Revisi Undang-Undang TNI, Metode Politik Praktis Prabowo yang Penuh Harapan

 

Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik))

JAKARTA || Ekpos.com – (Sebuah kajian strategis RUU Tentang TNI)

Pengantar/ Pendahuluan

Presiden RI ke 8 Prabowo membuat langkah-langkah politik hukum yang nyata “tidak berkelanjutan,” beda atau kontradiktif dengan statemen politiknya, “akan melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi”, karena nyatanya Prabowo mengambil langkah upaya pengkondisian peran dan fungsi militer yang cukup jitu dan maksimal melalui revisi UU TNI, sehingga menciptakan faktor keseimbangan politik (political balancing) terhadap institusi Polri bahkan serasa otomatis mendegradasi fungsi Polri yang sebelumnya seperti dimanjakan di era Jokowi, namun jujur institusi yang “dianakemaskan di era Jokowi ini” tidak populer dimata kebanyakan publik, hal ini nampak dari fenomena gejala gejala kehidupan sosial politik sehari hari akibat berbagai perilaku pada banyak peristiwa hukum (kriminal) yang melibatkan Oknum Polri dari berbagai pangkat dari bharada sampai dengan Jendral, dari mulai kasus pemerasan, hingga esek-esek, hingga bisnis kartel (narkoba) sampai dengan moord (pembunuhan berencana).

Contoh salah satu Ilustrasi dari kasus jahatnya oknum perwira polri, nampak pada kasus Sambo, sehingga insititusi ini ‘sarat citra buruk’, karena banyak kecaman setiap hari secara transparansi disertai berbagai narasi dari publik di berbagai media sosial yang berbasis media digital elektronik maupun mainstream atau konvensional, dan umumnya sounding publik yang terus bernada negatif (hujat) datang dari berbagai kelompok lintas profesi sehingga perspektif publik dari sisi tinjau kacamata sosiologi politik hujatan terhadap Polri sebagai representatif berupa kekecewaan mayoritas publik terhadap Polri sebagai lembaga terdepan, mengingat fungsi dan eksistensi Polri justru pada prinsipnya secara general dan Lintas SARA amat dibutuhkan oleh bangsa dan Negara RI.

*_Sisi Positif Revisi UU TNI Adanya Kausalitas Latar Belakang Negatif_*

Sewajarnya memang amat dibutuhkan perombakan daripada sistim reformasi khususnya untuk basis sistim pertahanan kekuatan sosial politik dan kedaulatan negara dan bangsa ini, baik dari ancaman pihak asing maupun pihak agennya melalui komprador sebagai kaki ditanah air yang berharap terjadi disintegrasi bangsa dengan segala macam cara propaganda pelemahan politik dan budaya, ekonomi serta hukum dengan pola memaksakan konsep politik yang dapat melemahkan fundamen menuju keberhasilan daripada teori tujuan berdirinya negara Indonesia yang terdapat di dalam UUD 1945, karena realitas orde reformasi saat kepemimpinan Jokowi dirasakan oleh publik semakin terpuruk sehingga menciptakan kondisi bad value diberbagai sektor baik politik, ekonomi dan hukum terutama semakin rendahnya nilai moralitas dan mentalitas kebangsaan para pejabat publik penyelenggara negara.

Hal ‘buruk’ moralitas dan mentalitas para pejabat publik di era Jokowi dimaksud merupakan sebuah perpspektif objektif karena kasat mata, jika dikomparasi sistim politik era reformasi yang berada ditangan kekuasaan Jokowi, dengan sistim budaya dan politik pada saat kemimpinan nasional di era orde baru dibawah Jendral Soeharto (almarhum) yang memiliki kejelasan dengan program repelita dan konsep dasar serta keseimbangan baik politik domestik global karena berada tertuang didalam GBHN maka konsep bernegara Jokowi nampak acak-acakan gak jelas manajemen-nya.

Juga konsep bernegara Jokowi jauh dibawah standar kepemimpinan sesama era reformasi pada.masa Megawati yang serius melahirkan KPK, namun KPK ‘ditukangi’ oleh Jokowi sehingga menjadi selemah lemahnya lembaga anti rasuah yang tadinya berpredikat ‘super body menjadi super loyo’, kemudian KPK kini menjadi lembaga yang rawan kerena nampak cenderung diintervensi oleh politik kekuasaan rezim di era Jokowi.

Begitu pula andai faktor leadership Jokowi disanding lalu dibandingkan dengan kepemimpinan SBY yang tidak ditemukan indikasi “perampokan partai oleh oknum penguasa” dan mirisnya perampokan diproteksi melalui pembiaran politik oleh Jokowi sang penguasa tertinggi.

Pada pokoknya era kepemimpinan Jokowi adalah era ‘kacau balau’ utamanya fungsi kepastian hukum dibuat tak berdaya, bayangkan di era Jokowi ada sekian banyak konstitusi dipersekusi ‘diinjak-injak’, diantaranya yang amat sangat merisaukan, Jokowi kepingin 3 periode menjabat presiden melalui wacana dari pembantunya LBP dan kroni, yakni beberapa sosok menteri dan ketum partai” bahkan tanpa pemilu, padahal UUD 1945 dan sistim hukum hirarkis (turunannya) UU Tentang Pemilu jelas dan konkrit membatasi jabatan presiden hanya cukup 2 periode terhadap setiap subjek (orang) yang sama.

Praktik penyelenggaraan negara di era Jokowi kadang tranparansi sengaja melanggar asas good governance namun tragis dibiarkan, justru sebaliknya sang presiden terus terang mempublish dirinya berpolitik keberpihakan (cawe-cawe).

Lalu ada perilaku menyesatkan (negative role model) dengan pola disobedient atau pembangkangan hukum yang dilakukan langsung oleh Jokowi, Jokowi mengeluarkan Kepres Nomor 17 Tahun 2022 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023, selain dua ketentuan ini mencederai historis hukum politik bangsa dan overlapping dengan prinsip tatanan hirarkis hukum yang lebih tinggi yaitu Tap MPR.S RI Nomor 25 Tahun 1966 juga bertentangan dengan UU. Nomor 27 Tahun 1999 Tentang KUHP.

Adapun Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 2022 adalah Tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Sehingga Pemerintah Pusat (Jaksa Agung dan Kapolri dan para menteri, termasuk Mendagri diamanati untuk mengkoordinasikan terkait pembiayaan pelaksanan kepres a quo kepada para kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang diwajibkan mengalokasikan dana APBD mereka, demi melaksanakan pembiayaan segala bentuk pemulihan bagi korban atau keluarganya untuk merehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa dan/atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya, maka andai dianalogikan Kepres dan Inpres dimaksud sebagai kompensasi politik Pemerintah RI terhadap keluarga PKI sebagai para korban, lalu bagaimana dengan keluarga TNI dan Masyarakat sipil yang dibunuh secara kejam oleh anggota PKI, maka secara hukum TAP MPR (S) RI Nomor 25 Tahun 1966 dan keberlakuan UU.RI NO. 27 Tahun 1999 Tentang KUHP merupakan deskripsi daripada historis peristiwa politik hukum orde lama yang diabadikan dalam TAP MPR pada pra orde baru dan hirarkis menjadi UU tahun 1999 di era reformasi.

*_Butuh Penyempurnaan pada Kedudukan Fungsi SetKab_*

Diketahui, ada beberapa aksi unjuk rasa publik (demontrasi) yang intinya menolak revisi UU Tentang TNI dan terkait perilaku aksi massa ini, memang direkomendasi oleh sistim hukum demokrasi oleh negara berdasarkan UUD 1945 sehingga menurut penulis ada faktor regulasi yang membutuhkan penyempurnaan atau revisi Tentang TNI terkait struktural dan fungsional sehingga butuh penjelasan tambahan yang komprehensif.

Mungkin Pasal Krusial yang menjadi dasar aksi atas pengesahan RUU perubahan terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang sudah mendapatkan pengesahan oleh legislatif pada Kamis 20 Maret 2025 yang hanya krusial menyangkut 3 (tiga) poin perubahan pada Undang-Undang TNI yang baru yakni di Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di 14 Kementerian/lembaga sipil. Yakni Kemenkopolkam, Kemenhan, Wantanas, Kementerian Sekretariat Negara, BIN, BSSN, Lemhanas, Basarnas, BNN, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung serta Mahkamah Agung.

Oleh karenanya Pemahamannya Prajurit TNI harus mundur jika menjabat di luar 14 kementerian/lembaga a quo dimaksud. Maka sebagai bahan ilustrasi artikel, ada peristiwa yang sedang diperbincangkan, yakni kasus fungsi jabatan dari Sekretaris Kabinet (Setkab) yang dijabat oleh Mayor Teddy Indra Wijaya, selanjutnya tentu tidak boleh berlama-lama, Mayor Teddy harus segera mundur dari kesatuan TNI (pensiun dini) karena akan terjadi dualisme perintah yang menjadikan disfungsi kewenangan dengan Panglima TNI bahkan terhadap Mensesneg andai Setneg adalah setingkat menteri atau tidak dibawah koordinasi Kementrian Sekretarus Negara.

Maka tentunya publik perlu kejelasan terhadap polemik kedudukan dan jabatan Setkab dimaksud.

Pertanyaan logis dari publik Sekretaris Kabinet secara substansial adalah, apakah Setkab kedudukannya setara menteri?

Karena jika asumsinya ditilik daripada:

1. Fungsi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia yang ketentuannya terdapat didalam Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024, Peraturan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, dan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2024 yang secara tegas menyatakan Fungsi dan Tugas daripada Sekretariat Kabinet mencakup 13 fungsi. Antara lain:

_Pengkajian dan pemberian rekomendasi,_ penyelesaian atas permasalahan kebijakan, _pemantauan (evaluasi),_ pengkajian dan Pemberian rekomendasi, _penyampaian rekomendasi atas hasil pengamatan;_ penyiapan pengadministrasian;_penyelenggaraan dukungan teknis dan adminstrasi;_ penyelenggaraan pembinaan jabatan fungsional; _pemberian pelayanan dan dukungan administrasi perencanaan;_ Pengumpulan dan pengolahan serta pengawasan fungsi lingkungan Sekretariat Kabinet; _Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Sekretariat Kabinet dan Pelaksanaan fungsi lainnya sebagai rencana kebijakan dan program pemerintah yang berhubungan serta diberikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden_

(13 fungsi tugas tersebut diatas yang harus dijalankan oleh Mayor Teddy dengan penuh tanggung jawab kepada Presiden menunjukan kwalitas Setkab sebagai fungsi menteri)

2. Perpres RI No. 55 TAHUN 2O2O Tentang Sekretariat Kabinet perihal terkait kekuasaan hak keuangan, administrasi dan fasilitas-fasilitas lain bagi Sekretaris Kabinet, maka hal ini menunjukan Mayor Teddy memang memiliki fungsi jabatannya setingkat jabatan Menteri Negara.

*_Namun ada penjelasan, walau sekedar statemen dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Akhmad yang juga merupakan petinggi partai Gerindra, seorang tokoh politik yang tentunya tidak keliru jika diasumsikan sosok Dasco merupakan suara kepanjangan partai Gerindra, yang capres usungannya menjadi pemenang pemilu pilpres 2024 atau Dasco merupakan representatif diskresi politik Presiden RI. Sehingga wajar dinyatakan secara ‘teori politik primordial sebagai orang dekat Prabowo selaku Presiden RI’._*

Kata Dasco, “Seskab berada di bawah Menteri Sekretaris Negara”. Maka hal jabatan Sekretaris Kabinet tidak setara dengan Menteri. Maka akibat hukum dari fungsi dan kewenangan seorang Setkab memiliki kejelasan (dibawah) Mensesneg, namun dilain sisi secara ketatanegaraan, tentunya masih tersisa bakal tumpang tindih dengan Panglima TNI. Maka ini Pekerjaan Rumah atau PR yang harus selesai dan berkejelasan terkait Job disc (fungsi dan jabatan) antara posisi Teddy sebagai Setkab yang berpangkat Mayor, lalu bakal menjadi ad interim bahkan sekalipun sekedar ad hoc atas nama Mensesneg untuk menjalankan tugas koordinasi atau briefing atau memberikan petunjuk dan arahan, (dibaca=) “perintah” kepada Jendral pimpinannya dalam kedinasan TNI. Maka tentu peristiwa hukum dan kehormatan dengan sistem disiplin komando pada Ketentaraan (militer) yang pasti bakal terjadi ini, sungguh butuh solusi demi kepastian hukum dan menyentuh kwalitas kerja Kabinet Merah Putih (KMP). Atau dangan kata lainnya norma pijakan agar jelas dan tegas serta tidak menyinggung martabat seorang Jendral dihadapan seorang Mayor aktif, namun sebaliknya ada justifikasi berupa legal standing untuk Mayor Teddy yang substansial merujuk ketentuan (beberapa pepres tersebut diatas) Setkab berkewajiban untuk melaksanakan sesuai dan atas nama perintah fungsi dan tugas jabatannya (level menteri) atau setingkat dengan Menteri Sekretaris Negara?

Dan logika hukum yang harus selalu bersandarkan asas legalitas (rule of law), tentu tidak cukup hanya melalui statemen lisan seseorang, walau jatidirinya sebagai sosok ‘orang dekat’ Prabowo yang menyatakan bahwa; “Untuk Sekretaris Kabinet sekarang ini struktur dan komposisinya berubah, Sekretaris Kabinet itu sekarang ada di bawah Mensesneg, jadi bukan setingkat menteri”.

Tentu saja tidak lantas ucapan seseorang dimaksud menjadi berkekuatan hukum menghapus beberapa perpres yang mengindikasikan status Setkab adalah sejajar dengan menteri

*_Penutup_*

Setelah ada kejelasan hukum baru mengenai status levelitas pada Setkab, tentu saja selanjutnya bakal mudah sekedar merubah dan menyusun regulasi manajerial baru terkait fungsi agar tidak tumpang tindih (overlapp) terkait manajemen keuangan yang dianggap menyimpang atau tidak konsisten antara Setkab yang berstatus ‘anak kementrian’ atau berstatus sehingga fungsional dan struktural dibawah Mensesneg, atau salah satu solusi lainnya adalah berikan hak jabatan Setkab kepada sosok sipil atau yang paling ideal sebelum adanya legalitas yang mengeleminir ketentuan Perpres dan Keputusan Nomor 139/2024 Jo. Peraturan Sekretaris Kabin No. 1/2020 Jo. Perpres 148/ 2024, Jo. Perpres No. 55 Tahun 2020, maka amat bijaksana andai Mayor Teddy undur diri dari TNI. Hal yang Simple, demi sistim hukum yang berwibawa dan bermartabat serta sinergitas dan liner, tidak melanggar hirarkis hukum, sehingga Prabowo selaku Presiden RI ke 8 dan sosok Negarawan serta Panglima Tertinggi TNI dan Polri tetap menjunjung tinggi objektifitas dan profesionalitas serta proporsionalitas tak peduli kepada siapa pun andai ada sosok figur “penitip” Mayor Teddy eks asiten ajudan Presiden Jokowi ini, untuk menjabat Setkab dengan status jabatan setingkat menteri di KMP.

*_Kesimpulan_*

Bahwa Usia Kursi Kepresidenan yang diduduki oleh Prabowo Subianto adalah baru seumur jagung, sehingga dapat dibayangkan betapa sulit beban yang mesti Prabowo emban untuk memberesi sekian banyak residu politik yang ditinggalkan oleh Jokowi, dan selebihnya publik bakal banyak bersyukur karena politik ‘anak emas’ pola Jokowi terhadap insitusi Polri, saat ini dan kedepannya bakal tidak ada lagi, melainkan bakal tercipta teori keseimbangan politik (political balancing), akan sama sebagai lembaga kekuatan poliitk milik bangsa dan negara, hanya beda fungsi dan tanggungjawab. ***

Total
0
Shares
Previous Article

Alhamdulillah, FAI Berkomitmen Bantu Kelanjutan Pendidikan Anak Yatim Piatu

Next Article

Jelang Akhir Ramadan, Farhan Ajak Umat Muslim Itikaf

Related Posts