Oleh : A.Rusdiana
Di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Semua kehidupan yang dihadapi pada perubahan, kita harus memilih di antara dua pilihan, menjadi diri yang diubah (objek perubahan) atau menjadi subyek perubahan. Saat ini kita berada dalam situasi disruptif, bahkan ada yang menyebut dengan megashift , yaitu perubahan yang sangat besar. Apa yang ada dalam benak Kita?: apakah kita memilih mendiskrupsi ( disrupting ) ataukah didisrupsi ( disrupted )? Apakah kita memilih sebagai trendsetter dan driver ataukah follower dan passanger ? Jika kita keberatan dengan QS.Ali Imran ayat 110, seharusnya kita menjadi subyek perubahan, أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ukhrijat linnas , menjadi pembuat sejarah dalam pengertian positif, artinya menjadi pencetak sejarah yang meninggalkan sebanyak mungkin warisan positif untuk generasi selanjutnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, kita harus memiliki kesadaran sejarah. Dengan kesadaran ini, kita akan menjadi subyek perubahan yang akan membuat garis kehidupan menuju masa depan yang lebih baik, bermakna dan bernilai. Dengan kesadaran ini, kita akan mampu melihat seluruh garis kehidupan yang pernah kita lewati secara positif, meskipun tidak semua yang kita harapkan bisa diwujudkan. Artinya, boleh jadi kita belum bisa mencapai tujuan yang telah kita tetapkan alias mengalami kegagalan. Dengan kesadaran ini, kita akan merefleksikan setiap momen yang pernah dilalui, baik momen keberhasilan maupun momen kegagalan, sebab orang yang berhasil bukan berarti tidak pernah mengalami kegagalan, namun sejauh mana kita mampu mengambil pejalaran dari setiap kegagalan tersebut.
Dengan kesadaran waktu (sejarah), kita akan selalu merefleksikan setiap momen yang pernah terjadi untuk mengambil pelajaran, wawasan dan pelajaran agar mampu menciptakan masa depan yang lebih baik. Dengan kesadaran ini kita dapat melemahkan kemampuan diri dan menyusun upaya perbaikan di masa yang akan datang. Dengan refleksi muhasabah diri akan menghasilkan ide dan nilai untuk membuat perubahan di masa depan, sebab masa depan tergantung pada apa yang kita pikirkan, rasakan dan lakukan saat ini. Berdasarkan hal ini, selanjutnya kita akan menafsirkan QS al-‘Ashr ayat 1-3;
Dari itu semua agar kita termasuk golongan manusia yang beruntung, sebagai lawan dari manusia yang mengalami kerugian besar. Untuk itu, setidaknya ada empat hal yang harus kita lakukan agar kita menjadi orang yang beruntung; yaitu; amanu , ‘amilu ash-shalihat , tawashaw bil-haqq , dan tawashaw bish-shabr .
Empat hal yang harus dimiliki manusia agar beruntung :
Pertama, Iman ( beliefs ). Orang yang percaya meyakini adanya hari akhir, maka semua hal dilakukan agar masa depan menjadi lebih baik. Umat Islam harus percaya dan meyakini bahwa Hari Akhir itu pasti akan datang sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan sedikitpun; dan sungguh, Allah akan mengangkat siapapun yang di dalam kubur” (QSal-Hajj [22]:7).
Semua pikiran, perasaan, tulisan dan langkah dicurahkan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Untuk dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, kita harus menjelaskan mimpi dan tujuan hidup. Iman menjadikan kita sebagai pribadi yang berbasis solusi, bukan berbasis masalah. Orang yang berbasis solusi lebih tertekan pada upaya mencari solusi dan ikhtiar menjadi solusi dari setiap masalah dan tantangan yang kita hadapi. Sementara itu, problem-based person lebih berorientasi pada masa lalu, lebih banyak mengeluh dan menyalahkan situasi yang ada.
Napoleon Hill, dalam karyanya Think and Grow Rich , pernah berucap jika kita menginginkan keajaiban terjadi dalam diri kita, maka ada satu hal yang harus kita miliki, yaitu kepercayaan . Keyakinan menjadikan yakin, percaya diri, bersemangat dan optimis ketika melangkah, sebab orang yang beriman pasti berpikir visioner, berorientasi masa depan. Oleh karena itu, Stephen R. Covey menekankan pentingnya kebiasaan membuat penetapan tujuan. Semakin jelas tujuan hidup dibuat, maka semakin jelas langkah dan arah yang akan dituju. Dengan tujuan tersebut kita akan mudah membuat prioritas dalam melangkah. Kita dapat membedakan mana yang penting dan tidak penting, mana yang mendesak dan tidak mendesak. Dengan tujuan yang jelas, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh stressor atau distraktor yang dapat mengendalikan kita jauh dari rujuan hidup sebab kitalah yang akan mengendalikan hidup kita sendiri.
Keimanan seharusnya melahirkan tindakan atau langkah yang membawa kepada kemaslahatan atau sering disebut dengan amal shalih. Tindakan yang konstruktif, kontributif dan solutif pada dasarnya merupakan manifestasi dari keimanan yang kuat. Orang yang beriman tidak akan asal melangkah atau memilih jalan, sebab setiap yang kita lakukan akan berdampak di kemudian hari. Jika banyak melakukan ‘amal shalih dan hasanah , maka kita pasti juga akan mendapatkan kebaikan hati di kemudian hari. Sebaliknya, jika kita banyak melakukan ‘amal yang sayyi’at , maka kita juga akan mendapatkan energi negatif di masa depan. Dengan demikian, masa depan akan menjadi seperti apa yang sangat tergantung pada apa yang kita pilih dan lakukan saat ini.Masa depan Anda adalah apa yang Anda pikirkan saat ini . Demikian kata Mahatman Gandhi.
Kedua, yang perlu dilakukan, agar kita termasuk golongan orang yang beruntung. Di dunia ini kita mengenal hukum kekekalan energi. Energi yang kita keluarkan tidak akan pernah hilang, hanya berubah bentuk. Yang jelas, setiap energi kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, setiap energi keburukan akan melahirkan keburukan pula. Fiman Allah dalam QS. an-Nisa ayat 85.
Arinya:”Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) darinya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) darinya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Nisa [4]: 85).
Kata orang India, kita bebas memilih drama tapi kita tidak bebas memilih karma, sebab karma tergantung pada drama yang kita mainkan. Jika kita memilih peran protagonis, maka kita akan mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, jika kita memilih peran antagonis, maka kita akan memperoleh keburukan di kemudian hari.
Ketiga, dari QS. al-‘Ashr, selain harus mempunyai iman dan beramal shalih, kita harus banyak berbagi perspektif atau sudut pandang. Hal ini terinspirasi dari kata تَوَاصَوْا بِالْحَقِّ, saling mengingatkan dengan kebenaran yang kita miliki. Dalam hal ini kita dapat memaknai “kebenaran” sebagai hasil konstruksi dari pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki atau tekuni. Dihadapkan pada persoalan dan tantangan yang selalu baru dan berubah, kita membutuhkan banyak sudut pandang atau perspektif. Mengapa demikian? Sehebat apa pun ilmu yang kita miliki, kita mempunyai keterbatasan, sebab kita berada dalam ruang dan waktu yang terbatas. Kita tidak akan mampu menjangkau hal-hal yang belum pernah kita pelajari dan alami. Karenanya, kesadaran akan keterbatasan ini menjadikan kita selalu belajar dan mau melihat perspektif atau disiplin ilmu orang lain.
Apa yang terjadi jika kita merasa benar dalam melihat sebuah persoalan apalagi dalam konteks lembaga atau komunitas yang melibatkan banyak kepala atau perspektif? Tentu kita akan banyak menghadapi banyak masalah, akan banyak benturan, dan tidak akan menghasilkan alternatif penyelesaian yang beragam dan komprehensif. Prof. M. Amin Abdullah mengingatkan tentang pentingnya mempunyai pendekatan interdisipliner , multidisipliner dan transdisipliner. Banyak melihat, membaca dan mendengar perspektif yang beragam akan memudahkan kita dalam mewujudkan tujuan hidup yang telah kita buat. Dengan beragam perspektif, akan membuat kita melakukan antisipasi. Jika kita gagal dengan rencana A, maka kita akan segera menggunakan rencana B. jika rencana B tidak berhasil, maka kita masih mempunyai solusi alternatif lainnya dengan CD. Hal ini tidak akan membuat kita stress dan terpukul . Naudzubillah Min Dzalik …
Keempat, yang perlu kita lakukan agar kita tidak menjadi manusia yang merugi adalah memperbanyak تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ tawashaw-bish-shabr , saling berbagi kesabaran. Orang yang shabra sudah terbukti memiliki kekuatan mental ketika menghadapi berbagai persoalan dan tantangan. Orang yang shabra memiliki tingkat resiliensi , endurance dan ketangguhan dalam setiap situasi. Kita membutuhkan best-practice atau lesson-learnedyang pernah dialami oleh banyak orang, sebab bagaimanapun pengalaman kita sangat terbatas. Kita perlu mendengar banyak pihak yang sudah terbukti berhasil keluar dari situasi sulit dan krisis. Berbagai kisah dan cerita inspiratif tersebut akan mendorong dan memotivasi kita bahwa selalu ada jalan dan solusi dari setiap persoalan dan masalah yang kita hadapi.
Mungkin kita pernah merasa bahwa masalah yang kita hadapi sangat berat, belum pernah dialami orang lain. Padahal perasaan ini muncul hanya karena kita belum banyak mendengar banyak pihak yang bisa jadi lebih berat masalahnya dibandingkan kita. Dengan banyak berbagi best-practice , maka kita akan optimis dan berpikir positif, bahwa Allah tidak akan pernah memberikan beban atau masalah di luar batas kemampuan kita. La-yukallifullahu-nafsan-illa-wus’aha . Hanya saja, ketika menghadapi masalah dan tantangan, kita cenderung berpikir negatif . Oleh karena itu, pergeseran paradigma , menggeser sudut pandang dengan banyak mendengar pengalaman orang lain yang sudah terbukti memiliki kesabaran membuat kita menjadi orang yang beruntung.
Akhirnya, semoga kita dapat terhindar atau meminimalkan kerugian hidup dengan cara meningkatkan kesadaran diri terutama terkait waktu yang kita lalui. Besok adalah hari ini . Besok akan menjadi seperti apa tergantung pada apa yang kita pikirkan dan lakukan saat ini. Semoga semua kita lakukan dan rencanakan dimudahkan dan diberkahi oleh Allah, sehingga hidup kita selalu bernilai, bemakna dan beruntung. Segala sesuatu yang kita alami dan terjadi di sekitar kita pasti karena atas izin Allah, sebab jika Allah tidak mengizinkan, maka kun fayakuntidak akan terjadi. Yang perlu kita lakukan adalah memaknai setiap momen dengan penuh keimanan, melakukan aktivitas positif yang mendatangkan kemaslahatan, saling berbagi perspektif dan berbagi pengalaman. Dengan hal ini, insyaallah kita akan menjadi orang yang beruntung, tidak menjadi orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam QS. al-‘Ashr.(Wallahu a’lam).
*( Artikel ini adalah intisari khutbah Jumat, 16 Juni 2023)
*(Penulis adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan, Pakar Pendidikan Indonesia).