Jakarta – ekpos.com – Sidang lanjutan gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan oleh 27 WNI Diaspora dari mancanegara baru saja selesai dilaksanakan dengan agenda persidangan perbaikan permohonan.
“Kami sudah melakukan perbaikan berdasarkan masukan-masukan dari Majelis Hakim dan tambahan dari kami. Setidaknya ada 11 poin perbaikan yang kami lakukan, diantaranya kami perkuat aspek perbandingan dengan negara-negara lain terkait persyaratan pencalonan sebagai presiden untuk memperkuat dalil-dalil kami,” kata Muhamad Raziv Barokah, selaku Kuasa Hukum Pemohon, Kamis (24/2).
Ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut menurut Para Pemohon telah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memilih maupun dipilih.
Selain itu, keberadaan regulasi ambang batas pencalonan presiden tersebut berpotensi menciptakan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Hadirnya Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, termasuk diantaranya WNI yang berada di luar negeri atau diaspora. Kebijakan pembatasan tersebut justru melanggengkan oligarki,” tegas Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014 yang juga Kuasa Hukum Para Pemohon.
Setidaknya ada 12 poin perbaikan yang dilakukan oleh Para Pemohon dalam Permohonan, diantaranya adalah perbandingan antara pemilihan presiden di Indonesia dengan di Amerika Serikat.
Para Pemohon menyanggah pernyataan Hakim Konstitusi, Saldi Isra yang mengatakan bahwa, di Amerika Serikat hanya ada 2 (dua) partai politik, yakni Demokrat (Democrat) dan Republik (Republican) serta calon yang maju melalui jalur independen.
“Salah besar apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan Amerika Serikat hanya memiliki 2 partai politik. Justru ada banyak sekali. Bahkan pemilihan presiden tahun 2020 lalu secara resmi terdaftar sebanyak 1,212 kandidat presiden di _Federal Election Commission_ (FEC), semacam KPU di Indonesia,” ungkap Chris Komari, WNI Indonesia yang telah menetap 30 tahun di Amerika Serikat, Akitivis Demokrasi dan Anggota _City Council_ tahun 2002 dan 2008.
Menurut Chris, yang menjadi prinsip dasar dan fundamental dari sistem demokrasi adalah sejauh mana kedaulatan rakyat itu diterjemahkan, dijalankan, dihormati, dan diimplementasikan dalam pemerintahan, pemilihan umum, dan parlemen.
Kedaulatan rakyat adalah prinsip demokrasi yang tertinggi, bukan kedaulatan pemerintah, bukan kedaulatan presiden, bukan kedaulatan parlemen dan bukan kedaulatan partai politik.
Chris juga menambahkan bahwa, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Justru, _presidential threshold_ tersebut berdampak pada penurunan kualitas demokrasi di suatu negara.
Chris menjelaskan, mengapa indeks demokrasi di Indonesia menurun, yakni setidaknya karena 5 faktor sebagaimana dikemukakan oleh _Economist Intelligent Unit_, lembaga internasional yang selalu mengadakan survei setiap tahun untuk mengukur kualitas suatu negara, antara lain: 1) elektoral proses dan pluralisme; 2) fungsi pemerintahan; 3) partisipasi politik; 4) kultur politik; dan 5) kebebasan sipil.
“Presidential threshold jelas akan mengurangi makna pluralisme dalam pilpres, mengedepankan fungsi partai politik daripada fungsi pemerintahan, mengurangi partisipasi politik masyarakat dalam pilpres karena telah dikuasai oleh partai politik, membentuk kultur politik yang berorientasi pada partai politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengurangi kebebasan sipil karena masyarakat biasa tidak akan pernah bisa menjadi kandidat presiden, terlebih kami WNI diaspora,” tutup Chris. (Red)