Oleh Tasneem Khaliqa Israkhansa
JAKARTA || Ekpos.com – Setiap hari, berita demi berita tentang kegagalan pemerintah membanjiri layar gawai dan halaman koran, membuat rakyat kian memekik. Pasalnya, bukannya menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas, rakyat justru harus berkutat menuntun mereka ke jalan yang benar: meluruskan “dosa-dosa” kebijakan publik yang dibuat secara gegabah.
Misalnya, bukan sekali dua kali pemerintah melempar bola panas kepada rakyat dengan mengeluarkan kebijakan atau pernyataan kontroversial hanya untuk menguji sentimen dan reaksi publik, bak pesulap yang sibuk melempar atraksi untuk melihat trik mana yang paling memukau penonton.
Lalu, ketika kritik berdatangan, mereka sibuk berdalih bahwa kegagalan dan ketidakcakapannya sebagai “proses pembelajaran”, “pemerintah juga manusia biasa”, atau “rakyat tak memahami kompleksitas pemerintah.”
Beberapa kasus seperti wacana kenaikan pajak PPN 12%, rencana penghapusan BBM subsidi pada 2027, hingga gonjang-ganjing kebijakan baru penjualan gas melon yang menelan seorang korban jiwa usai mengantri, adalah serangkaian kebijakan publik yang menguap begitu saja setelah menuai kritik tajam publik.
Dalam dunia politik, strategi ini dikenal sebagai “trial balloon” atau balon percobaan, yakni taktik untuk mengukur sejauh mana suatu kebijakan diterima publik sebelum benar-benar diterapkan.
Namun, alih-alih menunjukkan ketegasan arah dan perencanaan yang matang, langkah pemerintah dalam hal ini secara tidak langsung mencerminkan ketidakyakinan pemerintah terhadap arah yang diambil dan ketidaksiapan dalam menawarkan solusi nyata bagi masyarakat.
Pertanyaannya, apakah langkah pemerintah menerapkan strategi semacam itu di tengah deras arus polemik yang menuntut ketanggapan yang berdampak dalam penyelesaian masalah masih relevan? Setidaknya, ada dua hal penting yang dapat dicermati dari fenomena ini.
Pertama, yang mesti dikritisi ialah mengenai mengapa pola trial balloon terus berulang. Menurut Garbage Can Model yang dikemukakan oleh Michael D. Cohen, dkk, trial balloon menjadi bagian dari pola kerja kebijakan yang berantakan.
Dalam kaitan ini, pengambilan kebijakan dalam kondisi tidak pasti cenderung bersifat acak dan tidak sistematis, akibat pertemuan kebetulan antar empat elemen: viralnya suatu masalah, solusi yang kebetulan tersedia, pengambilan keputusan oleh aktor kebijakan yang sarat akan bias, dan momentum politik yang mendukung.
Pembiasaan pola penanganan dengan solusi “sediaan” yang reaktif dan temporer seperti yang banyak dipraktekkan selama ini sudah seyogyanya ditinggalkan para pemangku kebijakan.
Sebab, kebijakan eksperimental tanpa kepastian tindak lanjut sudah pasti beresiko menciptakan kegaduhan yang tidak perlu. Ibaratnya, menambal satu lubang hanya untuk mendapati kebocoran baru di tempat lain alias tidak benar-benar menyelesaikan akar persoalan.
Maka, wajar jika publik pada akhirnya skeptis. Penerapan pola yang sampai mengenyampingkan riset komprehensif berbasis data dan analisis mendalam ini, jangan-jangan sedikit banyak memang sarat dengan kepentingan politik.
Banyak kebijakan tampaknya lebih berorientasi pada kalkulasi politik, meskipun banyak dari urusan mereka memang berkelindan dengan hal-hal bersifat politis. Tak mengherankan bila hal tersebut ada benarnya, meminjam pemikiran Niccolò Machiavelli, bahwa dalam politik, persepsi publik seringkali lebih menentukan dibandingkan realitas kebijakan itu sendiri.
Setelah menemukan gejalanya, dari sini kita mengetahui bahwa pola tersebut tidak hanya menunjukkan kelalaian teknokrasi, tetapi juga lemahnya political will untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.
Sementara, pemerintah sebagai aktor kebijakan menjadi alat kontrol sosial dalam membentuk persepsi publik, yakni bagaimana publik berpikir, berperilaku, dan mempertaruhkan efektivitas kebijakan sama saja dengan mempertaruhkan kredibilitas institusi pemerintahan di mata masyarakat.
Lebih penting dari itu, bukan tidak mungkin siklus distrust rakyat terhadap pemerintah pun kian bereskalasi. Ketidakmandirian pemerintah dalam membangun tata kelola yang baik (good governance) berkecenderungan pada cautious governance, yakni pemerintah yang lamban, ragu-ragu, dan semata-mata kompromistis.
Ini akan berujung pada delegitimasi kekuasaan, di mana setiap kebijakan, sebaik apapun isinya akan selalu disambut kecurigaan publik. Maka, sudah saatnya pemerintah berhenti bermain-main dengan nasib banyak orang.
Pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana mengembalikan kepercayaan dan pesimisme publik dengan membangun pemerintahan yang sehat dan lebih populis serta responsif terhadap kebutuhan publik.
Daripada sibuk mencari cara agar kebijakan tampak baik, lebih baik memastikan kebijakan itu benar-benar baik agar publik yakin mereka tidak menaruh kepercayaan di tangan mereka yang salah. Lantas bagaimana sebaiknya pengambilan kebijakan publik dirumuskan agar benar-benar mewakili kepentingan publik?
Model demokrasi deliberatif, yang dikembangkan Jürgen Habermas dan Joshua Cohen, menawarkan pendekatan efektif untuk diterapkan, dengan menempatkan partisipasi publik sebagai elemen utama dalam proses perumusan kebijakan, memastikan setiap kebijakan lahir secara dialogis dan inklusif.
Sebab, pemerintah memang pemangku kebijakan, tetapi rakyatlah pemangku kepentingannya, sehingga mengabaikan partisipasi mereka berarti mengkhianati prinsip luhur founding fathers.
Selain itu, sebetulnya ada banyak model pendekatan lain yang dapat dijadikan standar sesuai kebutuhan masyarakat, seperti Adaptive Governance yang mengutamakan adaptabilitas dalam menghadapi dinamika sosial dan lingkungan, teori Inkrementalisme (Charles Lindblom) yang menekankan perubahan bertahap melalui evaluasi berkala, dan lain-lain.
Tetapi pada intinya, semuanya harus tetap berpatokan pada terpenuhinya tiga aspek utama: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Regulasi harus memiliki landasan filosofis, yaitu selaras dengan keadilan dan moralitas yang menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat.
Aspek filosofis berperan sebagai pijakan karena dimensi moral dan sosial yang dimiliki, sehingga suatu regulasi tak bisa dimaknai sebatas instrumen hukum semata. Di dalamnya terpelihara pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang mencerminkan jiwa dan falsafah bangsa Indonesia, berlandaskan pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Kemudian, landasan sosiologis, mencerminkan kebutuhan serta kondisi masyarakat agar kebijakan tidak bertentangan dengan realitas kehidupan yang ada. Terakhir, landasan yuridis, memastikan bahwa regulasi berdasar hukum kuat dan tidak bertentangan dengan norma maupun peraturan yang telah berlaku.
Unsur filosofis ditempatkan lebih tinggi dari yuridis karena ibarat rambu-rambu, ia menjadi pedoman utama dalam menentukan arah hukum. Karena itu, dalam perundang-undangan seperti undang-undang, kita menemui poin Menimbang atau Konsiderans yang mendasari penyusunannya, mencakup unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Kasus pengunduran pengangkatan calon aparatur sipil negara (CASN) 2024 hingga Oktober 2025 mendatang, adalah satu di antara banyak kasus yang seharusnya bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mulai mengembalikan kepercayaan publik, meski tentu saja itu bukan perkara sederhana.
Paling tidak, harus ada kepastian hak-hak finansial mereka yang terdampak atau jaminan transisi yang tidak merugikan. Bukan malah memberikan respons nirempatik, seperti statement Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh 10 Maret lalu yang mengusulkan agar mereka kembali bekerja di instansi lama setelah terlanjur resign.
Pemerintah semestinya ingat bahwa rakyat menuntut kinerja mereka, bukan “menuntun”, sehingga, bukannya justru menikmati gelombang di mana mereka dituntun dan terus-menerus bergantung pada arahan dari rakyat tentang apa yang harus dan sebaiknya tidak mereka lakukan.
Sebagaimana tegas teramanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, “Kemudian, daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”
Dengan demikian, harapannya, ke depan kritik dari masyarakat tidak lagi ditanggapi sebagai bentuk ketidakdewasaan atau penyerangan secara personal, melainkan suara kepedulian yang lahir dari kecintaan dan harapan tinggi terhadap negara.
*Tasneem Khaliqa Israkhansa adalah, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia; penulis beberapa buku, penyair dan inisiator sekaligus Ketua Gerakan Kepemudaan Alumni Mentorship Maudy Ayunda “Muda-Mudi Maudy”.