Oleh : Ahamad Rusdiana
Ibadah kurban adalah simbol dari keikhlasan, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang bersedia menyembelih putranya Ismail ‘alaihissalam atas perintah Allah, tidak mempertanyakan kedudukannya sebagai Nabi atau status keluarganya. Ismail, meskipun anak dari seorang Nabi, tidak menolak perintah Allah. Keduanya menunjukkan bahwa dalam menjalankan perintah Allah, semua manusia adalah hamba yang setara yang dinilai bukan dari keturunan atau status sosial, tetapi dari ketaatan dan ketakwaan. Rasulullah saw juga menegaskan dalam khutbah hajinya:
Artinya: Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (puith) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan takwanya (HR Ahmad, 22978).
Betapa mulianya ajaran Islam ini. Di saat dunia masih terjerat oleh stratifikasi sosial dan rasisme, Islam telah membebaskan manusia dari belenggu perbedaan lahiriah dan menekankan nilai manusia pada akhlak dan amalnya.
Idadah haji Wukuf di Arafah dan Penyembelihan hewan kurban di tahah air juga mengajarkan kepada kita tentang keadilan sosial. Daging kurban dibagikan tidak hanya kepada keluarga, tapi juga kepada fakir miskin, tetangga, dan siapa saja yang membutuhkan. Ini menjadi wujud nyata dari kesetaraan dan solidaritas sosial dalam Islam. Tidak ada yang lebih mulia di hadapan Allah hanya karena kekayaannya, dan tidak ada yang hina karena kemiskinannya.
Di hari raya ini, kita melihat anak-anak miskin bisa menikmati daging yang mungkin hanya mereka temui setahun sekali. Ini menunjukkan bahwa dalam kebersamaan dan kepedulian, kita menghapus batas-batas sosial yang seringkali membatasi ukhuwah sesama manusia.
Namun sayangnya, di tengah masyarakat kita, kesetaraan ini masih sering terabaikan. Masih ada yang memandang rendah orang lain karena status ekonomi, warna kulit, latar belakang pendidikan, atau bahkan perbedaan mazhab dan golongan. Padahal, Allah tidak menilai seseorang dari hal-hal tersebut. Jika kita benar-benar ingin meneladani semangat ibadah kurban, maka kita harus menghapus semua bentuk kesombongan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Kita harus memperlakukan semua manusia dengan adil, penuh kasih sayang, dan menghargai perbedaan sebagai rahmat.
Di penghujung bulan haji dan kurban ini, mari kita perkuat kembali nilai ukhuwah Islamiyah kita. Mari kita tanamkan dalam diri bahwa kita semua adalah saudara. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya kecuali dengan takwa. Mari kita jadikan momen bulan Dzulhijah ini sebagai ajang introspeksi, sejauh mana kita telah memperlakukan sesama manusia dengan adil:
Pertama: Apakah kita sudah menghapus kesombongan dan prasangka buruk? Kesombongan dan prasangka buruk adalah penyakit hati yang menghancurkan ukhuwah. Allah SWT berfirman,
Dan janganlah kamu memandang rendah orang lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menegaskan bahwa derajat seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan, status, atau keturunan, melainkan oleh ketakwaannya. Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji zarrah.” (HR. Muslim).
Prasangka buruk pun dilarang, sebagaimana firman Allah,
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12).
Maka, momen Idul Adha seharusnya menjadi titik balik bagi kita untuk membersihkan hati dari kesombongan dan prasangka, serta menggantinya dengan sikap tawadhu’ dan husnuzhan kepada sesama.
Kedua: Apakah kita sudah memuliakan saudara-saudara kita yang berbeda status sosial? Islam mengajarkan bahwa kemuliaan tidak terletak pada harta atau jabatan, melainkan pada amal dan ketakwaan. Rasulullah bersabda:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. (HR. Muslim).
Dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah menyampaikan: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, atau orang putih atas orang hitam, kecuali dengan takwa.” (HR. Ahmad).
Ini adalah deklarasi agung kesetaraan sosial. Maka, menghormati dan memuliakan sesama, apa pun statusnya, adalah bagian dari iman. Dalam masyarakat, kita sering lalai, memuliakan yang kaya dan mengabaikan yang miskin. Padahal bisa jadi di sisi Allah, yang miskin lebih mulia karena sabar dan syukurnya. Maka mari koreksi sikap kita, dan muliakan semua saudara secara adil.
Ketiga: Apakah kita sudah menjadi umat yang benar-benar meneladani Rasulullah dalam memperlakukan manusia secara setara? Rasulullah; adalah teladan agung dalam memperlakukan manusia dengan adil dan setara. Dalam kehidupan beliau, tak terlihat perlakuan istimewa karena harta atau keturunan. Bahkan, beliau duduk dan makan bersama budak, orang miskin, dan anak-anak yatim. Suatu saat, ketika seorang sahabat mencium tangan beliau karena kagum, Rasulullah menegur, “Jangan kau lakukan itu. Aku bukan raja. Aku hanyalah hamba Allah seperti kalian.” (HR. Abu Dawud).
Beliau juga bersabda: “Barangsiapa merendahkan seorang Muslim karena kefakirannya, maka Allah akan menghinakannya di hari kiamat.” (HR. Thabrani). Ini menunjukkan bahwa kemuliaan akhlak Nabi adalah dalam kesetaraan dan kasih sayang kepada semua manusia. Maka, sebagai umatnya, kita dituntut meneladaninya bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam akhlak sosial yang adil dan manusiawi, tanpa diskriminasi.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
Artinya, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shad [38]:
Kesetaraan umat manusia adalah prinsip moral dan sosial yang menyatakan bahwa semua manusia memiliki nilai, hak, dan martabat yang sama, tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama, status sosial, orientasi seksual, latar belakang ekonomi, atau faktor lainnya. Ini adalah salah satu fondasi utama dalam hak asasi manusia dan keadilan sosial.***
* Artikel esensi khutbah Jumat, 20 Juni 2025
*Penyusun, guru besar, dosen dan pembina YSDP Al Misbah Kota Bandung dan Tresna Bhakti Kabupaten Ciamis.