Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
JAKARTA || Ekpos.com – KPK sebelum melakukan penahanan terhadap seorang Tersangka, harus mengkaji lebih dalam apa makna obstruksi hukum sesuai sistim hukum, baik yang ada di dalam UU. Tentang TIPIKOR dan yang terdapat di dalam KUHP.
Sehingga KPK harus paham dengan seksama apa maksud dan contoh perbuatan yang dapat dikatakan sebuah kejahatan Korupsi, Gratifikasi dan Delik Obstruksi atau Delik Perintangan (obstruction of justice), berikut asas asas dan teori hukum pidana dan implikasi terhadap jati diri dan nama baik seseorang yang ditahan tanpa memiliki alat bukti yang cukup, sehingga beresiko melanggar HAM milik diri Tersangka, kegiatan usaha atau profesi yang terhambat, termasuk berdampak kepada moralitas keluarga Tersangka atau usaha.
KPK keliru berdalil atas tuduhannya selama ini yang fokus menuduh Hasto Kristiyanto melakukan obstruksi (perintangan) terhadap kegiatan penyidikan kasus korupsi yang sedang dilakukan atau ditangani oleh KPK, namun yang disidik untuk bahan dakwaan, realitas nya adalah pasal kasus gratifikasi.
Karakteristik diantara delik korupsi dan delik gratifikasi dalam ruang lingkup kejahatan menurut lex specialist UU. Tentang Pemberantasan TIPIKOR, memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Berada dalam satu kitab UU. Tentang Pemberantasan TIPIKOR tapi berbeda pasal,
2. Sama-sama secara subtansial memiliki makna adanya penyimpangan seorang pejabat publik atau penyelenggara negara, atau telah atau yang bakal menimbulkan kerugian perekonomian dan atau keuangan negara,
3. Berbeda wujud praktik perbuatan atau pelaksanaannya.
Sehingga penyidikan yang dilakukan oleh Para Penyidik KPK terhadap Hasto dalam hubungannya terkait dengan Harun Masiku yang melarikan diri, oleh karenanya *_bagaimana KPK, dapat menyatakan Hasto obstruksi terhadap kasus korupsi, karena syarat utama tuduhan terhadap pelaku delik korupsi adalah, harus terdapat unsur yang telah mengakibatkan faktor kerugian keuangan atau perekonomian negara secara nominal’_*
*_Maka alhasil dalam perspektif logika hukumnya, “Penuntut Umum KPK (Jaksa KPK) sulit dapat membuktikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh gratifikasi atau suap antara orang sipil (Harun Masiku) kepada orang sipil (Hasto Kristiyanto/HK)”._*
Lalu kenyataannya KPK menuntut pasal obstruksi pada ranah korupsi, sedangkan peristiwa (materil) sesungguhnya adalah gratifikasi antara seorang sipil dengan sipil? Bertambah rancu, karena jika yang disuap bernama Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP namun penyuapnya belum pernah terbukti ada pengakuannya dalam BAP hasil Penyidikan KPK serta pelaku penerima suap sesungguhnya yang tercatat dalam dokumentasi negara, Wahyu Setiawan (WS) telah mendapat vonis inkracht dan dalam putusannya, WS menyatakan tidak pernah terima uang dari Hasto. Lalu Hasto terima suap dari siapa? Bukan kelak tuntutan yang bermula dari surat dakwaan menjadi tidak cermat, kabur (obscuur).
Bahkan KPK akan kesulitan membuktikan peristiwa delik korupsi yang dimaksud (diinginkan) KPK terhadap yang dilakukan Hasto, apakah sudah benar merupakan domain atau kompetensi absolut KPK untuk menyidik dan melakukan penuntutan sehingga yurisdiksi-nya memang merupakan ranah pengadilan TIPIKOR ? Karena objek perkara in casu, benar-benar sebuah perilaku perbuatan transaksional antara sesama pejabat publik, atau pejabat publik/penyelenggara negara dengan korporasi.
Namun unsur-unsur peristiwa tindak pidana untuk dakwaan yang menjadi alas tuntutan yang sering dipublis oleh KPK dimata hukum, justru menunjukan peristiwa yang dilakukan Hasto adalah delik gratifikasi dan obstruksi (perintangan) terhadap penyidikan korupsi?
Sehingga otomatis, unsur-unsur tindak pidana dalam konteks perkara yang berhubungan dengan Harun Masiku dan Hasto, melahirkan pertanyaan hukum, sesuai perspektif dan logika hukum, yakni; *_’berapa kerugian perekonomian negara yang ditimbulkan serta dapat dibuktikan oleh KPK dalam persidangan kelak?_*
Maka eksepsi Hasto bila dakwaan di persidangan kelak tidak jelas atau tidak cermat, cenderung tuntutan perkara pidana terhadap Hasto bakal dapat dihentikan melalui putusan sela, oleh sebab hukum:
1. Dakwaan tidak jelas/ kabur atau tidak cermat (obscuri libeli), atau,
2. Dakwaan perkara dihentikan atas dasar ‘eksepsi kompetensi absolut’ perkara bukan ranah KPK melainkan yurisdiksi peradilan umum, hal terkait kasus lex generalis. Namun pada kenyataannya belum pernah ada laporan dari seseorang yang bernama Harun Masiku (HM) yang menganggap uang atau harta miliknya dirugikan karena digelapkan (penggelapan) atau ditipu (penipuan) atau bahkan sebagai pemerasan terhadap diri si Pelapor atau korban pelapor (delik aduan) oleh Si Terlapor Hasto.
Oleh karenanya oleh sebab hukum, kedua alternatif jenis Putusan Sela tersebut diatas oleh putusan Majelis Hakim sebelum atau diluar pokok perkara, tentu saja bisa menjadi kenyataan, namun permasalahannya Hasto telah menjalani penahanan atas dasar hak subjektivitas penyidik KPK namun ternyata belakangan terbukti penahanan terhadap Hasto/HK keliru.
Dan selebihnya pun apabila perkara berlanjut dan perbuatan Hasto terbukti, bisa saja vonis majelis hakim membebaskan Hasto secara onslag, dikarenakan walau terbukti, ternyata apa yang dilakukan oleh Terdakwa Hasto perkara tersebut dinilai oleh Majelis Hakim TIPIKOR, bukan merupakan perkara korupsi, tidak sesuai dakwaan Jo. Tuntutan dan alat bukti, yakni barang bukti surat atau berupa benda atau bukti fisik lainnya, plus saksi/keterangan kesaksian yang hadir dihadapan hakim majelis persidangan.
Atau Hasto dibebaskan oleh sebab eksepsi dilatoir, karena terhadap dakwaan yang dijadikan tuntutan adalah prematur, sehingga vonis putusan setelah adanya pemeriksaan pada pokok perkara, dikarenakan oleh sebab hukum si tertuduh utama pemberi suap Harun Masiku/HM belum didapat pengakuannya atau keterangan belum diperoleh oleh penyidik KPK perihal bukti HM memberikan uang suap kepada Hasto untuk diberikan kepada Wahyu Setiawan/WS, mantan anggota KPU RI. Namun yang pastinya, eks Terpidana WS sesuai isi vonis putusan terhadap dirinya, WS mengakui telah menerima uang suap dari HM terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagai anggota legislatif (DPR RI) dari Partai PDIP. Dan eks anggota KPU RI (WS) dalam vonis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dinyatakan dalam pertimbangan putusan yang terdapat irah-irah, bahwa Terdakwa WS tidak pernah menerima uang dari Hasto Sekjen PDIP. Serta pada kenyataannya Hasto memang tidak pernah mendapatkan sanksi dari Badan Kehormatan PDIP atas peristiwa sesama kader PDIP (HM-HK) terkait kasus suap untuk proses PAW.
Demikian, amicus curiae secara sederhana (singkat padat) untuk dipersembahkan kepada KPK RI selaku lembaga penegak hukum (law behavior) anti rasuah serta Para Anggota Majelis Hakim TIPIKOR sebagai partisipasi masyarakat (pihak ketiga) sebagai friends of the court untuk dapat menjadi pertimbangan hukum demi mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran (materiele warheeid).
Penulis ‘tercatat’ sebagai dosen hukum pidana di Universitas _Satyagama_.