6 Persiapan Menghadapi Ibadah Ramadhan

Prof.Dr.Ahmad Rusdiana, MM

Oleh : A.Rusdiana

Waktu terus mengalir dan tak terasa kita menghabiskan hampir separuh bulan Sya’ban. Bulan suci Ramadhan pun kian dekat didepan mata dan memberikan suasana batin tersendiri bagi masing-masing orang. Ada yang bergembira dengan kehadiran bulan suci ini. Ada pula yang biasa-biasa saja: Sya’ban dan Ramadhan dinilai tak jauh berbeda dari bulan-bulan lainnya. Sikap kedua ini bermasalah karena menjadi indikasi tentang tidak sensitifnya hati kita kepada kemuliaan-kemuliaan waktu khusus yang tertuang dalam ajaran Islam. Umumnya, suasana “biasa saja” itu bukan karena sikap ingkar melainkan karena terlalu padatnya kehidupan seseorang dengan aktivitas duniawi sehingga menganggap perjalanan bulan Rajab, Sya’ban, dan kemudian Ramadhan tak ubahnya rutinitas belaka.

Sebentar lagi tamu kita yang mulia bernama bulan Ramadhan akan segera tiba. Tamu terhormat yang datang dengan membawa segudang peluang dan kesempatan emas bagi kita. Kenapa dikatakan demikian? Tak lain karena di dalam bulan Ramadhan terkandung kemuliaan dan keistimewaan yang amat besar, yang tak bisa dijumpai pada bulan-bulan lainnya. Nilai ibadah dilipatgandakan, doa-doa dikabulkan, dosa diampuni, pintu surga dibuka, sementara pintu neraka ditutup. Ramadhan, tak ubahnya tamu agung yang selalu dinanti-nanti kedatangannya. Rugilah orang yang tidak dapat bertemu dengannya. Namun akan lebih rugi lagi bagi mereka yang menjumpainya tapi tidak mengambil sesuatu darinya, yakni dengan menggunakannya sebagai momen meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah tersebut, sehingga kita dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian, apa yang menjadi tujuan akhir dari puasa Ramadhan ini, yakni derajat ketakwaan dapat kita raih. Untuk itulah, Rasulullah SAW tak lupa berpesan kepada umatnya ketika bulan Ramadhan datang – sebagaimana hadits yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Abu Hurairah:

Dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anh beliau berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda : “Sungguh telah datang pada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, yang mana pada bulan tersebut Allah SWT mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka, sementara pintu-pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan.(HR. An-Nasa’i).

Selain itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita sebuah doa yang dipanjatkan menjelang datangnya Ramadhan, yakni : Allâhumma bâriklanâ fî Rajaba wa Sya’bâna, wa ballighna Ramâdlana (ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan (usia) kami berjumpa Ramadhan) (HR. Ahmad dan Bazzar).

Oleh karena itu, marilah kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan penuh suka cita “Marhaban Ya Ramadhan (selamat datang bulan Ramadhan), kami sambut kedatanganmu dengan penuh suka cita.”

Prof. Dr. Quraish Shihab, ulama tafsir dari Indonesia lulusan Universitas Al-Azhar Mesir menjelaskan bahwa kata “marhaban” terambil dari akar kata “rahb” (رَحْبٌ) yang berarti (وَاسِعٌ, رَحِيْبٌ) “luas atau lapang”, sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu yang datang disambut dan diterima dengan lapang dada, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya tempat yang luas untuk melakukan apa saja yang dia inginkan.

Dari kata ini, terbentuk kata “rahbah” yang antara lain, diartikan sebagai “ruangan luas untuk mobil,” guna memperoleh perbaikan atau kebutuhan bagi kelanjutan perjalanannya. “Marhaban Ya Syahra Ramadhan” berarti, “kami menyambutmu dengan penuh kegembiraan dan kami persiapkan untukmu tempat yang luas agar engkau bebas melakukan apa saja, yang berkaitan dengan upaya mengasah dan mengasuh jiwa kami.”

Dalam bahasa Arab bulan disebut dengan “syahr”(الشَّـهْرُ) yang bermakna “terkenal” atau populer. Orang Arab biasanya menamai bulan sesuai dengan keadaan di mana bulan itu berlangsung. Karena pada masa turunnya perintah puasa adalah musim panas yang terik, maka bulan itu dinamai “Ramadhan” yang akar katanya dari “Ramidha” (رَمِضَ) yang berarti “sangat panas, membakar” disebabkan panas matahari yang luar biasa menyinari pasir-pasir gurun. Ada juga pengertian lain yaitu “batu (karang) yang membakar.”

Pengertian di atas sesuai dengan makna filosofis bulan Ramadhan, yaitu membakar dosa-dosa yang pernah dilakukan dengan menahan makan dan minum dan apa-apa yang membatalkannya. Juga dapat dianalogikan, untuk membuat sesuatu lebih terbakar adalah dengan menghimpitnya di antara dua batu (karang) lembut, lalu memukul-mukul sifat (buruk)-nya sendiri di antara dua batu (karang), yakni lapar dan haus. Rasulullah SAW, bersabda, “dinamakan bulan Ramadhan karena ia cenderung membakar dosa-dosa.”

Berikut ini adalah beberapa sikap terpuji yang dilakukan para ulama shaleh terdahulu dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang pantas diteladani:

Pertama, kita harus menyambut Ramadhan dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan bahwa orang-orang salaf terdahulu selalu mengucapkan doa:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan (usia) kami berjumpa Ramadhan.”

Seolah mereka juga memohon, “Ya Allah sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadhan, selamatkan Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan.”

Sampai kepada Ramadhan adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi mereka, karena pada bulan itu mereka bisa mendapatkan nikmat dan karunia Allah yang tidak terkira.Tidak mengherankan jika kemudian Nabi saw dan para sahabat menyambut Ramadhan dengan senyum dan tahmid, dan melepas kepergian Ramadhan dengan tangis.

Kedua, dengan pengetahuan yang dalam. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim. Ibadah puasa mempunyai ketentuan dan aturan yang harus dipenuhi agar sah dan sempurna. Sesuatu yang menjadi prasyarat suatu ibadah wajib, maka wajib memenuhinya dan wajib mempelajarinya. Ilmu tentang ketentuan puasa atau yang sering disebut dengan fikih puasa merupakan hal yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim, minimal tentang hal-hal yang menjadi sah dan tidaknya puasa.

Persepsi dan pengetahuan yang utuh tentang bulan Ramadhan akan menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang bisa merusak ibadah Ramadhan disebabkan oleh ketidaktahuan kita. Persepsi yang utuh tentang keutamaan Ramadhan akan mendorong tumbuhnya motivasi dari dalam diri untuk menjalani ibadah dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pada bagian ini, persiapan-persiapan yang bisa dilakukan adalah dengan banyak bertanya, belajar dan membaca. Orang akan mampu mengerjakan sesuatu dengan sempurna dan riang gembira jika ia tahu dengan pasti apa alasan, tujuan dan manfaat di balik sesuatu yang ia kerjakan.

Ketiga, dengan doa. Bulan Ramadhan selain merupakan bulan karunia dan kenikmatan beribadah, juga merupakan bulan tantangan. Tantangan menahan nafsu untuk perbuatan jahat, tantangan untuk menggapai kemuliaan malam Lailatul Qadar dan tantangan-tantangan lainnya. Keterbatasan manusia mengharuskannya untuk selalu berdoa agar optimis melalui bulan Ramadhan.

Keempat, dengan tekad dan planning yang matang untuk mengisi Ramadhan. Niat dan azam adalah bahasa lain dari planning atau perencanaan. Orang-orang soleh terdahulu selalu merencanakan pengisian bulan Ramadhan dengan cermat dan optimis. Berapa kali dia akan mengkhatamkan membaca Al-Quran, berapa kali shalat malam, berapa akan bersedekah dan memberi makan orang berpuasa, berapa kali kita menghadiri pengajian dan membaca buku agama. Itulah planning yang benar mengisi Ramadhan, bukan hanya sekadar mem-planing atau merencanakan menu makan dan pakaian kita untuk Ramadhan, tapi lebih diarahkan ke perencanaan yang matang untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan Ramadhan.

Kelima, Persiapan Ruh dan Jasad Rasulullah SAW dan orang-orang shalih tidak pernah menyia-nyiakan keutamaan Ramadhan sedikitpun. Rasulullah dan para sahabat memperbanyak puasa dan bersedekah pada bulan Sya’ban sebagai latihan sekaligus tanda kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan. Anas bin Malik r.a. berkata, “ketika kaum muslimin memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk membaca Alquran dan mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.”

Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Katanya: “Ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan yang lain sebanyak puasa di bulan Sya’ban ini? Beliau saw menjawab: “Itulah bulan yang dilupakan orang, antara Rajab dan Ramadhan, bulan ditingkatkannya amal perbuatan kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Dan aku ingin amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasa-i).

Keenam, persiapan materi. Kemudian yang harus kita perhatikan menyongsong bulan Ramadhan adalah persiapan finansial atau materi. Persiapan materi di sini tidak dimaksudkan untuk membeli kebutuhan berbuka dan sahur yang mewah dan mahal bahkan kadang terkesan berlebihan. Tapi finansial/materi yang diperuntukkan untuk menopang ibadah sedekah dan infak kita. Bulan Ramadhan merupakan bulan muwaasah (bulan santunan, pelipur lara). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun sekedar sebiji kurma dan seteguk air. Kedermawanan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan sangat besar. Digambarkan dalam beberapa riwayat bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rasulullah saw kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya.

Bagi kebanyakan umat Islam, mungkin puasa masuk deretan yang terberat di antara ibadah-ibadah lainnya. Puasa menghendaki kita untuk bertahan dalam lapar dan haus sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Meski demikian, dalam puasalah, seorang hamba memperoleh pendidikan ruhani yang luar biasa. Puasa tak sekadar menahan diri dari aktivitas makan dan minum tapi juga aktivitas lain yang menjadi selera hawa nafsu, seperti bohong, menggunjing orang, boros, pamer, suka dipuji, merasa lebih saleh, gemar menilai keimanan orang lain, dan lain-lain. Hal ini terjadi bila kita memaknai puasa dalam dua dimensi sekaligus, yakni jasmani dan ruhani. Sebelum menapaki bulan seribu berkah, yakni Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk menggembleng diri dengan puasa dan meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah. Bukan semata dengan banyaknya ritual ibadah melainkan pula meningkatnya kesadaran ketuhanan (ilahiyah) yang kemudian menjiwai seluruh gerak-gerik kita.

Akhirnya, marilah kita mengajak keluarga kita, saudara dan juga sahabat untuk bersama-sama menjadikan bulan Sya’ban ini sebagai bulan persiapan. Dari mulai persiapan keimanan hingga keilmuan, kita wujudkan satu demi satu pada hari-hari kita, pada rumah tangga dan lingkungan kita. Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dan keberkahan. Wallahu a’lam.

*Arikel ini esensi dari khutbah Jumat, 8 Maret 2024

* Penulis adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan FTK UIN Bandung.

Total
0
Shares
Previous Article

Selesaikan Permasalahan dan Pembangunan Bukan Hanya Tanggungjawab Pemerintah

Next Article

Ketum Dharma Pertiwi Beri Santunan dan Tali Asih Kepada Ahli Waris Awak Pesud Bonanza T-2503

Related Posts