Oleh: Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Kebijakan)
JAKARTA || Ekpos.com – Tentang Moralitas dan Etika, Filsuf seperti Plato menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki kesempurnaan moral dan intelektual, serta menempatkan keadilan sebagai prinsip utama
Filsuf seperti Plato dan Aristoteles, meskipun mengakui pentingnya bakat alami gen/faktor biologis, namun menekankan bahwa pendidikan dan pengembangan karakter sangat penting untuk membentuk seorang pemimpin yang ideal.
Menurut Imam Al-Ghazali, seorang pemimpin yang baik memiliki mental yang kuat, berpengetahuan luas, beriman, dan berakhlak mulia. Ia harus adil, mampu melindungi rakyat dari kezaliman dan tidak bertindak sewenang-wenang. Selain itu, pemimpin yang baik juga harus mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan berupaya meraih keridhaan rakyat dengan cara sesuai dengan syariat.
Dan ternyata teori para filsuf diabad modern dijadikan adagium, rujukan filsafat hukum karena berkesesuaian dengan sejarah kehuidupan politik dan kekuasaan suatu negeri dan kekinian terkumpul data empirik dalam praktik, hal yang membuktikan bahwa kombinasi antara bakat alami (faktor genetika/faktor biologis) kepemimpinan ideal disertai pengembangan diri melalui pendidikan, dan pengalaman serta membuktikan dunia edukatif atau pembelajaran (proses belajar dan mengajar) adalah kunci bakal dan penempaan bakat kepemimpinan yang efektif.
Sehingga individu pemimpin yang transparansi di muka publik, serius tendensi menghimbau “agar bangsanya untuk lebih fokus kepada skill”, dibanding intelektual yang berijazah (asli lulus program akademik) adalah asumsi dan picik. Karena logikanya sumber skill itu darimana? Maka, tentunya lebih masyhur dan ilmiah jika skill dilatarbelakangi jenjang akademisi?
Iimplikasi pola berpikir kepemimpinan yang picik, patut diragukan nilai intelektualitasnya (kualitas dan profesionalisme), karena dampaknya cenderung ekslusif menolak keterbukaan, arogansi (memaksa) dan cenderung:
1. Mengecilkan makna akademisi (ilmuwan) dan mengutamakan skill, kontra teori para filsuf,
2. Pentingkan nama besar pribadi dan khusus utamakan proteksi keluarga serta kroni, bukan masa depan general (seluruh lapisan),
3. Pola berfikir terkunci subjektivitas dan anti kritik (mudah tersinggung), berkarakter megalomania (delusional) merasa paling hebat melebihi siapapun dan kerdilkan status para pakar (akademisi),
4. Berkarya semata gunakan naluri atau model tradisionil dan hanya merasa nyaman diantara yang sekarakter curang dan para penyanjung (hipokrit),
5. Kerdilkan makna hukum (otoritarian), sehingga berani untuk janji “ngasal” walau irasional.
Maka tipikal pemimpin (leadership) yang tidak profesional bakal nihil proporsionalitas dan melahirkan satu kekuatan dari beberapa kelompok yang mendukungnya, sedang pengkritiknya disikapi sebagai pihak musuh serta nama baik hanya disiapkan dan diperuntukan khusus untuk sebuah golongan (diskriminatif) tidak genaral.
Pola kekuasaan dan karakter kepemimpinan yang irasional atau arogansi dengan metode “suka-suka’ akan menghasilkan kerusakan kompleks terhadap moralitas dan mentalitas, terus menanamkan bibit pro kontra abadi antara kelompok idealis dengan perilaku simbiosis “realistis fragmatisme”. Lalu secara fisik akan dimenangkan oleh kaum realistis fragmatis, karena pemilik politik dan kekuasaan mensuport bahkan memproteksi ide-ide kondisi polemik yang sengaja dicipta dan direkayasa.
Akhirnya mayoritas warga negara oleh sebab “error system” yang negatif dan konsistensi terus berkepanjangan) akan merusak di segala aspek sosial dan praktek kehidupan (multi sector).
Bagi umat muslim tentu saja pendapat para orang cerdas Plato Aristoteles, itu liner dan sepemahaman dengan sebuah hadist (HR Imam Ahmad, Thabrani), yang menyampaikan riwayat Auf bin Malik sebuah pesan yang berasal dari Muhammad Rasulullah, bahwa ciri ciri kepemimpinan yang tidak profesional bakal lahirkan kepemimpinan orang-orang nunut (bodoh) dan tidak berfikir objektif, karena:
1. Banyaknya syuroth (penolong, pembela penguasa dimaksud dalam kelaliman),
2. Jual-beli hukum,
3. Meremehkan (urusan) darah manusia,
4. Memutuskan silaturrahim, jamaah (sekumpulan orang) yang menjadikan Kitabullah, Al Quran seperti seruling, mereka mendahulukan (orang yang enak suaranya untuk membaca Al Quran) meskipun pemahamannya sangat kurang”.
Ibarat pemimpin lip service hanya enak didengar kata katanya, janji puluhan (berulang) tanpa kenyataan (hobi dusta). *_Karena bagi karakter pemimpin hipokrat janji bukan hutang !_**
Sehingga bagi publik yang mencermati dan update berita perkembangan terkait pola kepemimpinan di tanah air maupun dunia internasional, maka gejala gejala buah pikir dahulu dari para orang pandai (filsuf) dan perkataan sakti Muhammad Rasulullah Nabi yang figur manusia yang Paling Mulia diantara Para Nabi ini, kontemprer benar-benar ilmiah karena nyata terjadi, fenomenanya banyak sekali orang-orang yang sejatinya bodoh (bukan ahlinya) tidak layak (inkompeten) dalam bidangnya disertai track record curang, malah sengaja diberi amanah kursi kekuasaan sebagai sosok-sosok kepercayaan.
Kepemimpinan yang tidak kapabel (kurang cerdas) berakibat banyak terjadi kerusakan di sana-sini, kezaliman merajalela, sistem menjadi rusak, dan terjadi huru-hara di mana-mana bahkan orang-orang tak bersalah atau keliru yang sepele, dikriminilisasi lalu diskriminisasi hukum dan dipenjarakan oleh para penguasa praktisi penegakan hukum (fungsional dan struktural), karena nir adab/amoral dan kerusakan mentalitas sudah berjamaah. ***