Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijkan Umum Hukum dan Politik))
JAKARTA || Ekpos.com – Saksi dengan kategori testimonium de auditu adalah saksi yang memberikan keterangan berdasarkan informasi yang didapat dari orang lain, orang yang mengetahui peristiwa namun tidak langsung atau bukan dari yang dia alami dan lihat sediri atau pengalamannya sendiri.
Dalam Kitab Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981/KUHAP) yang berlaku di Indonesia, keterangan saksi de auditu pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Namun, Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 memperluas pengertian saksi dalam Pasal 1 Nomor 26 dan 27 KUHAP, sehingga keterangan saksi de auditu adalah sah sebagai bagian dari sebagai alat bukti petunjuk.
Namun catatan penting hukumnya, Hakim harus mempertimbangkan kapan keterangan saksi de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk. Hakim juga harus mempertimbangkan kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu berdasarkan pertimbangan berdasarkan teori keyakinan hakim (conviction in time).
Salah satu ilustrasi kasus testimonium de auditu terkait tuduhan pidana Korupsi? Gratifikasi yang menyangkut Hasto? adalah terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 881 K/Pdt/1983. Dalam putusan yurisprudensi dimaksud keterangan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu, *_sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti_*
Maka Hasto demi hukum, harus dibebaskan dari tuntutan yang berdasarkan dakwaan pada pokok perkara, terkait gratifikasi Harun Masiku, andai seluruh kesaksian a charge dari KPK terhadap Hasto kesemuanya merupakan saksi de auditu.
Sedangkan saksi langsung yang terjerat dengan permasalahan gratifikasi oleh Harun Masiku yaitu Wahyu Setiawan (sudah divonis bersalah dan inkracht) dalam kesaksiannya dan juga terdapat dalam isi putusan inkracht-nya jelas-jelas menyatakan bahwa, _”dirinya (Wahyu Setiawan) tidak pernah menerima uang dari Hasto terkait urusan Harun Masiku”._
Andai pun ada, dari kesaksian (saksi) lain, itu sebagai kendala hukum, karena akan ada dua pihak (a de charge/meringankan dan a charge/memberatkan) yang menyatakan Hasto tidak terlibat dan ada saksi yang menyatakan Hasto terlibat dengan perkara gratifikasi Harun Masiku dan Wahyu Setiawan. Tentu ini menjadi problematika atau kesulitan pertimbangan hukum untuk hakim, maka jalan satu-satunya agar Hakim dapat menghukum Hasto, oleh karenanya Jaksa KPK harus dapat menghadirkan Harun Masiku di persidangan di PN Jakarta Pusat. Sesuai Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 881 K/Pdt/1983.
Sehingga unsur terpenting adalah Harun Masiku sebagai pelaku utama tuduhan suap (gratifikasi) harus dapat dihadirkan, jika sebaliknya, maka perkara pidana dianggap tidak atau belum ada atau prematur, bahkan tidak berkejelasan delik apa yang dilanggar Hasto, apakah Harun Masiku korban pemerasan atau kah korban penipuan dan siap pelakunya? Bakal tidak jelas pastinya sehingga akan berhubungan dengan yurisdiksi badan peradilan (kompetensi absolut).
Selanjutnya oleh sebab kondisi hukum demikian _(Harun Masiku diperkirakan belum bisa dihadirkan, atau belum tertangkap oleh KPK)_ maka putusan Hakim terhadap Hasto kuat peluang untuk diputus oleh hakim dengan beberapa jenis alternatif vonis bebas demi hukum:
1. Vrijspraak, atau biasa diistilahkan oleh kalangan hukum sebagai ‘bebas murni’, karena perbuatan tidak terbukti dilakukan sehingga terdakwa harus dibebaskan setelah putusan dibacakan,
2. Onslag, terdakwa bebas oleh sebab perkara yang menjadi tuduhan ada terbukti namun ternyata bukan delik gratifikasi atau delik korupsi, sehingga tidak memenuhi unsur daripada kerugian perekonomian negara sesuai makna yang terdapat dalam rumusan unsur-unsur delik korupsi,
3. Hasto harus dinyatakan bebas dari dakwaan melalui putusan sela akibat eksepsi, atau putusan sebelum diperiksanya pokok perkara, andai ada eksepsi Hasto yang menyatakan bahwa ‘dakwaan tidak cermat atau obscur’, karena tuduhan ‘terhadap Penyuapan yang dilakukan oleh Harun Masiku dan terdakwa (Hasto) penerima suap, keduanya (penyuap dan disuap) bukan ASN/PNS atau bukan pejabat publik/ bukan aparatur negara, maka bertentangan dengan makna perilaku korupsi Jo. UU.TIPIKOR yang dapat ditangani oleh KPK *_harus yang mengakibatkan kerugian perekonomian atau keuangan negara yang minimal 1 milyar._* Maka dakwaan menjadi kabur tidak jelas (obscur) atau setidak-tidaknya bukan ranah hukum KPK,
4. Hasto bakal bebas dan diterima eksepsinya (terkait hukum formal/ Tata Cara/Tehnis beracara) yang akan diperiksa secara berbarengan dengan pemeriksaan terhadap pokok perkara, sesuai lazimnya terkait eksepsi dilatoir, (eksepsi tentang dakwaan adalah prematur), maka dalil hukum bebasnya Hasto oleh sebab hukum ‘tidak ada atau belum ada pengakuan sama sekali dari Pemberi suap Harun Masiku di dalam BAP yang dibuat dihadapan penyidik KPK maupun dimuka Hakim persidangan saat digelarnya perkara a quo in casu. ***