Anak Bukan Kertas Kosong: Merawat Masa Depan dengan Kesadaran Zaman

Oleh: Lilis Sulastri

(Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung,dan Ibu dua anak)

Epictetus : “Anak-anak tidak belajar dari apa yang kita katakan, tetapi dari cara kita hidup.”

Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional, sebuah momentum reflektif tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memperlakukan anak-anak bukan sekadar sebagai generasi penerus, tetapi sebagai manusia utuh dengan hak untuk tumbuh, bermimpi, dan menyuarakan masa depannya sendiri. Namun pertanyaannya: Sudahkah kita hadir sebagai generasi pendamping yang sadar zaman, bukan hanya pewaris pola lama? Dunia seperti apa yang sedang kita wariskan pada anak-anak hari ini? Apakah mereka sedang tumbuh atau justru hanya besar? Apakah kita membentuk mereka sebagai manusia yang siap hidup, atau hanya siap ujian?

Tradisi Lama yang Mengakar: Anak-Anak Tangguh dari Pelosok Negeri

Di pelosok Pulau Sumba, ada seorang anak bernama Yulius, berusia 13 tahun. Ia berjalan kaki 7 km setiap hari ke sekolah melewati bukit dan sungai, hanya demi satu hal: belajar. Ayahnya seorang petani jagung, ibunya penenun kain ikat. Pendidikan adalah kemewahan. Tapi Yulius tidak tumbuh dalam kelimpahan, ia tumbuh dalam daya tahan.

Di Jawa Barat, seorang gadis bernama Reni dibesarkan dalam keluarga pesantren tradisional. Ia belajar mengaji sejak kecil, dan meski tidak punya gawai pribadi, ia berhasil menjadi juara olimpiade matematika. Modalnya? Kedekatan spiritual, disiplin waktu, dan didikan tentang kesabaran. Ia lahir dari budaya lama, tapi tetap tumbuh dalam zaman baru.

Anak di Era Digital: Bukan Objek, Tapi Subjek

Kita hidup di era revolusi digital dan banjir informasi, yang membuat masa kecil hari ini berbeda jauh dari masa kecil kemarin. Anak-anak bukan lagi penonton pasif dunia orang dewasa. Mereka adalah pembelajar aktif, kreator konten, bahkan penggerak komunitas. Seorang anak bisa mempelajari coding di usia 9 tahun, menjadi influencer literasi di usia 12 tahun, atau membuat kampanye lingkungan yang viral. Sayangnya, banyak kebijakan, sistem pendidikan, bahkan cara kita mendidik anak, masih terjebak dalam pola “anak adalah kertas kosong” yang harus ditulisi oleh orang dewasa. Padahal seperti kata filsuf Khalil Gibran: “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.”

Budaya Baru yang Penuh Ide: Anak-Anak Kreatif Namun Rapuh

Sebaliknya, di tengah kota besar, banyak anak-anak tumbuh di rumah dengan internet berkecepatan tinggi, mainan canggih, dan sekolah internasional. Mereka fasih berbicara dalam bahasa asing, membuat konten TikTok edukatif, bahkan sudah memiliki personal brand sejak usia 12 tahun. Tapi tak sedikit dari mereka yang merasa kosong, cepat cemas, dan kesepian meski berada di tengah keramaian digital. Kita menyaksikan satu fenomena, dimana anak-anak dari tradisi lama tumbuh kuat karena terbiasa menghadapi kenyataan, sementara anak-anak dari budaya baru sering kali rapuh karena terbiasa hidup dalam pencitraan.

Tantangan Kekinian: Kesehatan Mental dan Beban Prestasi

Berdasarkan data resmi yang di rilis, satu dari lima anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental (Kemenkes RI, 2023). Banyak dari mereka terjebak dalam tekanan ekspektasi prestasi akademik, tuntutan sosial media, hingga minimnya ruang aman untuk mengekspresikan emosi. Kita butuh paradigma baru dalam mencintai anak-anak, yakni cinta yang tidak bersyarat. Bukan cinta yang tergantung pada nilai ujian atau ranking. Cinta yang menyemai keberanian untuk gagal, berani mencoba, dan tetap merasa cukup, meskipun tak sempurna.

Membentuk Ekosistem Tumbuh:  Antara Akar dan Sayap, Relasi  nilai Tradisi dan Dunia Modern

Anak-anak hari ini tidak cukup dibesarkan hanya dengan kurikulum akademik. Mereka perlu akar yang menghunjam pada nilai seperti gotong royong, tanggung jawab, hormat kepada orang tua, dan kesederhanaan hidup. Akar inilah yang memberi daya tahan saat mereka menghadapi badai dunia yang serba cepat dan tidak pasti.

Namun akar saja tidak cukup. Mereka juga perlu sayap yakni keberanian bermimpi, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan literasi digital. Seperti kata filsuf Yunani Epictetus: “Anak-anak tidak belajar dari apa yang kita katakan, tetapi dari cara kita hidup.” Dan seperti pesan Ki Hadjar Dewantara: “Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.”

Hari Anak Nasional bukan hanya milik mereka yang bekerja di bidang pendidikan atau psikologi anak. Ini adalah hari semua orang, karena setiap dari kita pernah menjadi anak, dan bertanggung jawab atas dunia yang akan mereka warisi. Maka pertanyaannya: “ Sudahkah kita membentuk ekosistem yang menumbuhkan curiosity, bukan hanya compliance? “ Sudahkah kita mendidik anak untuk memiliki voice, bukan hanya obedience? seperti dalam  bahasa Jalaluddin Rumi: “Anak-anak adalah pesan hidup yang kita kirimkan ke masa depan, waktu di mana kita tidak akan pernah hadir.”

Filosofi Membesarkan Anak: Menyemai, Bukan Membentuk

Filsuf Plato menegaskan bahwa pendidikan anak harus diarahkan pada penemuan kebajikan, bukan pada penghapalan fakta. Ki Hadjar Dewantara melanjutkan warisan ini dengan konsep “ing ngarso sung tulodo”, di depan memberi teladan, bukan menekan; “ing madyo mangun karso”, di tengah membangun semangat, bukan mematikan gagasan.

Dalam dunia yang bergerak cepat hari ini, pendekatan ini justru semakin relevan. Anak bukanlah miniatur dewasa yang perlu diluruskan, melainkan individu yang unik dan memiliki “zaman” nya sendiri. Kita sebagai orang tua, guru, negara, harus lebih banyak mendengar, bukan hanya menyuruh; lebih banyak mengarahkan, bukan menyeragamkan.

Membesarkan anak bukan seperti mencetak bata dari cetakan yang sama. Mereka bukan makhluk yang kita bentuk menurut versi ideal kita. Anak adalah benih dengan potensinya masing-masing. Tugas kita bukan membentuk, tapi menyemai dan merawat. Jalaluddin Rumi pernah menulis: “Jangan paksa anak-anakmu berjalan di jejakmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda.”

Penutup: Merdeka Bertumbuh, Merdeka Menjadi

Hari Anak Nasional seharusnya menjadi panggilan untuk membebaskan anak-anak dari beban dewasa yang tak perlu, dan sekaligus membebaskan orang dewasa dari ego bahwa mereka selalu benar. Mari kita didik anak-anak bukan agar mereka meniru kita, tetapi agar mereka bisa melampaui kita. Karena sejatinya, anak bukan hanya penerus peradaban mereka adalah pencipta peradaban baru. Sudahkah kita menciptakan ruang aman bagi anak-anak untuk tumbuh utuh, bukan sekadar besar. Sudahkah mereka diberi ruang untuk gagal, untuk mencoba, untuk menemukan jati dirinya sendiri? Kita tidak sedang menyiapkan generasi untuk masa lalu. Kita sedang menyiapkan manusia untuk masa depan. Dan masa depan tidak membutuhkan anak-anak yang sempurna, melainkan anak-anak yang utuh dan tahan banting yang bisa berpikir seperti filsuf, bekerja seperti petani, dan bermimpi seperti seniman.

Wallahu’a’lam

 

Total
0
Shares
Previous Article

XRP dan ETH Naik Saat Bitcoin Melemah, Pertanda Altseason?

Next Article

Danlantamal IX Ambon Ikuti Rangkaian Kegiatan Kunjungan Tim Bimtek Administrasi Personel Militer dan ASN TNI AL TA. 2025

Related Posts