HANI 2022 dan Keprihatinan Terhadap Pemenjaraan Lenyalahguna Narkotika

 

Oleh Dr Anang Iskandar, mantan KA BNN dan Kabareskrim

Jakarta – ekpos.com – Setiap tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) oleh masarakat dunia dalam rangka melawan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

HANI diperingati setiap tahun sebagai bentuk keprihatikan dunia terhadap maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dimana thema global peringatan peringatan HANI 2022 adalah addresing drug challenges in health and humanitariaan crisis, dalam rangka meningkatkan kesadaran akan masalah utama yang ditimbulkan oleh obat-obatan terlarang bagi masyarakat.

Badan dunia yang menangani masalah narkotika, UNODC terus mengadvokasi pentingnya melindungi hak atas kesehatan bagi mereka yang paling rentan, termasuk anak-anak dan remaja yaitu orang yang menggunakan narkoba dan orang dengan gangguan penggunaan narkoba.

Masarakat dunia diminta untuk berperan serta untuk memahami fakta bahwa ada resiko kesehatan dalam menggunakan narkotika, solusi dalam mengatasi narkotika melalui pencegahan, pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi.

Di Indonesia peringatan HANI 2022 dilaksanakan dengan thema kerja cepat kerja hebat berantas narkoba acaranya dipuasatkan di Denpasar Bali.

Bentuk keprihatinan dalam peringatan HANI 2022 adalah terjadinya pemenjaraan terhadap penyalah guna narkotika, dimana penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika atau orang dengan gangguan penggunaan narkotika dan terjadinya over kapasitas lapas sebagai bentuk anomali lapas di Indonesia.

Berdasarkan fakta persidangan di pengadilan, perkara narkotika yang terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, oleh hakim dijatuhi hukuman penjara.

Mestinya berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim berwenang dan wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap perkara narkotika yang terbukti secara sah sebagai penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 103).

Penyalah guna bagi diri sendiri secara medis adalah orang yang menggunakan narkotika, penderita sakit ketergantuaan narkotika yang bersifat kambuhan dan ganguan mental kejiwaan, orang tersebut bila di jatuhi hukuman penjara akan berdampak buruk bagi masa depannya, dapat dipastikan menjadi residivis penyalahgunaan narkotika selama dan setelah keluar dari penjara; dan

Penderita sakit demikian bila dipenjara dapat membahakan diri sendiri, orang lain dalam penjara, petugas lapas dan membahayakan instalasi Lapas.

Dampak dari penjaraan terhadap penyalah guna, merugikan pemerintah karena menyelesaikan masalah, tidak menyembuhkan atau memulihkan yang bersangkutan, justru terjadi relapse selama dan sesudah pemenjaraan dan terjadilah over kapasitas bahkan terjadi anomali dilingkungan Lapas.

*Mana yang diprioritaskan?*

Dalam melawan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, mana yang harus diprioritaskan penanggulangannya ? Penelitian singkat saya ternyata jawabannya beragam.

Ada yang berpendapat bahwa penyalahgunaannya yang mesti diprioritaskan karena begitu penyalah gunanya sembuh/pulih maka tidak ada peredaran narkotika, sementara ada yang berpendapat peredaran gelap narkotika yang menjadi prioritas kalaupun berhasil menyisakan pertanyaan fenomena selama penyalah guna tidak direhabilitasi maka pengedar narkotika akan tumbuh dengan pepatah mati satu tumbuh seribu.

Dalam Konvensi Internasional, masalah tersebut ditetapkan bahwa melawan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika diputuskan bahwa metode melawan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah balance approach yaitu merehabilitasi penyalahgunanya seimbang dengan penindakan terhadap pengedarnya.

*Bentuk hukuman bagi penyalah guna*

Secara de jure penyalah guna yang terbukti sebagai penyalah guna, hakim wajib (pasal 127/2) menjatuhkan hukuman rehabilitasi berdasarkan pasal 103, tetapi secara de fakto meskipun terbukti sebagai penyalah guna (pasal 127/1) hakim tidak menggunakan pasal 103 untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Mestinya siapapun yang menjadi terdakwa entah itu hakim, polisi, jaksa, artis atau rakyat biasa bahkan tentara yang tunduk KUHPT yang diadili dan terbukti sebagai penyalah guna, hakim yang mengadili wajib menjatuhkan hukuman) rehabilitasi berdasarkan pasal 103 UU narkotika karena UU narkotika bersifat lex superior specialist mengesampingkan hukuman penjara berdasarkan pasal 10 KUHP dan KUHPT.

Tempat menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim pasal 56 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan pasal 13 PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu dilaksanakan di IPWL (Istitusi Penerima Wajib Lapor) yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah.

Selama ini, terjadi misuse dalam penggunaan bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, secara yuridis seharusnya dihukum menjalani rehabilitasi, faktanya dihukum penjara.

Bentuk hukuman bagi penyalah guna bagi diri sendiri dinyatakan secara tegas dalam pasal 103/2 dengan terminologi bahwa masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Artinya rehabilitasi itu bentuk hukuman bagi penyalah guna sebagai pengganti hukuman penjara, dimana rehabilitasi sebagai bentuk hukuman termaktup dalam UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika,1961 beserta protokol yang merubahnya yang menjadi sumber hukum UU narkotika di Indonesia.

Para hakim dilingkungan Mahkamah Agung wajib berpedoman UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika bila memeriksa perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, dimana sanksi penyalah guna adalah menjalani rehabilitasi.

*UU narkotika adalah UU super khusus*

UU narkotika adalah UU super khusus bersifat lex superior specialist, mengesampingkan ketentuan bersifat umum dimana tujuan dibuatnya UU tersebut menyatakan secara ekplisit memberantas peredaran narkotika dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasii. Rehabilitasi adalah bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika dengan mengesampingkan hukuman penjara sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP.

Itu sebabnya, pamali bagi hakim kalau perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri yang melanggar pasal 127/1 dijatuhi hukuman penjara.

Dampak dari penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna membuat penyidik, penuntut umum bersemangat membawa penyalah guna ke penjara, mengalahkan semangat membawa pengedarnya kepenjara.

*Hidupkan lagi IPWL*

Pada awal berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dibentuklah IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor Pecandu) berdasarkan PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu dimana tugas IPWL adalah melayani rehabilitasi bagi penyalahguna yang melakukan wajib lapor pecandu.

Dalam rangka penegakan hukum, IPWL bertugas memberikan layanan rehabilitasi bagi penyalah guna atas perintah penyidik, penuntut umum, hakim selama proses pemeriksaan dan memberikan layanan rehabilitasi atas keputusan dan penetapan hakim dengan biaya ditanggung pemerintah.

IPWL adalah Rumah sakit atau Lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan untuk melayani rehabilitasi medis dan sedangkan lembaga rehabilitasi untuk melayani rehabilitasi sosial ditunjuk oleh Menteri Sosial.

Sayangnya, IPWL yang sudah dibentuk dan tersebar diseluruh indonesia, bak hidup segan mati tak mau dalam melayani rehabilitasi bagi penyalah guna, kecuali RSKO cibubur dan RS jiwa disetiap propensi.

Karena secara Impiris, penyalah guna dalam proses penegakan hukum dijatuhi hukuman penjara. Pemenjaraan terhadap penyalah guna tersebut menyebabkan persepsi penyalah guna/pecandu maupun orang tua penyalah guna/pecandu bahwa dibentuknya IPWL sebagai trik untuk menangkap dan memenjarakan penyalah guna, sehingga IPWL ditinggalkan calon pasiennya.

Oleh karena itu, IPWL harus disosialisasikan melalui penyalah guna didorong untuk melakukan wajib lapor dan hakim didorong untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika agar pemerintah tidak kebebanan masa depan penyalah guna, biaya rehabilitasi sebagai bentuk hukuman dan biaya pembangunan sumberdaya penegakan hukum.

Beban pemerintah bertambah besar manakala penyalah guna dalam proses penegakan hukum dijatuhi hukuman penjara, karena penjara bukan tempatnya penyalah guna sebagai penderita sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan.

Semoga keprihatinan tentang masalah penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika khususnya pemenjaraan terhadap penyalahguna narkotika dan over kapasitas segera difahami dan penyalah gunanya segera mendapatkan akses rehabilitasi baik melalui wajib lapor maupun melalui putusan hakim.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. ***

Total
0
Shares
Previous Article

Satgas Pamtas Yonif 126/KC Datangi Kampung Pund Distrik Waris Bagikan Sembako Dan Bingkisan  

Next Article

PEDOMAN HIDUP DALAM BERAGAMA BAGI ORANG ISLAM

Related Posts