Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
JAKARTA || Ekpos.com – Sudah lama penulis nyatakan “Jokowi akan terkena karma politik” dan karma tersebut beberapa nya sudah mulai terbukti menyerempet tubuh Jokowi pra lengser keprabon, maka logika perspektif politiknya tentu bakal membesar paska Jokowi lengser, karena faktor hilangnya kekuasaan?
Dan keputusan politik Jokowi, yang tinggal 5 hari lagi lengser keprabon, kembali menyulut dan menuai api permusuhan, Jokowi memberhentikan Budi Gunawan/BG, Kepala BIN, orang dekat Megawati lalu menggantikannya dengan sosok M. Herindra/ MH. Sehingga setelah melalui fit and proper test pada Rabu, 16 Oktober 2024 oleh DPR RI. Dan MH. dinyatakan lolos, baru pada Kamis, tanggal 17 Oktober 2024. Sehingga MH. Praktis bertugas sebagai kepala BIN hanya selama 2 hari (18-19), karena hari minggu, 20 Oktober 2024 Jokowi resmi sudah lengser keprabon.
Dan sesungguhnya Jokowi terjebak oleh perangkap kera, perangkap cerdas dari “seteru politik yang memainkannya”, yaitu bisa jadi hasil koordinasi Prabowo dan petinggi PDIP. Karena terbukti Prabowo bakal menjadikan BG. Sebagai bakal salah seorang menteri dalam kabinetnya. Sehingga segala kebencian patut dialamatkan kepada Jokowi yang sudah lemah, namun tetap memiliki super ego dan naluri selalu ingin memukul lawan politiknya.
Namun Jokowi yang terjebak oleh perangkap kera, tidak menyadarinya, karena sedang dalam tekanan mental yang datang keras dan bertubi-tubi dari berbagai penjuru, sementara dirinya post power syndrome.
Sehingga api yang disulut Jokowi selama ini hanya untuk memanggang tubuhnya sendiri.
Awalnya memang Jokowi secara sadar sengaja menyulutkan api ke tubuh Megawati Soekarno Putri, dikarenakan Jokowi yang punya gelagat menjadi presiden 3 kali ditolak mentah-mentah oleh Ketua Umum Partai PDIP, figur tokoh perempuan politisi nasional terbesar, yang telah membesarkannya dan terbukti menjadikan Jokowi presiden dua periode dan catatan historis biografi Megawati Soekarno adalah putri biologis kandung dari salah seorang the founding father NKRI, Ir Soekarno.
Kemudian selanjutnya akibat penolakan Megawati, Jokowi bukannya sadar dan merasa malu, justru tepat pada medio tahun 2023. Jokowi banting setir khianati Megawati. Dia dan Gibran tanpa permisi tinggalkan partai PDIP.
Lalu Jokowi langsung tancap gas dengan menggunakan metode opensip (menyerang secara terbuka) Megawati dan eks partainya, dengan pola memberi dukungan penuh kepada Capres Prabowo Subianto yang Ia pasangkan dengan cawapres Gibran putranya, walau Gibran tidak cukup syarat batas usia sebagai cawapres, akhirnya Gibran lolos melalui cara konspirasi politik atau nepotisme bersama adik iparnya (Anwar Usman) selaku Ketua Mahkamah Konstitusi/MK.
Sejak pra memasuki pilpres 2024 “kobaran api terus membesar, dan bakal lebih mengganas melahap tubuh Jokowi serta high risk akan menjalar ke tubuh keluarga terdekat Jokowi,” yakni anak, istri dan juga menantunya, bahkan tidak mustahil akan merambah ke Ipar serta adik atau keluarga dekatnya.
Kini, api yang Jokowi sulut mulai berimbas membakar dirinya dan keluarganya sendiri. Sebut saja 3/ tiga diantara dari banyaknya imbas karma politik atau “Jokowi effectus”:
1. Kaesang gagal ikut dalam kontes pilkada akibat putusan MK,
2. Lalu perjuangan Jokowi meloloskan Kesang melalui DPR RI pada tanggal 22 Agustus 2024 gagal, dengan alasan sederhana dari Dasco, selaku Jubir perwakilan anggota DPR RI yang bersidang, “Rapat Paripurna Pengesahan Revisi UU Pilkada batal digelar karena kurang kuorum”,
3. Terbongkarnya akun Fufu Fafa yang menghinakan Prabowo Subianto, Capres RI. dan menistakan banyak pihak, dan tuduhan 99 % lebih pemiliknya adalah Gibran bin Jokowi, diperkuat oleh tuman BSSN lalu berita bertambah booming meledak tepat momentum berdekatan dengan pelantikan capres-wapres.
Dua peristiwa karma politik tersebut merupakan efek perilaku Jokowi, selebihnya adalah akibat dosa kebijakan politik hukum Jokowi, yang dirasakan oleh berbagai pihak atau individu-individu, para kelompok aktivis dari berbagai golongan sangat menganiaya dan menyakitkan. Dan akibat kumulasi ketidaksenangan dari berbagai pihak, otomatis efek Jokowi bakal “menjalar kemana-mana”.
Sementara Jokowi sendiri telah sirna kekokohannya, linglung dan lemah bak tak bertulang, mirip cacing tanah, bahkan dirinya sendiri bakal tidak kuat untuk menopang kekuatan melawan para lawan penentangnya, yang ada hanya seorang “Gibran fufu fafa”, yang tidak jelas eksistensi batasan kekuasaannya dan tiada (memiliki) basis power politik maupun kelompok pendukungnya sebagai modal pertahanan dirinya.
Tentunya publik tidak keliru menilai, bahwa tingkat tendensi publik tehadap Jokowi amat serius, dan bentuk moral pressure yang akan datang bakal akumulatif, bagai gelombang api dari para senioren partai yang Jokowi, Gibran dan Bobby Nasution khianati, plus partai Gerindra dan kelompok dan para tokoh individual yang memiliki basis massa yang merasakan pernah teraniaya dan tersakiti, karena menjadi korban kebijakan politik dan penegakan hukum Jokowi yang sering menggunakan pola suka-suka, nepotisme, pembiaran, dan obstruksi serta disobidience atau pembangkangan terhadap sistim konsitusi.
Akhirnya faktor kumulasi perlawanan dan pertentangan terhadap Jokowi pribadi bakal meluluhlantakkan paket kekuasaan Jokowi dan keluarganya dari unsur-unsur domain kekuasaan yang pernah berada dalam genggaman tangannya, serta tentunya bobot pelanggaran dan tingkat kejahatan yang Jokowi lakukan bervariasi selama 10 tahun berkuasa, yang menurut asas teori hukum pidana merupakan concursus atau samenloop atau penggabungan beberapa kasus pidana yang dilakukan oleh Jokowi serta merupakan hal atau objek yang berbagai jenis delik, selain juga pada lokasi dan objek dan waktu yang berbeda, (berbagai jenis delict dan berbeda tempus dan locus delicti), sehingga ada dakwaan yang berlapis dan ada banyak dakwaan yang harus split/terpisah atau berdiri sendiri-sendiri.
Sehingga tentu terali besi merupakan balasan hukuman teringan untuk seorang Jokowi, dan hal yang patut, andai terhadap diri Jokowi dijatuhi ancaman hukuman terberat merujuk ketentuan hukum pidana atau yang biasa disebut sebagai HUKUMAN MATI. ***