Oleh : Prof.Dr.Rosihon Anwar, M.Ag
Niat memang menjadi penentu substansi segala sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan. Untuk mengetahui niat seseorang, tentu harus ditanyakan kepada Mpunya ucapan dan perbuatan. Kita tidak bisa hanya menilai dari ucapan dan tindakan luaran. Ini yang ingin saya pakai untuk konteks viral wawancara Menteri Agama tentang lantunan azan.
Dari konteks awal semenjak turunnya edaran terkait pengaturan suara speaker/toa di mesjid, saya sudah menangkap pesan bahwa semangat edaran itu sama sekali bukan melarang melantunkan azan, apalagi mendiskreditkannya, tetapi mengatur pemakaian alat pengeras suara itu. Niatnya tentu dalam konteks toleransi dan menghargai komunitas beragama yang beragam. Niat ini bagus, karena memang dalam konteks keberagamaan dalam keragaman, toleransi itu harus dijunjung tinggi.
Nah, karena niatnya sudah didapat, maka kita harus fokos kepada niat itu. Tidak usah melebar ke sana-sini. Jadi, terkait dengan wawancara Menteri Agama yang virat tersebut, kita sejatinya fokus kepada niat tersebut. Saya yakin seyakin-yakinnya Menteri Agama tidak ada naiatan membandingkan suara lantunan azan dengan suara gonggongan anjing. Atau—sekali lagi—tidak ada niatan untuk mendeskreditkan azan. Sebab, dari awal saya sudah menangkap bahwa niatnya adalah niat semangat moderasi beragama tersebut. Niat mengedepankan saling menghormati antarpemeluk agama.
Buktinya, di wawancara yang sama, toh Menteri Agama memperbolehkan penggunaan toa/speaker secara rapih, termasuk untuk azan.
(Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor I UIN SGD Bandung)