Lebaran tahun ini, pemerintah resmi melarang mudik yang bertujuan akan mampu menghentikan penyebaran virus covid-19. Tahun lalu pun, pemerintah juga melarang aktivitas mudik yang telah menjadi tradisi menjelang haribraya tiba. Tak tanggung-tanggung, denda hampir 100 juta atau penjara 1 tahun bagi yg melanggar aturan tersebut.
Membaca dari kondisi tahun lalu, bukannya menghasilkan kebijakan untuk kebaikan rakyat namun, malah semakin membingungkan rakyat.
Begitupun saat ini, ketika mudik dilarang menjelang lebaran nanti sementara sebelumnya masyarakat bebas beraktivitas keluar kota ditengah jumlah pasien dan korban meninggal covid masih sangat tinggi. Membingungkan bukan?
Sebagaimana dilansir dalam DESKJABAR – Kebijakan Pemerintah yang melarang mudik diakui akan menekan tingkat konsumsi masyarakat. Pelaku usaha di daerah dan kegiatan pariwisata diprediksi akan paling banyak mengalami dampak negatif akibat kebijakan tersebut.
Kalangan dunia usaha berharap pencairan bantuan sosial (Bansos) yang dijanjikan pemerintah pada masa Lebaran 2021/Idul Fitri 1442 H akan mampu mendongkrak konsumsi dan permintaan pasar sehingga bisa tetap mendorong pemulihan ekonomi.
Lagi lagi pemulihan ekonomi, dari sini kita seharusnya bisa melihat sebetulnya kebijakan itu ada atas dasar apa?.. Seolah kebijakan itu hanya sekedar basa basi untuk menurunkan pandemi saja.
Munculnya larangan mudik ini seharusnya diantisipasi oleh pemerintah sejak awal bukan seperti tahu bulat dadakan tiba tiba muncul kebijakan tanpa memikirkan bagaimana dampak dibalik kebijakan tersebut terutama bagi rakyat. Sudah rakyat pedih , sedih dan sengsara dengan kondisi pandemi yang tak kunjung usai karena tak ada solisi tuntas tapi kami semakin merasa kecewa dan di dzalimi dengan kebijakan yang ada.
Dari kondisi di atas dapat kita pastikan terjadi kembali kekeliruan kebijakan mudik yang digagas oleh rezim kapitalis dalam menghentikan sebaran virus.
Mudik dilarang tetapi sebelumnya kelonggaran aktivitas dibolehkan dengan dalih memperbaiki ekonomi, masyarakat pulang pergi luar kota pun tak dilarang baik karena alasan rekreasi dll. Padahal aktivitas itu sama saja.
Makin tampak kebodohan yang ditunjukkan dalam membuat kebijakan yang akan diterapkan pada publik. Sistem kapitalis mengatasi masalah dengan mendatangkan masalah baru.
Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami. Inilah cerita yang akan terus berulang selama masih hidup dalam kegelapan sistem kapitalis. Tak ada cahaya harapan kehidupan yang tenang dan damai. Selalu penuh penderitaan, kecewa dan kesulitan. Bukankah ini yang telah Allah SWT firmankan pada umat-Nya,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha:24)
Orientasi kebijakan pemimpin dalam Islam yaitu, menjadikan tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat bukan pelayan para kapitalis.
Sebagai pelayan umat pemimpin dalam Islam memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Khalifah Umar ra “sayyidul qaumi khadimuhum” (pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan khadi’uhum (pandai menipu mereka).
Pemimpin yang bijak itu tak mungkin lahir dari rahim sistem kapitalis demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah dan bertanggung jawab. Karena pemimpin yang banyak melayani dan mendengar hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang baik yaitu sistem Islam atau Khilafah. Sistem islam telah menunjukan bagaimana cara mengatasi wabah tha’un hingga tuntas.
Rakyat mampu memahami tujuan kebijakan yang diputuskan pemimpinnya. Di samping itu ia juga bertanggung jawab penuh atas konsekuensi pemberlakuan hukum.
Jadi jelas kebijakan dalam islam terkait mudik akan kembali mendudukan bahwa masalah itu adalah masalah umat yg harus diurusi dan diselesaikan oleh penguasa begitupun penuntasan pandemi.
Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah kehidupan kita yang akan mampu melahirkan para pemimpin yang melayani rakyat? Wallahu’alam bi ash shawwab