OLEH: PANDE K. TRIMAYUNI
JAKARTA || Ekpos.com – Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group tentang hasil survey Harvard yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang paling “flourishing” sedunia disertai komen “Ini bukti hasil kerja keras pemerintah”. Benarkah demikian?
Pertama, studi ini adalah studi longitudinal yang sudah berlangsung beberapa tahun, jadi bukan baru-baru saja. Kedua, hasil studi Harvard ini bagi kita sebenarnya lebih menunjukkan masyarakat puas dengan hidupnya atau merasa terberkati. Dan kepuasan itu tidak mesti berkaitan dengan kondisi ekonomi atau tingkat pendapatan. Negara-negara yang dianggap maju secara ekonomi malah di urutan belakang. Jadi jika dilihat, indikator-indikatornya memang lebih cenderung mengarah pada variabel-variabel sosial daripada ekonomi per se. Konsep flourishing disini mencakup tidak sebatas persepsi tentang stabilitas materi/ekonomi namun melihat pada makna dan tujuan hidup, karakter, upbringing (bagaimana dibesarkan) kepuasan batin, spiritualitas sampai hal-hal terkait relasi sosial.
Bisa jadi rakyat secara ekonomi tidak mapan tetapi “merasa bahagia”. Dalam konteks Indonesia, ini diperkuat dengan slogan-slogan yang sering kita dengar dimasyarakat seperti, “Biar miskin asal bahagia”, “Makan ora makan asal kumpul”, “untung….(perasaan selalu merasa untung meskipun terkena bencana)”, dan sebagainya. Di lain sisi, Inilah luar biasanya masyarakat kita sebenarnya. Sikap optimistik demikian yang membuat bangsa kita resilient meskipun dalam keadaan krisis.
Survey ini mirip dengan survey index kebahagiaan hanya lebih lengkap. Selain itu juga ada survey global tentang kedermawanan, Indonesia juga dinobatkan sebagai negara paling dermawan sedunia berdasarkan laporan studi World Giving Index (WGI). Bahkan Indonesia selalu menang, berturut-turut sejak 2018-2024 mengalahkan negara-negara lain. Survey kedermawanan ini memiliki irisan dengan survey global flourishing Harvard yaitu menunjukkan kekuatan ikatan sosial psikologis termasuk spiritualitas masyarakat yang tidak mesti berkaitan dengan kondisi kaya atau miskin.
Dengan demikian, survey Global Fourishing Harvard ini tidak dapat secara gampang disimpulkan sebagai keberhasilan program pemerintah mensejahterakan warganya. Apalagi seringkali survey seperti ini memicu perdebatan karena melibatkan persepsi subyektif dan sebagainya. Namun demikian, survey ini mengingatkan kita kembali bahwa Indonesia sejak zaman dahulu kala sudah memiliki modal sosial yang kuat seperti: kebersamaan, kekeluargaan, gotong-royong, tolong menolong, relasi sosial yang kokoh, optimis dan selalu bersyukur apapun kondisinya, keyakinan terhadap nilai-nilai spiritualitas dan seterusnya. Modal sosial ini adalah bekal yang dapat bernilai produktif dan berdayaguna jika dimanfaatkan dengan baik untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Oleh karenanya, sebagai contoh, para pendiri bangsa kita bersepakat bahwa koperasi (yang memiliki nilai-nilai kebersamaan) dinyatakan menjadi soko guru perekonomian, karena memang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia. Jadi poin pentingnya, survey ini membantu kita mengingat bahwa Bangsa Indonesia memiliki modal sosial yang kuat untuk berjuang bersama-sama mencapai kemajuan. Sekarang tinggal pemerintah dan masyarakatnya apakah dapat memaksimalkan modal sosial Bangsa Indonesia ini.
Penulis adalah: Ketua SACCHAM Indonesia/Kamar Dagang & Industri Amerika Selatan dan Karibia, Sekjen Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia