Prof Binsar Gultom Minta Segera Dibentuk UU Pelaksanaan Pidana Mati

 

JAKARTA || Ekpos.com – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru akan berlaku secara efektif pada 2 Januari 2026.

Tapi ternyata sampai sekarang pemerintah belum membentuk peraturan soal tata cara pelaksanaan pidana mati. Padahal, hal itu telah diatur secara eksplisit dalam pasal 102 KUHP baru yang mengatakan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam undang-undang.

“Tanpa pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut akan menyulitkan bagi para aparat penegak hukum (polisi, jaksa/KPK dan hakim) di dalam melaksanakan pidana mati seperti telah diatur dalam pasal 100 sd pasal 101 KUHP,” kata Prof Binsar Gultom saat berbincang dengan Awak Media, Rabu (5/3/2025).

Prof Binsar Gultom, selaku Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menyoroti ketentuan pasal 100 ayat (1) KUHP yang mensyaratkan penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun harus memperhatikan ‘adanya penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri terdakwa’.

“Bagaimana mungkin hakim bisa memastikan persyaratan itu terpenuhi, jika hanya diketahui hakim sekejap dalam proses persidangan berlangsung disaat pemeriksaan terdakwa?,” ungkapnya.

Menurut Prof Binsar Gultom selaku dosen di berbagai kampus ini, ketentuan ayat (1) tersebut lebih tepat ditempatkan pada pasal 100 ayat (4) KUHP, yang telah menegaskan jika masa percobaan selama 10 tahun terdakwa telah menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati berubah menjadi ‘pidana seumur hidup’ dengan keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung. Pada tahapan proses ini berarti status pelaku bukan lagi sebagai terdakwa di persidangan, tetapi sudah berstatus terpidana yang menjadi domain pembinaan dari Pemerintah c/q Lembaga Pemasyarakatan.

Karena itu, menurut Guru Besar pada Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini, meminta kepada Pemerintah agar ketentuan Pasal 100 ayat (1) diatas segera ‘direvisi’ dan tak perlu dibebankan kepada Hakim untuk menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan syarat seperti tersebut di atas.

“Biarlah kebebasan (independensi) tersebut diberikan kepada hakim untuk memutus perkara seperti telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Toh di dalam ketentuan pasal 100 ayat (6) KUHP telah ditegaskan, jika terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan tak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan 10 tahun, maka pidana mati secara mutatis-mutandis akan dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” ungkap mantan Hakim pemutus kopi maut bersianida ini.

Namun menjadi aneh lagi, tatkala permohonan grasi terpidana mati ditolak oleh Presiden dan pidana mati tersebut tidak dilaksanakan pihak pengeksekusi selama 10 tahun. Maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden (vide pasal 101 KUHP).

“Mandeknya pelaksanaan eksekusi hingga 10 tahun ternyata tidak diatur secara tegas di dalam penjelasan ketentuan ini,” urai Binsar.

Akan tetapi menurut Prof Binsar Gultom, selaku pengajar di USU Medan dan UKI Jakarta ini, mengharapkan dapat dijelaskan nanti secara tegas di dalam tata cara pelaksanaan pidana mati yang akan diatur tersendiri di dalam UU. (Red).

Total
0
Shares
Previous Article

Polri Selamatkan 11.407.315 Jiwa Dari Bahaya Narkoba, Dengan Penindakan 6.681 Kasus

Next Article

Permohonan RJ Ditolak Karena Bertentangan Dengan Nilai-nilai Dasar Perja Nomor 15 Tahun 2020

Related Posts