Oleh: Lilis Sulastri
(Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional . Lebih dari sekadar mengenang sejarah, sebuah titik awal ketika kesadaran kebangsaan mulai tumbuh di tengah keterjajahan. momen ini seharusnya menjadi refleksi mendalam: apakah kita benar-benar telah bangkit sebagai bangsa? Dan lebih dari itu, apakah kebangkitan kita bermakna bagi dunia yang sedang berubah cepat dan penuh gejolak? Kebangkitan yang kita peringati hari ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Kita hidup di tengah peradaban global yang sedang bergerak cepat: perubahan iklim, revolusi digital, ketimpangan ekonomi, hingga kegelisahan manusia dalam mencari makna hidup di era yang serba instan dan artifisial.
Kini, lebih dari satu abad kemudian, kita berada di persimpangan sejarah yang lain: saat dunia berubah cepat, nilai-nilai bergeser, dan arah peradaban menjadi samar. Apakah kita sebagai bangsa hanya akan menjadi penonton perubahan ini? Atau justru tampil sebagai subjek yang mampu memberi makna dan arah?
Tantangan Zaman: Dunia yang Tak Lagi Sama
Dalam dua dekade terakhir, dunia telah berubah drastis. Inovasi teknologi berkembang pesat, tetapi pada saat yang sama, manusia semakin kehilangan arah. Di tengah gempuran kecerdasan buatan, disrupsi pekerjaan, dan kaburnya batas antara fakta dan hoaks, manusia modern justru menghadapi krisis spiritual dan eksistensial. Revolusi teknologi, perubahan iklim, krisis ekonomi global, dan kegelisahan spiritual umat manusia adalah wajah baru dari tantangan zaman.
Karena kemajuan tak selalu sejalan dengan kemanusiaan. Kita berada di dunia yang serba cepat, namun sering kehilangan kedalaman. Di tengah keterhubungan digital, manusia justru merasa terasing secara emosional dan kultural.
Kita menyaksikan bagaimana kemajuan tidak selalu melahirkan kemanusiaan. Di tengah kelimpahan informasi, kita bisa kehilangan kebijaksanaan. Di tengah konektivitas digital, kita bisa semakin terasing. Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, “Peradaban maju bukanlah soal teknologi, tetapi soal kemampuan manusia untuk memahami dirinya sendiri.” Maka, kebangkitan hari ini adalah soal kesadaran peradaban: mampu menjawab tantangan global, namun tetap berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa.
Kebangkitan Bangsa: Dari Nasionalisme Menuju Kecerdasan Peradaban
Kebangkitan nasional tidak boleh berhenti pada romantisme sejarah. Kini, ia harus menjelma menjadi gerakan nilai dan peran peradaban. Bangsa Indonesia harus melihat dirinya bukan hanya sebagai bagian dari dunia, tapi sebagai bangsa yang mampu menginspirasi dunia: melalui kearifan lokal, etika gotong royong, semangat toleransi, dan spiritualitas yang menyejukkan.
Untuk itu, dibutuhkan:
- Pendidikan yang memanusiakan, bukan sekadar mencerdaskan.
- Ekonomi yang adil, inklusif, dan memberdayakan, bukan hanya kompetitif.
- Pemuda yang berpikir global, tapi berakar kuat pada budaya bangsa.
- Kepemimpinan yang bernurani, bukan hanya rasional.
Kita perlu menafsir ulang semangat kebangkitan nasional. Dulu, kebangkitan berarti keluar dari belenggu penjajahan. Kini, kebangkitan berarti keluar dari belenggu ketergantungan, polarisasi, dan cara berpikir sempit yang hanya mementingkan kepentingan jangka pendek.
Bangsa Indonesia harus bangkit bukan hanya sebagai negara berkembang, tetapi sebagai bangsa yang mampu mempengaruhi arah peradaban. Bangsa yang mampu menghadirkan nilai-nilai spiritualitas, etika, dan keseimbangan hidup di tengah dunia yang makin mekanistik dan kompetitif.
Kebangkitan dapat kita dimulai dari:
- Membangun ekosistem pendidikan yang membentuk karakter, bukan hanya keterampilan.
- Mengembangkan ekonomi berbasis kemandirian dan keadilan sosial, bukan hanya pertumbuhan.
- Mengarusutamakan budaya dan kearifan lokal sebagai kekuatan peradaban, bukan warisan pasif.
- Mendorong generasi muda untuk berpikir global tanpa kehilangan akar kebangsaan.
Indonesia: Suara Moral Dunia, mampukah ?
Dengan populasi muda yang besar, , demokrasi terbesar ketiga, dan pemilik kekayaan budaya yang luar biasa, Indonesia punya posisi unik untuk menjadi moral voice dalam percaturan global. Di saat dunia sibuk berkompetisi, Indonesia bisa hadir dengan pendekatan kolaboratif dan solutif. Indonesia memiliki potensi menjadi kekuatan moral baru dalam dunia yang semakin materialistik. Di tengah dunia yang cenderung ke arah kompetisi dan fragmentasi, kita bisa hadir dengan narasi kolaborasi dan kemanusiaan.
Kita tidak hanya memiliki generasi pintar, tetapi generasi yang bijaksana. Kita tidak hanya butuh teknologi canggih, tetapi nilai yang membimbing penggunaannya. Inilah saatnya Indonesia bangkit sebagai bangsa yang mampu membawa nilai dalam globalisasi, bukan sekadar mengikuti arusnya. Inilah makna kebangkitan yang sejati , bangkit sebagai bangsa yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menghadirkan keseimbangan; tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga bijak secara spiritual dan sosial.
Penutup: Menjadi Bangsa Pemberi Makna
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya ritual tahunan, tetapi momentum untuk memperbarui komitmen kita sebagai bangsa pembelajar dan pembangun peradaban. Dunia membutuhkan bangsa yang tidak hanya cerdas, tapi juga arif. Bangsa yang tidak hanya maju, tapi juga memajukan. Bangsa yang tak hanya hidup untuk dirinya, tetapi menjadi berkah bagi umat manusia.
Refleksi Hari Kebangkitan Nasional harus melampaui seremoni tahunan. Ia harus menjadi kompas kebangsaan kita di tengah dunia yang kehilangan arah. Bangkit sebagai bangsa hari ini berarti berani menyumbang makna bagi dunia: lewat ilmu, nilai, dan keteladanan.
“Kebangkitan sejati adalah ketika sebuah bangsa menjadi terang, bukan hanya untuk dirinya, tetapi bagi dunia yang sedang gelap.” Mari kita jadikan kebangkitan ini nyata: dalam pikiran, dalam tindakan, dan dalam kontribusi kita bagi peradaban yang lebih bermakna.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang sadar akan peran sejarahnya, dan berani membangun masa depan bersama umat manusia.” Mari kita jadikan 20 Mei bukan sekadar hari peringatan, tetapi hari pembaruan tekad untuk menjadikan Indonesia bukan hanya kuat, tapi juga bijak; bukan hanya tumbuh, tapi juga mencerahkan dunia***