Jakarta, 24 Oktober 2024 – Isu kesehatan mental tengah menjadi sorotan karena semakin banyak orang yang menyadari pentingnya menjaga kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia pada 10 Oktober lalu, Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja” pada Kamis, (24/10). Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran risiko dan mengidentifikasi solusi praktis guna mendukung kesehatan mental sebagai pilar utama pembangunan di Indonesia.
Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Puspita Tri Utami, M.Si, M.KKK, menjelaskan bahwa Kemenkes turut aktif mengampanyekan kebijakan berbasis risiko, terutama kesehatan mental. Menurut dr. Puspita, kesehatan mental memiliki dampak yang signifikan terhadap produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang. Namun, kesehatan mental kadang diabaikan dan dipandang sebelah mata.
“Edukasi dan kesadaran tentang kesehatan mental serta upaya destigmatisasi merupakan pendekatan-pendekatan strategis untuk mengurangi risiko kesehatan mental. Sehingga, kami sangat fokus dan konsisten pada isu kesehatan mental, sebab kita lihat ini fenomenanya seperti gunung es, ketika masyarakat semakin aware, ini akan sangat membantu dan bagus sekali. Jika kesadaran pengurangan risiko pada kesehatan mental semakin meningkat, saya yakin visi Indonesia Emas 2045 akan bisa tercapai,” ungkap dr. Puspita.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2019, diperkirakan 15% orang dewasa usia kerja mengalami gangguan mental. Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun di seluruh dunia akibat depresi dan kecemasan, dengan biaya mencapai USD 1 triliun per tahun dalam kehilangan produktivitas.
Edukasi Pengurangan Risiko
Ketua MASINDO, Dimas Syailendra, menjelaskan diskusi yang melibatkan pemerintah, peneliti, dan praktisi kesehatan ini merupakan salah satu upaya untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat menuju gaya hidup yang sadar risiko. Diskusi ini diharapkan dapat membuka ruang dialog dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk bersama-sama mengedukasi tentang perilaku sadar risiko kepada masyarakat luas.
“MASINDO ingin mengajak masyarakat untuk mulai memperhatikan risiko saat bekerja, khususnya kesehatan mental di lingkungan bekerja. Tantangan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan stres, memiliki potensi besar untuk menghambat pencapaian produktivitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan pengurangan risiko yang komprehensif, termasuk intervensi kebijakan, edukasi, dan dukungan psikologis, sangat diperlukan,” terang Dimas.
Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dr. Felosofa Fitriya, MMR, menekankan pentingya mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko yang memicu gangguan mental di tempat kerja, seperti tekanan pekerjaan berlebih, kurang jelasnya peran, dan minimnya dukungan manajemen. “Mengelola faktor-faktor ini adalah tantangan besar, namun sangat penting untuk kesehatan mental pekerja,” ujar dr. Felosofa.
Para pekerja perlu didorong untuk lebih memperhatikan kesehatan, baik fisik maupun mental, dan secara sadar membuat pilihan yang mempertimbangkan aspek pengurangan risiko. Besarnya tekanan pekerjaan juga meningkatkan masalah kesehatan mental sehingga memicu kebiasaan berisiko.
Perusahaan juga harus proaktif dalam mendukung kesejahteraan mental karyawan dengan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental serta bentuk-bentuk edukasi sadar risiko dan pengurangan risiko (harm reduction) yang relevan. Dengan pendekatan ini, dr. Felosofa berharap dapat membantu pekerja mengurangi kebiasaan berisiko secara berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dalam kesempatan yang sama Psikolog, Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi, Psikolog, menuturkan, kebiasaan-kebiasaan berisiko yang muncul akibat stres dan tekanan dalam lingkungan pekerjaan salah satunya dapat ditangani dengan pendekatan Cognitive Behaviour Modification (CBM). Pendekatan ini menekankan pentingnya edukasi terkait kebiasaan yang masih dilakukan dan konsekuensinya secara akurat, serta dukungan tanpa stigma, tujuan yang realistis, dan pembentukan keterampilan dalam meregulasi emosi dan stres.
Sukmayanti juga menambahkan bahwa kebiasaan berisiko ini diusahakan untuk dikurangi terlebih dahulu daripada dihentikan langsung secara tiba-tiba (cold turkey). Melakukan pengurangan secara bertahap (desentisisasi) dari kebiasaan-kebiasan berisiko yang timbul akibat tekanan pekerjaan dapat dijadikan sebagai solusi.
“Jika bisa berhenti secara langsung, tentu akan lebih baik. Namun, jika pendekatan seperti itu tidak berhasil dilakukan maka konsep pengurangan risiko dapat menjadi cara mengatasi kebiasaan berisiko,” ujarnya.
Sebagai contoh, kebiasaan merokok sangat sulit untuk dihentikan secara langsung, bahkan ketika berada di tempat kerja. Oleh sebab itu, perokok yang sulit berhenti merokok beralih ke modalitas terapi sulih nikotin dan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko sambil terus melakukan konseling dengan psikolog.
“Banyak kasus kebiasaan merokok tidak semuanya bisa berhenti 100% dan itu memang sulit dilakukan, namun jika terus dilanjutkan maka meningkatkan risiko kesehatan. Jadi bagi perokok dewasa yang sulit berhenti merokok dapat beralih ke produk alternatif yang secara ilmiah lebih menurunkan risikonya. Kalau tiba-tiba diberhentikan secara langsung, orang yang dipaksa meninggalkan kebiasaan merokok cenderung merasa cemas (anxious), gelisah, kurang mampu berkonsentrasi dan tidak nyaman. Ujungnya kemungkinan besar terjadi relaps yaitu orang tersebut kembali ke titik awal atau pada beberapa kasus menjadi lebih parah. Sehingga pendekatan pengurangan risiko bisa menjadi alternatif,” kata Sukmayanti.
Dari sisi Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, Sp. GK, AIFO-K, meminta pemerintah untuk menyediakan kerangka regulasi yang mendukung program-program edukasi gizi, termasuk pengembangan kampanye publik yang fokus pada pentingnya pola makan seimbang, pengurangan kebiasaan buruk, dan mengarahkan ke penggunaan alternatif yang lebih rendah risiko. Sementara itu, sektor swasta, dapat didorong untuk memproduksi alternatif produk yang lebih rendah risiko bagi masyarakat luas.
“Di Amerika ada food and mood project. Pemerintah menyediakan makanan yang bergizi seimbang di sekolah. Bukan hanya diberikan makan, tapi betul-betul variasi gizinya diperhatikan untuk mencukupi food security. Hasilnya mood menjadi lebih bagus, sehingga menjadikan mereka lebih produktif. Ini akan mengurangi risiko orang untuk terkena gangguan kesehatan mental,” pungkasnya.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES