BANDUNG, Ekpos.Com — Mengusung tema “Musik, Balada dan Puisi” Majelis Sastra Bandung kembali menggelar Pengajian Sastra ke 135, di kafe Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut No 2, Kota Bandung, Jumat (22/9/2023).
Pengajian sastra merupakan gelaran yang sudah berjalan hampir 15 tahun, namun sempat terhenti selama Pandemi Covid-19.
Hingga saat ini, pengajian sastra sejatinya membahas segala topik yang menjadi kegelisahan masyarakat dan pelaku seni dari kacamata sastra. Baik itu politik, musik, theater, novel, puisi, cerpen hingga perempuan.
Selama hampir 15 tahun, pengajian sastra telah digelar di berbagai tempat berbeda. Mulai dari dalam ruangan hingga luar ruangan, seperti di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Balai Bahasa. Digelar di pinggir jalan, Stasiun Kereta, tempat keramaian publik lainnya.
“Hingga akhirnya di Perpustakaan Ajip Rosidi, sudah 3 pertemuan terakhir pengajian sastra digelar di sini,” ujar Matdon, Majelis Sastra Bandung.
Kembali ke Musik, Balada dan Puisi, tema pengajian sastra ke 135, kali ini menghadirkan dua narasumber, Adew Habtsa, praktisi atau seniman penyanyi balada dan Herry KS, jurnalis musik senior Kota Bandung.
Pemerhati dan jurnalis musik senior, Kang Herry KS berpendapat musik balada sederhana, baik itu tentang puisi yang diiringi lagu, syair jalan kehidupan, syair percintaan. Karena musik balada itu terletak dalam kekuatan syair dan lirik yang puitis di dalam lagu.
“Saya mah simpel, kalo musik balada itu kembali ujung-ujungnya mau dikatakan apa itu tentang puisi yang diiringi menjadi lagu mangga (silahkan), atau misalnya jalan hidup, kehidupan dan masalah percintaan sebagainya, itu bebas-bebas aja. Itu menurut kacamata saya,” ujar kang Herry, biasa disapa.
Ia mencontohkan, kekuatan musik balada yang tertelak pada syair dan liriknya, seperti di dalam lirik lagu ciptaan Abah Iwan Abdurahman, ‘Melati dari Jayagiri’. Itu sudah jelas balada. Termasuk ada lirik sebuah lagu ‘satu mil lebih sedepa’.
Bagi awam, untuk mempersepsikan arti lirik lagu tersebut kan bingung, namun tetap populer dan diterima di telinga pendengar musik.
Sebetulnya, kata kang Herry, semua jenis musik itu memiliki unsur balada selama syair dan liriknya bernuansa puitis, bercerita tentang kehidupan, baik kehidupan sosial maupun kisah hidup.
Baginya karya seni atau karya musik itu tidak lepas dari presentasi dan asumsi orang lain atau penikmat seni. Karena dengan banyaknya pengelompokan kategori menambah keragaman dan khasanah, itu menjadi pilihan masing-masing dari penikmat seni atau penggemar musik.
Sementara, sebagai pelaku seni musik balada, Adew melihat kecenderungan masyarakat penikmat musik kembali menyukai syair yang puitis. Bisa dilihat dari beberapa lagu seperti Akad dari Payung Teduh. Penyanyi muda, Nadin Amizah, lagu-lagu bersyair puitis mulai digemari penikmat musik di Indonesia.
Kabar baik ini, menjadi semangat sekaligus tantangan baginya untuk menciptakan syair dan lagu sehingga karya bisa diterima oleh penikmat musik secara lebih luas.
“Sebenarnya itu yang menjadi PR (pekerjaan rumah-red) saya, mencoba mendengar dan menjangkau pendengar yang lebih luas,” ungkapnya.
Untuk itu, dengan adanya pengajian sastra yang mengangkat tema ‘musik, balada dan puisi’, menambah energi baru bagi pelaku atau pengisi panggung balada di Kota Bandung ini.
“Bagi kami yang berada di panggung seni, memberi energi, menjadi kekuatan memberikan daya tahan dan nafas senjang. Di kesenian itu kadang-kadang di tengah perjalanan suka banyak berpikir yang tidak-tidak (titik jenuh),” ujarnya.
Namun setelah berdiskusi dan mengelaborasi baik dari sejarah, jenis dan masa emas musisi balada membuat dirinya merasa mendapatkan dorongan semangat untuk terus berkarya di tengah era pemasaran musik melalui flatform digital.
“Tapi ketika tadi ketemu kang Herry, disemangati dan dikuatkan. Setelah ketemu Matdon, wah (semangat) nulis lirik bikin lebih bagus lagi. Jadi itu hikmah dari pertemuan ini menguatkan dalam berkarya,” ungkapnya.