JAKARTA || Ekpos.com – Pada akhir Maret lalu, tepatnya Sabtu (29 Maret 2025), saya menulis sebuah artikel berjudul “Setelah Ramadan Kembali Fokus Bahas Masalah Jakarta: RDF-ITF, JIS, Formula E, RSSW, Bansos Covid-19, LHP BPK 2005–2023 dan Lainnya”.
Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, mulai minggu depan saya akan membahas berbagai isu tersebut secara bertahap, diawali dengan proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) dan pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant di Rorotan, Jakarta Utara.
*Pembatalan Proyek ITF Jakarta*
Fokus awal akan diarahkan pada alasan di balik pembatalan proyek ITF Jakarta. Dalam pembahasan tersebut, saya akan mengurai secara rinci sejumlah poin penting berikut:
– ITF Jakarta merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebagai bagian dari PSN, pembatalan proyek ini seharusnya tidak dilakukan secara sepihak. PSN memiliki kekuatan hukum yang tinggi dan menjadi prioritas dalam pembangunan nasional.
– Pembatalan ITF juga dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ITF diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik. Jika proyek dihentikan tanpa revisi atas Perpres tersebut, maka tindakan itu jelas melanggar hukum.
Selain itu, tidak ada alasan kuat yang mendasari pembatalan proyek. Pemerintah pusat telah memberikan dukungan penuh, termasuk subsidi tipping fee dan jaminan pembelian listrik dari hasil pengolahan sampah. Dengan demikian, alasan pembiayaan tidak lagi relevan untuk menghentikan proyek ini.
Penugasan kepada BUMN dalam proyek ini juga menunjukkan keseriusan negara dalam mengatasi permasalahan sampah secara sistematis dan berkelanjutan. Pemberhentian proyek justru menunjukkan lemahnya konsistensi kebijakan.
Sementara itu, RDF bukanlah bagian dari Proyek Strategis Nasional. RDF tidak tercantum dalam Perpres 35/2018 dan tidak memenuhi kriteria teknologi pengolahan sampah berbasis energi ramah lingkungan sebagaimana diatur dalam regulasi tersebut. Oleh karena itu, menggantikan ITF dengan RDF adalah langkah keliru secara hukum maupun strategi.
Pembahasan mengenai revisi Perpres oleh Pejabat Gubernur DKI dan Menko Marves juga menimbulkan pertanyaan. Perubahan Perpres bukan semata hasil kesepakatan dua pejabat, melainkan memerlukan kajian komprehensif dan dasar hukum yang jelas.
*Pembangunan RDF Plant di Rorotan*
Selanjutnya, saya akan membahas secara mendalam kontroversi seputar pembangunan RDF Plant di Rorotan. Sejumlah isu utama yang akan dikupas antara lain:
– Perbedaan antara ITF dan RDF harus dipahami terlebih dahulu. RDF mengolah sampah menjadi bahan bakar padat, sementara ITF mengubah sampah menjadi energi listrik (PLTSa). Dari segi efisiensi energi, pengurangan volume sampah, serta kepatuhan terhadap standar nasional, ITF dinilai lebih unggul.
– Perlu juga ditelusuri apakah proyek RDF ini dipaksakan. Jika tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam RPJMD atau peraturan nasional, maka sangat mungkin proyek ini dijalankan tanpa landasan yang sah.
– Pengalokasian dana sebesar Rp1,3 triliun dari APBD 2024 untuk RDF Rorotan menimbulkan pertanyaan serius. Apakah penggunaan anggaran sebesar ini sudah melalui kajian yang matang? Apakah ada potensi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Dampak sosial dan lingkungan dari RDF juga tidak bisa diabaikan. Bau busuk dan polusi udara yang ditimbulkan telah memicu protes dari warga sekitar. Aspek kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas.
Kabar mengenai tertundanya peresmian RDF oleh Gubernur Pramono Anung karena bau menyengat semakin memperjelas bahwa ada persoalan teknis dan lingkungan yang belum diselesaikan.
Saat ini, RDF Plant di Rorotan tengah dihentikan sementara. Pemerintah menargetkan perbaikan selesai paling lambat Juli 2025. Jika hal ini benar terjadi, ini akan menjadi sebuah kegagalan besar bagi Gubernur Pramono Anung. Artinya, Gubernur Pramono gagal meresmikan RDF Rorotan dalam Pelaksanaan Program 100 (Seratus) Hari Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Hal tersebut sesuai dengan Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025 Tentang Pelaksanaan Program 100 (Seratus) Hari Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pada lembar lampiran disebutkan bahwa pada minggu ke-9 (21-27 April) akan ada peresmian RDF Rorotan.
Tentu dengan potensi tertundanya peresmian RDF oleh Gubernur Pramono, hal ini perlu menjadi perhatian serius. Langkah tegas dari Gubernur Pramono atas permasalahan ini sangat diperlukan, termasuk pemberian sanksi, baik berupa teguran maupun pencopotan jabatan kepada pimpinan yang bertanggung jawab.
Demikian pengantar dari pembahasan yang akan saya uraikan secara lebih lengkap dan sistematis mulai minggu depan. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada masyarakat, khususnya warga Jakarta, mengenai pengelolaan sampah, arah kebijakan publik, serta pentingnya ketaatan terhadap peraturan.
Jakarta, Minggu (13 April 2025)
Wassalam,
Sugiyanto (SGY)-Erik