Berharap Bukti Bukan Sekedar Janji

Dra. Enok Sonariah

Pilkada serentak sudah digelar. Kepala daerah barupun sudah terpilih. Untuk Kabupaten Bandung bupati terpilih adalah Dadang Supriatna dengan wakilnya Syahrul Gunawan.

Sebagaimana Pilkada sebelumnya, para calon kepala daerah diberi kesempatan sebelum Pilkada digelar, untuk mengadakan kampanye ataupun debat sebagai sarana mengenalkan diri, juga visi misinya ke tengah masyarakat sebagai calon pemilih.

Setiap pemilihan apakah Pilpres, Pileg maupun Pilkada, tidak ketinggalan janji-janji manis saat kampanye ataupun ‘silaturahmi’ bertemu warga, secara pasti akan meluncur dari mulut-mulut mereka menghipnostis para calon pemilih yang haus akan perubahan ke arah yang lebih baik, tanpa berpikir kritis apakah janji-janji tersebut bisa terealisasi ataukah tidak?

Adapun janji yang pernah disampaikan saat kampanye, oleh Bupati Bandung terpilih diantaranya; akan memberikan insentif bagi ustadz dan ustadzah yang mengajar ngaji di SD/SMP di daerahnya masihg-masing sebesar 500 ribu rupiah perbulan. Sedangkan yang hanya mengajar ngaji di lingkungannya masing-masing, tetapi bukan di SD/SMP dengan jumlah murid 100 orang atau lebih sebesar 350 ribu rupiah. Jika muridnya kurang dari 100 orang hanya mendapatkan 200 ribu rupiah. Selain uang insentif guru ngaji ada lagi insentif untuk ketua RT, ketua RW juga Linmas. Selain itu menjanjikan iuran BPJS kesehatan gratis. (pikiranrakyat.com)

Masyarakat Kabupaten Bandung tinggal menunggu, apakah janji-janji tersebut benar-benar dapat dilaksanakan atau sebaliknya? Mengingat janji-janji oleh para pendahulunya seringkali sulit terwujud. Entah dikarenakan janjinya terlalu muluk, tidak masuk akal, ataupun alasan lainnya. Yang penting lempar janji sesuka hati, indah didengar, sedangkan memenuhinya bagaimana nanti. Berjanji mengurangi kemiskinan malah bertambah, berjanji menambah lapangan kerja, pengangguran semakin banyak, berjanji tidak banyak impor, malah semakin deras, berjanji akan mengatasi banjir, banjir semakin parah, dan masih banyak lagi.

Berjanji memberikan insentif, tanpa memaparkan darimana dananya diperoleh sejalan dengan tipe pemilih yang masih pragmatis. Penting kita ketahui, selama ini pemasukan bagi pemerintah pusat termasuk daerah sebagian besarnya adalah dari pajak. Kalau pajak tidak mencukupi, maka pajak akan dinaikkan atau mencari sektor lain yang akan dikenakan pajak. Jika masih tidak mencukupi akan mencari jalan lain yaitu dengan berhutang. Kedua-duanya berbahaya, karena kenaikan dan beragamnya pajak akan menambah beban masyarakat. Sedangkan utang akan mengurangi alokasi dana untuk kepentingan masyarakat. Bagaimana dengan sumberdaya alam? Pastinya hanya sedikit menyumbang pemasukan bagi negara karena sudah diserahkan pengelolaannya kepada swasta, baik lokal maupun asing.

Sisi lain yang patut kita soroti juga adalah, bahwasannya dalam sistem pemerintahan demokrasi, ongkos menjadi pemimpin daerah sangatlah besar, bisa mencapai ratusan milyar bahkan satu trilyun untuk daerah tertentu, hal ini mesti ditopang oleh para pemilik modal atau kapital. Setelah terpilih ‘balas budi’ pun mesti segera tertunaikan. Demi memuluskan perusahaan para kapital, undang-undang yang berpihak kepada merekapun segera diketok, contohnya undang-undang omnibus law. Walaupun rakyat berbondong-bondong menolaknya tetap saja para pemangku kebijakan tidak menggubrisnya. Otomatis para pemimpin di daerahpun mengikuti kebijakan pusat.

Pemilihan pemimpin termasuk pemimpin daerah tidak didasarkan semata-mata pada keahlian, kelayakan dan keamanahan, akan tetapi yang paling menonjol ditentukan oleh seberapa besar uang atau modal yang dimiliki untuk pencalonan. Akibatnya begitu banyak pemimpin daerah yang melakukan korupsi, memperdagangkan jabatan dan kebijakan, serta berkolusi dengan para kapital.

Rakyat yang memilih hanyalah sebagai komoditas untuk mendulang suara. Setelah memilih akan terlupakan begitu saja termasuk janji-janjinya. Kepentingan rakyatpun jadinya terabaikan.

Bagaimana dalam sistem Islam/khilafah? Ternyata terpilihnya para pemimpin dalam sistem Islam, sangat berbeda dengan terpilihnya para pemimpin dalam sistem demokrasi.

Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung ataupun oleh wakil mereka, tetapi ditunjuk dan diangkat oleh kepala negara. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw. selaku kepala negara dan diikuti oleh para khalifah sesudah beliau. Begitupun pemberhentiannya dilakukan oleh kepala negara atau khalifah. Selain itu amanah kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang yang menghendakinya, memintanya, berambisi apalagi terobsesi oleh jabatan tersebut.

Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan, ketika ada orang yang meminta jabatan kepemimpinan kepada Rasulullah, beliaupun menolaknya. Sabda beliau: “Demi Allah, kami tidak akan mengangkat tugas kepemimpinan kepada orang yang memintanya, juga yang berambisi terhadapnya”. (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)

Dalam sistem Islam hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukanlah terletak pada apakah dipilih rakyat atau tidak, tetapi terletak pada tertunaikannya pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.

Kepala daerah karena diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara/khalifah maka pastilah berbiaya sangat murah bahkan nyaris tidak ada biaya. Pemimpin daerahpun bisa diberhentikan kapan saja andaikan melakukan pelanggaran atau kezaliman. Janji kampanye tidak akan ditemukan dalam prosesi pemilihan kepala daerah, karena ketika amanah kepemimpinan sampai pada seseorang, maka yang dituntut adalah menjalankan kepengurusan terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya tanpa dipilah dan dipilih. Apakah guru ngaji ataupun rakyat pada umumnya mesti menjadi perhatian para pemimpin di daerahnya. Jangan sampai ada yang kelaparan, tidak bisa mengakses pendidikan, kesehatan ataupun hal lainnya. Pertanggungjawabannya hanyalah kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bi ash shawwab

Total
0
Shares
Previous Article

Pemkot Bandung Dukung Pembentukan Tim Ajudikasi Dan Satgas PTSL

Next Article

Vaksinasi Covid-19, Bukan Hanya Untuk Diri Sendiri

Related Posts