Semangat Emansipasi Kartini di Dunia Jurnalistik

Oleh Umi Sjarifah

JAKARTA || Ekpos.com – Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia mengenang sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita. Kartini tidak hanya dikenal karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan, tetapi juga karena pemikirannya yang tajam, kritis dan visioner terhadap kondisi sosial di zamannya. Bila kita tarik benang merah perjuangan Kartini ke dunia modern, khususnya dalam dunia jurnalistik, maka jelas bahwa semangatnya tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan.

Kendati tidak menulis di media massa, RA Kartini dapat disebut sebagai jurnalis kau hawa Indonesia. Surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Eropa merupakan bentuk dokumentasi pemikiran yang kritis, reflektif, dan penuh kepedulian terhadap kondisi bangsanya. Dalam surat-surat tersebut, Kartini membahas isu-isu sosial, pendidikan, kebudayaan, dan peran perempuan mengusung tema yang juga menjadi fokus utama jurnalisme progresif pada hari ini.

*Esensi Jurnalisme*

Bila jurnalisme adalah tentang menyuarakan yang tak terdengar dan mengangkat mereka yang tersisihkan, maka Kartini sudah mempraktikannya sejak awal abad ke-20. Ia menulis bukan untuk popularitas atau sekadar panjat sosial alias pansos. Kartini adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap ketidakadilan. Ia menyadari betul bahwa narasi memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan masyarakat. Inilah esensi jurnalisme yang ideal, yakni mengedukasi, menggugah, dan mendorong perubahan.

Keberadaan kaum hawa dalam dunia jurnalistik hari ini masih menghadapi tantangan besar, mulai dari bias gender di ruang redaksi, ketimpangan akses karier, hingga ancaman terhadap keselamatan saat meliput isu-isu sensitif. Namun, semangat Kartini harus terus menyala dalam diri para jurnalis perempuan Indonesia yang tak gentar menyuarakan kebenaran dan keadilan. Mereka menulis dengan keberanian, seperti halnya Kartini menulis surat dengan semangat pembebasan.

*Kartini Masa Kini*

Kartini masa kini bisa kita temukan dalam sosok wartawati yang meliput konflik di wilayah rawan, mengangkat isu perempuan dan anak yang terpinggirkan, atau memperjuangkan transparansi dan kebenaran di tengah tekanan kekuasaan. Mereka mewarisi semangat Kartini, bukan dalam balutan kebaya dan sanggul semata, melainkan dalam keberanian berpikir, bersuara, dan beraksi.

Jurnalisme yang sehat membutuhkan keberagaman pandangan, dan suara perempuan di dalamnya adalah bagian tak terpisahkan. Kartini telah membuka jalan dan tugas kita adalah melanjutkannya dengan pena, mikrofon, kamera dan semua alat jurnalistik yang kita punya.

Penulis berpandangan, sosok Kartini tak hanya simbol emansipasi, tapi lebih dari itu, ia adalah simbol keberanian intelektual. Di tengah tantangan dunia media yang kerap dikaburkan oleh kepentingan, suara Kartini seolah mengingatkan bahwa menulis adalah aksi dan sikap perlawanan. Sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebisuan. Di dunia jurnalistik, semangat Kartini tidak pernah mati, ia hidup di setiap karya yang ditulis dengan nurani.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan di Indonesia. Jadilah pelita yang tak pernah padam, gapai mimpi lebih tinggi dan berbuat lebih baik.

*Penulis Umi Sjarifah adalah, Pemimpin Redaksi Majalah Sudut Pandang, Sudutpandang.id, Bendahara Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) dan Wakil Bendahara PWI Pusat

Total
0
Shares
Previous Article

Halal Bihalal PDBN, Fathan Subchi: Sisihkan Energi untuk Khidmah Bagi Ummat, Atas Dasar Rasa Cinta

Next Article

Harlah Satu Abad, Al-Khairiyah Launching Sistem Digitalisasi Manajemen Pendidikan

Related Posts