Menyingkap Rahasia Sabar dan Ikhlas: Kekuatan Hati yang Menggetarkan Arasy

Oleh.A.Rusdiana

Di tengah kehidupan yang penuh ujian ini baik berupa kesulitan ekonomi, penyakit yang tak kunjung sembuh, kehilangan orang yang dicintai, maupun tekanan hidup yang menghimpitkita sering kali mendengar keluhan, keputusasaan, bahkan kemarahan terhadap takdir. Tidak sedikit pula yang merasa patah semangat, kehilangan arah, dan akhirnya menjauh dari Allah. Padahal, ujian adalah bagian dari sunatullah. Ia adalah saringan keimanan, bukan bentuk murka dari Allah. Allah tidak akan menguji kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Namun, realitanya, kesabaran dan keikhlasan semakin menjadi barang langka di tengah masyarakat. Banyak yang ingin solusi instan, menghindari proses, dan enggan untuk menerima ketetapan Allah dengan lapang dada. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak hati yang belum kokoh, belum matang dalam iman, dan belum menjadikan ujian sebagai ladang pahala. Padahal, dalam sejarah para nabi dan orang-orang shalih, kita belajar bahwa kesabaran dan keikhlasan bukan hanya reaksi terhadap musibah, tetapi merupakan puncak akhlak orang beriman.

Konsep tentang Sabar dan Ikhlas: Kekuatan Hati yang Menggetarkan Arasy Untuk hal itu, ada pelajaran dari kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam adalah contoh agung: diuji bertahun-tahun dengan sakit yang menyakitkan, kehilangan semua harta dan anak, ditinggalkan orang-orang, namun tetap teguh dan tidak pernah putus asa. Ia berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tanpa keluhan, tanpa kelicikan, tanpa gugatan.  Ada pelajaran dari Nabi Ayyub ‘alaihis salam yang bisa kita gali. Apalagi sifat utama yang diajarkan oleh beliau adalah kesabaran. Dan memang kita sebagai seorang muslim diperintahkan memiliki sifat sabar. Mulai dari para Rasul ‘ulul ‘azmi diperintahkan bersabar,

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar.” (QS. Al-Ahqaf: 35).

Lihat juga ketika Nabi Yunus ‘alaihis salam mendapatkan ujian juga diperintahkan bersabar,

“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (QS. Al-Qalam: 48),

Dan kita diperintahkan bersabar dan mengharap pertolongan Allah,

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl: 127).

Hari ini, umat membutuhkan teladan sabar dan ikhlas. Bukan hanya dalam menghadapi musibah pribadi, tetapi juga dalam merespons gejolak sosial, tantangan ekonomi, dan ujian umat secara kolektif. Karena itulah, tema khutbah ini menjadi penting: agar kita menghidupkan kembali nilai sabar dan ikhlas tanpa batas, sebagai modal utama menghadapi dunia yang semakin tidak menentu.  Sabar dan Ikhlas: Dua Sayap Seorang Mukmin.

Kita hidup di zaman yang penuh tekanan: beban ekonomi, ketidakpastian masa depan, sakit, kegagalan, kehilangan, dan berbagai ujian lainnya. Di tengah cobaan hidup yang silih berganti, Islam mengajarkan dua sikap utama sebagai penopang jiwa: sabar dan ikhlas. Sabar bukan sekadar menahan diri dari amarah, tapi kemampuan mengendalikan hati dalam ketaatan dan kesulitan. Ikhlas bukan sekadar menerima keadaan, tapi keyakinan penuh bahwa segala yang datang dari Allah adalah kebaikan, meski kadang bentuknya tak kita pahami.

Keteladanan Nabi Ayyub ‘Alaihis Salam. Mari kita renungi kisah mulia Nabi Ayyub ‘alaihis salam. Beliau dikenal sebagai sosok yang diberi kekayaan, keluarga besar, dan kesehatan yang sempurna. Namun, semua itu kemudian Allah ambil: hartanya habis, anak-anaknya wafat, tubuhnya diuji dengan penyakit berat selama bertahun-tahun. Namun, lihatlah bagaimana beliau berseru kepada Allah dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 83–84:

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS.Al-Anbiya’:83-84).

Nabi Ayyub berasal dari Rum. Istri beliau bernama Layaa, ada juga yang menyebut dengan Rahmah, berasal dari keturunan Nabi Ya’qub.  (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 506).

Dulunya Nabi Ayyub terkenal sangat kaya dengan harta yang berlimpah ruah, contohnya saja sapi, unta, kambing, kuda dan keledai dalam hal jumlah tak ada yang bisa menyainginya. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 507 dan Tafsir Al-Baghawi, 17: 176).

Dan Allah pun mengangkat ujian itu, mengembalikan kesehatannya, bahkan menggandakan nikmat-nikmat yang pernah dimiliki. Allah juga memberikan kepada beliau karunia berupa keluarga dan anak laki-laki dan perempuan. Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik, bertakwa, dan menyayangi orang miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang miskin, menyantuni janda, anak yatim, kaum dhuafa dan ibnu sabil (orang yang terputus perjalanan). Beliau adalah orang yang rajin bersyukur atas nikmat Allah dengan menunaikan hak Allah. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 176).

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Nabi ayub, antaranya: Pelajaran Pertama: Kesabaran adalah Jalan Suci Para Nabi; Ma’asyiral muslimin,
Nabi Ayyub ‘alaihis salam diuji dengan sakit parah dan kehilangan seluruh harta serta anak-anaknya. Namun beliau tetap bersabar dan tidak pernah berputus asa. Dalam doanya beliau hanya berkata:

“Sesungguhnya aku telah ditimpa musibah, dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83).

Dan Allah mengabulkan doanya, memulihkan tubuhnya, mengembalikan keluarganya, bahkan menggandakan karunia-Nya. Ini mengajarkan bahwa sabar bukanlah diam dalam kelemahan, tapi kekuatan dalam keikhlasan.

Pelajaran Kedua: Ujian Kesulitan dan Kelapangan Sama-Sama Butuh Sabar; Nabi Ayyub dahulu kaya raya: memiliki ternak, tanah, keluarga besar, dan kedermawanan yang luar biasa. Namun beliau tidak sombong dan tetap mengabdi pada Allah. Sebaliknya, saat semua itu hilang, beliau tetap bersabar dan tidak mengeluh. Rasulullah bersabda:

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur—dan itu baik baginya. Jika ia mendapat musibah, ia bersabar—dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999).

Hikmah: Baik kaya maupun miskin, seorang mukmin tetap terpuji jika ia bersyukur dan bersabar. Inilah keseimbangan iman.

Pelajaran Ketiga: Kekayaan Adalah Ujian, Bukan Jaminan; Kekayaan yang pernah dimiliki Nabi Ayyub tidak membuat beliau lupa daratan. Justru digunakan untuk berbagi, membantu janda, anak yatim, dan ibnu sabil. Hal ini menunjukkan bahwa harta adalah titipan, bukan milik mutlak. Firman Allah:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15).

Hikmah: Jangan sampai kekayaan menumpulkan rasa syukur dan kepedulian sosial. Kekayaan sejati adalah iman yang bertambah di saat nikmat maupun sempit.

Pelajaran Keempat: Kehilangan adalah Pengingat bahwa Dunia Hanya Sementara; Rasulullah bersabda ketika menjelaskan kematian anak dari Abu Thalhah:

Artinya “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh saja ia ambil, -pen).” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” (HR. Muslim, no. 2144).

Hikmah: Kehilangan adalah pengingat bahwa apa pun yang kita miliki hanya pinjaman. Maka ketika Allah mengambilnya kembali, kita hanya bisa berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Pelajaran Kelima: Kesabaran Melahirkan Ganjaran Tak Terbatas; Allah menjanjikan pahala besar bagi orang-orang yang bersabar:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

Ibnu Juraij mengatakan bahwa pahala mereka tidak dihitung secara umum, namun diberikan terus-menerus tanpa batas (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 443). Hikmah: Kesabaran bukan hanya menahan diri, tapi sebuah jalan menuju pahala yang tidak terhingga, hingga tak bisa dihitung dengan timbangan duni

Sabar dan ikhlas bukanlah sifat pasif. Ia adalah kekuatan jiwa yang hanya dimiliki oleh orang beriman. Jadikan kisah Nabi Ayyub sebagai inspirasi, bahwa ketika dunia menghimpit, surga menjadi lebih dekat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang bersyukur dalam kelapangan, dan bersabar dalam kesempitan, serta diberikan kekuatan iman untuk menghadapi segala ujian hidup.

*Artikel, adalah esensi Khutbah Jumat,16 Mei 2025

* Penulis adalah pakar manajemen pendidikan, pembina YPI Al-Misbah Kota Bandung

Total
0
Shares
Previous Article

Warung Miras dan Tempat Prostitusi, Jadi Sasaran Razia Satpol PP Demak

Next Article

Kolaborasi Kodim 0505/JT Bersama Tiga Pilar Karya Bakti Bersihkan Kali PHB Pondok Kopi

Related Posts