Oleh: Resa Ristia Nuraidah
KEMENTRIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memberikan perpanjangan waktu kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mengekspor konsentrat tembaga sampai dengan Mei 2024 dari rencana sebelumnya yang akan disetop Juni 2023. Perpanjangan izin ekspor itu diberikan merespons proyek pembangunan fasilitas pemurnian smelter PTFI di Gresik, Jawa Timur yang juga molor hingga tahun depan dari target selesai Desember 2023.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menuturkan, pertimbangan pemerintah memperpanjang masa izin ekspor salah satunya karena progres pembangunan Smelter yang sudah mencapai 61 persen. Perpanjangan izin itu juga telah diputusakn melalui rapat bersama Presiden Joko Widodo. [Republika.co.id]
Pemerintah memperpanjang ijin PT Freeport Indonesia untuk terus mengeksport konsentrat tembaga hingga 2024. Meski Pemerintah menyatakan ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, namun kebijakan ini bertentangan dengan undang-undang dan memperjelas penguasaan SDA di tangan asing.
Sistem kapitalis membebaskan individu/swasta bahkan asing menguasai SDA Indonesia. Padahal di dalam Islam SDA yang sifatnya melimpah termasuk kepemilikan umum. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga, yaitu (1) kepemilikan Individu; (2) kepemilikan umum, mencakup fasilitas publik, barang tambang yang depositnya melimpah, dan barang yang secara pembentukan mustahil dikuasai individu; dan (3) kepemilikan negara.
Islam menjadikan bahan tambang yang jumlahnya tak terbatas menjadi milik umum dan menetapkan hanya negara yang boleh mengelola untuk dikembalikan hasilnya kepada rakyat dalam berbagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya.
Syariat melarang individu menguasai dan mengelola barang tambang, seperti tambang garam, migas, nikel, dan barang-barang tambang lain yang depositnya melimpah.
Dalam pengelolaan SDA, Islam memberikan aturan dan rumus baku yang jelas dan gamblang. Pertama, pengelolaan SDA berprinsip pada kemaslahatan umat.
Kedua, kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum. Hal ini merujuk pada hadis Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Ketiga, pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yakni (1) masyarakat memanfaatkannya secara langsung, semisal air, jalan umum, laut, sungai, dan benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar harta milik umum ini tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat; dan (2) negara mengelola secara langsung. Hal ini dilakukan pada SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang, dll. Negara dapat mengeksplorasi dan mengelolanya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. Negara tidak boleh menjual hasil tambang kepada rakyat untuk mendapat keuntungan. Maka dari itu harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi.
Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Kelima, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitulmal. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan negara, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana dan fasilitas publik. Seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Demikianlah pengelolaan SDA dalam Islam. Hasil pengelolaan tambang yang dikelola berdasarkan syariat Islam akan dinikmati rakyat dengan mudah dan murah. Sementara itu, hasil pengelolaan tambang yang dikelola kapitalisme justru lebih banyak dinikmati kapitalis ataupun korporasi. Wallahu a’lam bi Ash-shawab.*