Oleh : Ahmad Rusdiana ( Guru Besar Manajemen Pendidikan)
Salah satu bentuk ketakwaan itu adalah tawadhu atau sikap rendah hati.
Sifat tawadhu berarti menempatkan kita lebih rendah dari berbagai kalangan. Hal ini guna merubah sifat sombong yang kerap kali bergelora dalam diri kita. Tawadhu penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan dengan Allah SWT maupun kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya, meliputi manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Lawan dari tawadhu adalah sombong.
Sombong adalah pangkal berbagai macam sifat tercela lainnya. Kita tentu hafal betul kisah iblis yang menolak bersujud dalam rangka melindungi Nabi Adam AS. Itu tidak lain karena kesombongan makhluk terlaknat tersebut. Pasalnya, iblis merasa lebih baik karena diciptakan dari api, sedangkan Nabi Adam AS diciptakan dari tanah.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah menegaskan bahwa merasa lebih baik dari makhluk lain adalah bentuk kesombongan. Karenanya, kita harus yakin bahwa sesungguhnya yang terbaik di sisi Allah SWT itu adanya di akhirat kelak. Hal demikian tentu saja tidak berada dalam jangkauan kita sebagai manusia biasa.
Kita harus memiliki keyakinan bahwa orang lain itu lebih baik dari kita. Jika dalam pandangan mata terlihat buruk, kita tidak dapat menganggap demikian secara keseluruhan. Setiap manusia pasti memiliki sisi yang baik. Imam al-Ghazali memberikan tips bagaimana kita menggunakan kacamata tawadhu dalam melihat siapa saja, anak kecil, orang tua, orang bodoh, atau kafir sekalipun.
Anak kecil tentu belum dihukumi taklif sehingga tidak bermaksiat kepada Allah SWT, sedangkan hari-hari kita tidak pernah lepas dari bermaksiat kepada-Nya. Dengan begitu, kita tidak perlu ragu untuk mengakui bahwa anak kecil itu lebih baik dari diri kita. Orang yang lebih tua dari kita seyogianya dipandang lebih baik dari kita. Sebab, mereka lebih dahulu daripada kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tak ada halangan lagi untuk meyakini bahwa mereka lebih baik daripada kita. musyawarah ada orang yang tampak, mohon maaf, bodoh, kita juga harus meyakini simpati mereka. Sebab, jika pun mereka melakukan maksiat, tentu hal itu dituntut atas ketidaktahuannya, sedangkan kita tetap maksiat, meskipun kita tahu bahwa hal tersebut salah dan dilarang Allah SWT.
Apalagi, terhadap orang kafir pun kita tidak boleh merasa lebih baik. Sebab, mungkin saja di suatu saat nanti, atau mungkin di akhir hayatnya kelak, ia mengucapkan syahadat dan wafat dalam membawa keislaman dan keimanan. Hal demikian bukanlah hal yang mustahil dan memang banyak yang bisa terjadi.
Dengan keyakinan demikian, perasaan tidak lebih baik dari orang lain, maka kita akan berusaha untuk terus memperbaiki diri, berintrospeksi, mencari kesalahan diri agar tidak berulang lagi di kemudian hari dan menggantinya dengan sikap dan laku yang baik.
Kita juga tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi justru mencari dan menemukan kebaikannya untuk kita tiru, kita teladani sebaik mungkin sehingga kita tidak hanya menghindari dari perbuatan buruk, tetapi justru melampaui hal tersebut, yakni dengan berlaku baik.
Oleh karena itu,penting bagi kita untuk menerapkan sikap tawadhu dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, orang tawadhu adalah hamba Allah SWT yang utama. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan ayat 63 sebagai berikut:
Artinya: Adapun hamba-hamba (utama) Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan ketika orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengartikan “salam”.
Imam Abu Ishaq ats-Tsa’labi dalam kitabnya, Al-Kasyfu wal Bayan fi Tafsiril Qur’an menjelaskan bahwa hamba yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hamba utama, yakni orang yang tawadhu, rendah hati. Apalagi jika ada orang yang ‘mengkhutbahi’, menasihati dengan kata-kata yang justru tidak membuatnya nyaman, orang tersebut tetap menjawabnya dengan doa keselamatan. Dalam tafsir lain, Ibnu Hayyan mengatakan bahwa hamba utama itu menjawab dengan ketepatan yang menyelamatkannya dari dosa.
Meskipun diperlakukan dengan tidak baik, sikap tawadhu menghindarkan kita dari dosa-dosa berupa laku buruk yang serupa atau bahkan lebih sebagai balasannya. Kita justru akan menjawab perlakuan itu dengan kebalikannya, yaitu dengan mengutamakan keselamatan, tetap menjaga etika dan akhlak kita, baik secara perbuatan ataupun perkataan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya, Lathaiful Isyarat. Nabi Muhammad SAW pernah dicantumkan Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Lubabul Hadits sebagai berikut:
Artinya: Tawadhu merupakan bagian dari akhlaknya para nabi, sedangkan sombong adalah akhlaknya orang-orang kafir dan para firaun.
Lantas bagaimana Kemudian tanda-tanda Tawadhu: Menurut Ibnu Qayyim rahimahullah bahwa, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambahnya usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta memperdaya hati mereka.”
Dalam kehidupan sehari-hari umat muslim sangat dianjurkan untuk selalu memelihara sikap tawadhu. Memiliki perilaku tawadhu atau rendah hati juga merupakan salah satu cerminan seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT. Tawadhu bukan sekedar tata krama biasa, melainkan sikap ini jauh lebih dahulu ketimbang sopan santun yakni suatu sikap batin yang menjelma dalam praktik lahiriyah secara wajar dan bijaksana. Belajar menerapkan sikap tawadhu dalam kehidupan sehari-hari tidak akan merugikan melainkan dapat bermanfaat membuat kamu lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Lalu apa tawadhu’ itu?
Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menunjukkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak melawan hukum. Tidak ada yang mengingkari, bahwa tawadhu’ adalah akhlak yang mulia.
Sikap tawadhu atau rendah hati selalu dianjurkan untuk dimiliki setiap Muslim. Seseorang yang senantiasa menjalankan perilaku ini secara lahir batin, akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Manusia adalah tempatnya berbagai kelemahan, dan Allah meletakkan suatu kelebihan kepada orang tertentu dan meletakkan kekurangan kepada orang tertentu pula. Maka tidak mungkin ada orang yang sempurna dan tidak kekurangan. Orang yang rendah hati menyadari hal itu, sehingga ketika dia melihat saudara sesamanya memiliki sesuatau yang tidak dia miliki, maka dia akan tetap tenang dan tidak sakit hati. Hal ini bertolak belakang dibandingkan dengan orang yang sombong. Dia akan selalu gelisah dan merasa jengkel ketika melihat seseorang melebihi dirinya, entah hartanya, kecantikannya/ketampanannya, kedudukannya dan sebagainya.
Barangsiapa mau bersembunyi di hadapan manusia dan Allah, maka tenanglah hatinya. Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada pada dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan seseorang, semakin sempurna ketawadhuanya. Kita adalah hamba Allah SWT, sungguh tidak pantas bagi seorang hamba berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Allah berfirman: ا سَلٰمًا
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan ketika orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengartikan “salam,” (QS. Al Furqan: 63 )
Sifat tawadhu tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diusahakan secara bertahap, serius dan irasional. Ada lima cara Muhasabah Nafsiyyah untuk menumbuhkan sikap tawadhu’ seperti yang tertuang dalam kitab Bidayatul Hidayah , karya Imam al-Ghazali, diantaranya:
Pertama: Apabila Anda melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hati, ‘Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan saya sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku’.
Kedua: Apabila Anda melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hati, ‘Orang ini sudah berkata sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’.
Ketiga: Apabila engkau melihat orang alim (berilmu), katakan dalam hatimu, ‘Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan saya tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak saya tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?’
Keempat: Apabila Anda bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hati, ‘Orang ini durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan saya durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku. Maka hukuman Allah lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini’.
Kelima: Apabila Anda melihat orang kafir, maka katakan dalam hati, ‘Saya tidak tahu, boleh jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dengan kebaikan hati, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah (karena ujub memuja diri dan memandang rendah orang lain) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidup berakhir dengan perbuatan buruk. Orang seperti ini bisa jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan saya menjadi orang yang jauh dari Allah’.
Firman Allah SWT dalam Alquran, “Maka janganlah kamu menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Allah) lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” (Surah an-Najm ayat 32)
Oleh karena itu, dengan kita bertawadhu, sesungguhnya kita tengah menjalankan salah satu akhlaknya para nabi. Dan semoga, kita selalu dapat menjalankan sikap seperti ini. Meskipun mungkin akan sulit diterapkan karena beragam hal, mulai merasa diri pintar karena berprestasi, merasa lebih dekat dengan Allah karena selalu berjamaah di masjid, misalnya, dan sebagainya, tawadhu harus kita latih . Sedikit demi sedikit, insyaallah, kita akan terbiasa dengan keadaan demikian.
Hendaklah Mengenal Allah SWT,. “Setiap manusia akan menghukum tawadhu’ seukuran dengan makrifatnya (pengenalanya) kepada Tuhanya.” Orang yang mengenal Allah dengan sebeenarnya akan menyadari bahwa Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, dan Maha Perkasa, yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bila dia mendapat kebaikan, dia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui bahwa dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.
Kedua: marikita Mengenal Diri; Dilihat dari asal-usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina. Kemudian lahir kedunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun. Karena itu manusia tidak berhak sombong. Ia harus mematuhi tawadhu, karena ia lemah dan tidak memiliki banyak pengetahuan. Manusia dapat terjebak pada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan, padahal ia justru melakukan kerusakan dan kedzaliman. Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan, dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak di hari Qiyamat Yaumul Hisab. Hal ini harus disadari atas kekurangan dan aib dirinya sejak dini,
Ketiga marilah kita Merenungkan Nikmat Allah; Hakikatnya seluruh nikmat yang di anugerahkan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Banyak manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Banyak diantara kita diberi kenikmatan, baik berupa ilmu, harta, jabatan, prestasi dan lainya, merasa bangga pada diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri adalah pangkal kesombongan. Karena itu kita perlu merusak nikmat Allah yang kita terima, sekecil apa pun. apakah kita syukur atau kita kufur.
Dengan tawadhu dan hati-hati, kita harus bersyukur dan bahkan mewaspadai jangan-jangan kita masuk jebakan “istidraj”, perilaku yang akan berakibat fatal. Selain nikmat Allah dalam usaha untuk menumbuhkan akhlak tawadhu, supaya merusak manfaat tawadhu.(Wallahu alam)
*( Artikel adalah esensi khutbah Jumat, 23 Juni 2023)