Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
JAKARTA || Ekpos.com – SBY pada hari pertama Pembukaan Kongres ke 6 Partai Demokrat di The Ritz-Carlton Hotel, Pacific Place SCBD, Jakarta Selatan (24/02/2025) menghajar Jokowi melalui politik “peluit anjing” (dog whistle), sebuah istilah yang isinya majas politik sebagai kode komunikasi politik dengan kelompok tertentu, walau tanpa secara terang-terangan kemana ditujukannya namun sebuah pesan yang mengandung kejelasan terkait apa yang disampaikan.
Diskursus “Peluit anjing” disampaikan oleh SBY kepada peserta Kongres, “bahwa selama 10 tahun berkuasa dirinya tak pernah cawe-cawe kepada partai oposisi maupun kepada partai koalisi.”
Tentu dibaca oleh publik, bahwa pluit anjing ini ditiupkan oleh SBY yang menyesali terhadap pola cawe-cawe Jokowi saat berkuasa, yang pernah ingin merebut partainya melalui Moeldoko.
Sama juga, komunikasi politik dengan pola “peluit anjing”, disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan mengatakan, ‘telah memaafkan’ pihak yang sempat berupaya mengambil alih partainya lewat Kongres Luar Biasa atau KLB (KLB) pada 2021. Tetapi AHY mengaku, tetap tidak akan melupakan upaya (Jokowi) saat menjadi presiden melalui eks Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang saat itu ingin mengambil alih posisi ketua umum Partai Demokrat.
Hanya saja oleh AHY, diskursus politik ‘pluit anjing’ juga disampaikan plus kepada sosok Anies Baswedan, dimana ketika Partai Demokrat sedang membangun bersama di ‘Poros Perubahan’ tiba-tiba ditinggalkan oleh Anies, sehingga semuanya terjadi begitu saja, namun akhirnya Demokrat menyadari inilah dinamika politik, ‘politik adalah politik’ yang kemudian Demokrat merasa diuntungkan saat ini atas perilaku ‘pengkhianatan’ Anies, akhirnya mereka turut mendapat kursi kekuasaan di Kabinet Merah Putih. Hal terkait khianat Anies kepada AHY, realitanya memang banyak kalangan pengamat politik serta publik pendukung Anies dan AHY yang terkejut dan menyesali keputusan poltik Anies merangkul Muhaimin, salah seorang tokoh pendukung Jokowi 3 periode, termasuk penulis saat itu sempat merasa kecewa, dan menulis artikel dengan judul _”KPK Tidak Jadikan Muhaimin TSK, Anies Sosok Bajingan Tengik”_ walau akhirnya tetap mendukung Anies oleh sebab karakteristik figur bakal capres yang nampak bakal jauh dari ide menuju hakekat idealnya ‘sebuah perubahan’.
Namun kesemua pesan lebihnya yang disampaikan oleh SBY dan disaat Kongres Partai Demokrat ke 6 tersebut, merupakan sinyal peringatan keras dari begawan politik SBY satu paket dengan anak kandungnya AHY, menyertai kalimat ‘saat berkuasa’ dan diikuti namun kami tidak lupa” tentu juga sebuah sinyal kuat sekaligus ditujukan kepada Prabowo yang sedang berkuasa agar tidak melakukan hal yang sama dengan Jokowi selaku guru politiknya. ***