Bali-ekpos.com
Gelaran Annual International Conference of Islamic Studies (AICIS) ke 21 masih berlangsung dengan ragam sajian paper dari para pakar, termasuk para pakar keagamaan. Salah satu tema yang diangkat adalah Harmony in Diversity: Best Practice in Bali. Bertempat di kampus Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Bangli, paparan ini disampaikan oleh 4 pemuka agama.
Dengan tajuk Local Wisdom for Religious Harmony: Lessons Learned from Best Practices in Bali, masing-masing pemateri menyampaikan paparan dari perspektif agama masing-masing. Paparan pertama disampaikan oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Mahrusun Hadyono. Best Practice atau praktik baik yang ada di Bali memiliki 3 inti, yakni dialog antar agama mengenai perayaan hari besar, silaturrahim dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, kerukunan adalah sesuatu yang dinamis dan perlu dirawat dengan sebaik-baiknya.
Romo Evensius Dewantoro Boli Faton, pemuka agama Katolik menjadi pemapar kedua. Dari perspektifnya, ia mengatakan bahwa para Romo termasuk dirinya,pernah diutus gereja untuk belajar studi Islam di Mesir.
“Kami belajar untuk memahami saudara-saudara kita di Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Tujuannya agar sekembalinya kami ke tanah air, kami dapat melakukan dialog keagamaan yang dapat memberikan gambaran bagaimana wajah agama yang akan kita tunjukkan di masa depan” ungkap Romo Evensius.
Sebagai pemateri ketiga, pemuka agama Hindu, Ida Penanda Gede Made Putra Kekeran memaparkan bagaimana persaudaraan sangatlah erat di tanah Dewata ini. Ia mengatakan dengan tegas bahwa dunia adalah sebuah keluarga (world is a family).
“Truth (kebenaran) adalah sesuatu yang tidak bisa dipisah-pisah. Kita memang berbeda, tetapi kita juga tidak bisa terpisahkan” tegasnya Rabu,( 2 -11-22)
Dalam perspektif Hindu, ia melanjutkan, beberapa sumber dari kebahagiaan adalah local wisdom atau kearifan lokal dan juga kebersamaan. Di Bali, kerjasama dan rasa persaudaraan sangatlah kental dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia berharap bahwa kerukunan antar-agama di Bali dapat menjadi contoh untuk daerah-daerah lain, baik warga Indonesia maupun masyarakat dunia.
Ketua forum rektor PTKN sekaligus rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Mahmud, menjadi pemateri terakhir sekaligus memberikan simpulan atas paparan ketiga pemateri sebelumnya. Ia menegaskan bahwa pada intinya, agama apapun bersifat moderat. Jikalau ada oknum yang memantik pecahnya moderasi ini, maka oknum tersebut berarti membajak keorisinalan agama atau organisasinya sendiri.
“Moderasi adalah sesuatu yang perlu disongsong oleh para pemuka semua agama. Perbedaan hadir agar kita semua ber-fastabiqul khairaat atau saling berlomba-lomba dalam hal kebaikan” pungkasnya.
Diskusi yang dipandu oleh Nyoman Yoga Sagara ini dihadiri oleh para rektor PTKN, termasuk rektor UHN Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, perwakilan dari pemerintah Provinsi Bali, serta para akademisi.** SAL/smbr-hmsuinsgd