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto
Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik))
JAKARTA || Ekpos.com – Berbagai bukti telah dilakukan oleh Prabowo untuk “mengeksekusi” beberapa kebijakan penting ‘residu’ Jokowi melalui berbagai fakta kebijakan Politik Ekonomi dan Hukum.
Namun, nampaknya mayoritas rakyat masih melihat sebelah mata apa yang telah dilakukan positif oleh Presiden RI ke-8 kepada mantan presiden ke-7 Jokowi. Justru Prabowo pelan tapi pasti (slow but sure) walau terus berulang memperlihatkan “kesetiaan kamuflasenya”, bolak balik menghadap Jokowi. Bahkan terakhir, Senin,10 Februari 2025 dalam materi sambutannya di acara Kongres ke-XVIII Muslimat NU digelar di Jatim Expo, Surabaya Prabowo menyatakan, “lucu ada pihak-pihak yang ingin memisahkan saya dengan Jokowi” dan materi narasi sebelumnya Prabowo mengatakan bahwa, yang mengenalkan dirinya dengan Khofifah Gubernur Jawa Timur terpilih 2024, adalah Jokowi, lalu dibenarkan oleh Khofifah dengan anggukan kepala.
Lalu apakah bangsa ini akan melihat sejarah hukum yang kecele atau terperanjat kagum, andai oleh anggota KPK yang baru kelak memproses hukum Khofifah atas perkaranya yang mengendap terkait laporan di KPK 4 Juni 2024 saat dirinya (2014-2018) menjabat Menteri Sosial?
Sure but slow, inilah general cermin politik yang pragmatis, yang terbukti populer dimata umat bangsa ini, terkait strategi yang dilakoni (Prabowo), yang sejak awal enggan dengan Program TAPERA, Kemudian mem-barrier PSN PIK 2 seiring dengan pencabutan pagar laut di pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Tangerang, milik para taipan dari kelompok oligarki yang sesuai teori kekuasaan dipimpin oleh Jokowi, sehingga bertambah bukti, kementrian ATR/Kepala BPN mengungkap “dengan bantuan” suara vokal aktivis agar pemerintahan KMP (Kabinet Merah Putih) stop Proyek PSN PIK 2 yang menyalahi izin peruntukan dan berikut temuan mafia oligarki Aguan cs dengan modus memanipulasi data, sehingga terbit ratusan HGB dan belasan SHM bahkan ditengarai, ada isu beberapa dari kawasan “asli laut” yang sudah dipagari bambu semua akan diurug dan bakal atau telah dijual sebagiannya kepada pihak asing (ala komprador)?
Lalu selebihnya banyak publik masih menunggu, perihal proses hukum terhadap Jokowi, tidak hanya penulis yang menyatakan Jokowi pantas di hukum seumur hidup sebanyak 3 kali atau hukuman mati (artikel dan orasi di Patung kuda monas), oleh sebab multi kejahatan (nepotisme, obstruksi hukum, kriminalisasi dan pembiaran serta disobedient) dan kesemua dugaan delik telah selesai dilakukan formal dan materil, (akumulasi tuntutan) yang _nano nano_ atas dasar asas legalitas telah terbuktinya terjadinya delik gabungan perbuatan atau concursus realis, dengan pola splitsing vide pasal 64 KUHP, juga pendapat tuntutan hukuman mati terhadap Jokowi, di referensi oleh pendapat Pakar Hukum Pidana Abdulah Hehamahua eks penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2005–2013 yang menyatakan, “Jokowi dari sisi sistim hukum yang dianut oleh KPK (Pasal 2 Jo. Pasal 3 UU. Tipikor) dapat dihukum mati atau setidaknya berkisar penjara selama 70 tahun”.
Dan hal kearah tuntutan “Adili Jokowi” sudah banyak dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah di tanah air. Sehingga kegusaran Jokowi nampak dari berbagai isu yang mencuat, diantaranya “Jokowi melalui sisa-sisa kekuatan politik hukumnya”, KPK Tersangkakan/TSK-kan Hasto Kristiyanto, sampai dengan muncul beberapa gambar video isu tak penting, namun cukup memakan perhatian publik, “Jokowi naik motor dan Jokowi tandatangani sebuah motor “.
Selanjutnya, sejarah akan membuktikan apakah hukum akan ditegakkan sesua janji Prabowo dan memang sebuah keharusan seorang Presiden RI melakukan law enforcement, maka Presiden RI Prabowo harus dibantu secara faktual agar mendapatkan justifikasi (pembenaran) dan tak terelakan bahwa adli Jokow adalah demi kepentingan umum, demi kepentingan persatuan serta demi ketertiban dan stabilitas politik ekonomi hukum dan budaya, disertai bukti dan tekad yang nyata dan sungguh-sungguh, “rakyat harus keras memotivasi Presiden Prabowo dengan moral pressure yang volumenya berlipat ganda dari suara realitas penolakan terhadap PSN PIK 2 yang sedang berlangsung, dengan nyata mengimplementasikan sebagai representasi harapan rakyat, “bahwa hukum yang tertinggi adalah ditegakkannya keadilan” sesuai adagium ‘salus populi supreme lex esto’, melalui beberapa pola untuk mencapai harapan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat bangsa ini.(Panca Sila dan Teori tujuan bernegara sesuai alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945) dengan menerapkan teori yang “tidak omon-omon” melainkan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) sebagai fakta pengejawantahan serius metode fiat justicia ruat coelum, atau dalam analogi penulis, tidak cukup sekedar dengan suara vokal, namun mesti dibuat realitas bahwa problematika hukum yang ditimbulkan oleh Jokowi dan oligarki, adalah merugikan kepentingan Nasional, sehingga nyata dan ideal dibutuhkan implementasi teori _turun rame-rame, semata demi fungsi hukum, kepastian (legality) manfaat (utility) dan fungsi hukum keadilan/ iustitia (justice)._