Jakarta – ekpos.com – Koalisi Indonesia Baru (KIB) wajib mendorong pengenalan figur-figur kandidat calon presiden dan calon wakil presiden berdasarkan kompetensi, pengalaman dan rekam jejak masing-masing.
“Kompetensi, pengalaman atau rekam jejak itu jauh lebih penting dibanding elektabilitas,” ujar Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua DPD Golkar NTT, Jum’at (15/7/2022) di Jakarta.
“Oleh karena itu bagaimana diskursus publik kita ke depan harus dialihkan dari pembicaraan soal elektabilitas, mendorong standar persyaratan atau kompetensi untuk menjadi capres,” jelas wakil ketua Komisi IX DPR RI itu dalam diskusi “Peta Koalisi Pasca Kelahiran KIB”.
Diskusi kedua dari Lembaga Komunikasi dan Informasi (LKI) Partai Golkar ini diselenggarakan di Studio Media dan Penggalangan Opini (MPO) Golkar, kawasan Cikajang, Kebayoran Baru, Jaksel. Diskusi juga menampilkan Totok Daryanto, bendahara umum PAN, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, dan pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin.
Diskusi juga diikuti secara virtual oleh ratusan kader dari pendukung tiga partai anggota KIB, yakni Golkar, PAN dan PPP. Khusus Golkar juga melibatkan pengurus MPO berbagai daerah.
Tema diskusi kedua merupakan kelanjutan dari diskusi pertama, pada 24 Juni lalu, yakni “Membaca Arah Koalisi Indonesia Bersatu”.
“Elektabilitas penting, tetapi kapabilitas lebih utama,” ujar Melki.
Melki lalu mencontohkan, Airlangga Hartarto, Ketum Partai Golkar, yang kerap menegaskan agar tidak terlalu mendorong urusan capres. “Jangan terlalu ngegas, jangan sampai terlalu menimbulkan kesan abuse of power. Utamakan bekerja untuk bangsa,” tegasnya.
Melki mengisyaratkan capres dari internal KIB, yakni Golkar, PAN dan PPP. Oleh karena itu, dia mendorong tiga ketum partai lebih diperkenalkan ke publik, terutama kompetensi dan rekam jejaknya.
“Urusan publik harus diselesaikan oleh capres, termasuk bicara bahwa tantangan ke depan akan lebih berat, tatatan dunia akan berubah, baik karena Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Capres harus piawai bicara soal pembangunan ekonomi, pangan, energi dan sebagainya,” jelas Melki.
Soal peta koalisi menuju 2024, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut peta koalisi Pilpres 2024 saat ini masih sangat dinamis.
Kendati demikian, Ujang memprediksi bakal ada tiga hingga empat poros koalisi menghadapi Pilpres 2024.
Pertama, poros PDIP. Diketahui, PDIP merupakan satu-satunya parpol di parlemen yang bisa mengusung calon presiden (capres) tanpa perlu koalisi dengan parpol lainnya.
Kedua, poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Dan ketiga, poros Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, yang dibentuk Gerindra dengan PKB.
“Poros keempat sisanya adalah NasDem, Demokrat dengan PKS. Nah ini memungkinkan,” kata Ujang.
Arya Fernandes, peneliti CSIS menyebut, kelahiran KIB adalah inovasi yang membuat peta persaingan menuju 2024 semakin menarik. Dia mengapresiasi tekad KIB untuk menampilkan capres dari internal. Ia sependapat dengan Emanuel Melkiades Laka Lena bahwa, “perebutan kekuasan” pada 2024 akan jauh berbeda dengan sebelumnya.
“Kita semua setuju capres harus seseorang yang integritasnya tak diragukan lagi. Capres harus bicara soal isu-isu publik,” tegasnya.
Arya pun menyebut, tantangan ke depan yang lebih berat. “Ada perubahan landscape kebijakan ke depan. Di masa Jokowi kebijakan yang pro publik lebih dominan. Pasca 2024 landscape kebijakan harus berubah, karena berbagai krisis yang dampaknya juga kita terima, krisis pangan dan sebagainya,” katanya.
“Capres ke depan harus punya persfektif global, oleh karena itu faktor pengalaman dan kompetensi menjadi penting,” imbuhnya.
Berbicara soal koalisi, Arya menyebut, pilihan koalisi semakin terbatas. “Mulai mengerucut, tetapi jelas tidak akan lebih dari empat koalisi,” katanya.
Ujang Komarudin menjelaskan, soal pengalaman buruk di Pilpres 2019, ketika politik identitas begitu mengemuka. “Kalau Pilpres 2024 menghadirkan politik identitas lagi, maka polarisasi semakin tajam,” katanya.
“Di sinilah saya melihat kehadiran KIB sangat bagus. KIB harus mengedepankan ide dan gagasan, konsepsi idelogis,” tegas Ujang Komarudin. (Red).