Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
JAKARTA || Ekpos.com – Apabila pasien mengidap sekedar gatal-gatal sehingga Tersangka/TSK atau Terdakwa sekedar garuk garuk dalam durasi 3, 5 atau 10 kali dalam waktu sehar, ‘eta mah biasa’ tentu saja KUHAP tidak mengaturnya.
Sementara andai gatal-gatal tersebut dialami dan berimplikasi, “sekujur tubuh penuh luka luka lalu membuat koreng dan banyak goresan yang mengeluarkan darah lalu sebagian besar luka bernanah?”
Bertambah seram dan mistis ketika si pesakitan mengerang terus tiada henti seiring igau mirip mimpi dikejar hantu siang, kadang hantu malam”, seirama dengan ‘simfoni’ bunyi garukan yang berasal kedua belah tangan berikut 8 kuku, 4 kiri dan 4 kanan dengan gerakan garukan yang berbeda serta diawali mirip sonata-allegro dan sering menancap tajam ke raut wajah dan leher? So Bijimana (dibaca: bagaimana)?
*_Andai model kasus TSK yang mengalami sakit serius berada pada tahap proses penyidikan apa yang dapat dilakukan oleh pihak penyidik?_*
Pastinya pihak Penyidik (Kepolisian) tidak berwenang untuk menghentikan kasus dengan SP-3 walau dikarenakan “pelaku diduga mengalami gangguan kesehatan maupun gangguan kejiwaan”Jo. KUHAP.
Karena hak terkait ‘pembebasan’ atau melepaskan bukan domain (subjektifitas) penyidik untuk solusi hukum yang harus selalu berdasarkan asas legalitas (objektif), demi dilakukannya penghentian penyidikan (SP3), melainkan yurisdiksi tentang pelaku TSK atau TDW terindikasi ‘sedang atau telah mengalami’ gangguan kesehatan dan atau kejiwaan, sehingga TSK/TDW tidak dapat dilanjutkan proses hukumnya atau tidak dapat dihukum adalah kewenangan hakim melalui putusan persidangan berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya dengan mendengar keterangan ahli.
Surat Keterangan Ahli saat persidangan boleh diberikan langsung oleh TDW atau dari dalam ‘tas kulit buaya’ milik kuasa hukum, berupa amplop putih yang berisi _Surat Keterangan Medis_ dan menyerahkannya kepada Hakim, yang isinya setelah dibacakan oleh Ahli, melalui transkrip isinya berkejelasan;
“Bahwa TSK, diharuskan menjalankan rawat inap yang tak terbatas, terhadap alergi disertai gejala gatal-gatal yang masih dalam analisis diagnostik, oleh karenanya oleh sebab penyakit belum dapat diidentifikasi, maka otomatis belum dapat ditemukan asal penyakit dan obat perantara sebagai upaya penyembuhannya.”
Lalu pola perawatan disebutkan juga dalam Surat Keterangan Ahli, upaya emergensi dilakukan dengan kedua kaki dan tangan TDW harus diikat dengan rantai yang kokoh, dan ke empat kaki tempat tidur harus ditanam kuat ke dalam lantai, agar tidak mengalami guncangan kuat dan suara berisik, maka tentu solusi hukum majelis hakim harus memutuskan, melalui putusan sela atau prepatoir (vonnis tussen), yang isinya mengharuskan TDW disembuhkan terlebih dahulu atau setidak tidaknya andai menurut keterangan ahli yang merawat TDW, TDW sudah dapat menghadiri jalannya tahapan pemeriksaan persidangan serta dapat mengerti terhadap tuntutan perkara yang tengah dihadapinya.
Namun andai ada strong point (catatan khusus) diagnosis ahli medis dari pihak JPU atau pihak independen yang didatangkan oleh para kuasa hukum berkulit buaya, ternyata Keterangan ahli dari keduanya, juga menyatakan “TDW telah mengalami gangguan jiwa kronis dan hidupnya sudah di bawah alam sadar walau realitas diatas kasur empuk made in Taiwan, sehingga penyakitnya memiliki ciri-ciri serius kepada penyakit jiwa yang tidak dapat dihukum menurut Pasal 44 KUHP. Maka Hakim dapat menjatuhkan vonis baik pada tingkatan eksepsi (interlocutoir/prepatoir) atau putusan sela, bahkan andai sudah melewati pemeriksaan TDW, Para Saksi dan Ahli serta bukti-bukti, hakim dapat menjatuhkan vonis dengan putusan “TDW tidak dapat dihukum oleh sebab TDW mengalami penyakit sesuai bunyi Pasal 44 ayat (2) KUHP.
Yang isinya menyebutkan: ” Ayat (2); “Bahwa segala perbuatan TDW tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya terganggu karena penyakit GATAL-GATAL, maka Pengadilan atas nama hukum memerintahkan dengan pertimbangan hukum berdasarkan catatan ahli medis ‘agar TDW harus dirawat intensif di rumah sakit jiwa untuk dan selama dalam ‘waktu tertentu’.
Terhadap kajian hukum ini, publik individu maupun para korban si TDW gatal-gatal tentu harus menerima putusan karena putusan adalah norma norma ketentuan yang harus diterima (ius konstitum) dan dipatuhi oleh para orang waras dan terhadap TDW prinsipnya sudah dihukum dengan sakitnya yang sudah tidak bisa menikmati sisa usianya, walau hartanya berlimpah yang tersisa adalah bad history plus sumpah serapah dari (yang merasa) korban.
Bahkan bisa jadi kontradiktif, si gatal gatal bak heroik dimata pera pemujanya yang bernalar dibawah rata-rata, atau ‘intelektualis dan akedimisis’ yang terkontaminasi gatal gatal. ***