Damai Hari Lubis (Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia)
JAKARTA || Ekpos.com – Sebelum memasuki rumusan teori dan asas-asas hukum pidana, dibutuhkan pemahaman daripada makna korupsi serta pola daripada rumusan atau unsur-unsur delik korupsi yang dijuluki kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Pengertian (delik) korupsi adalah terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU. Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor.
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah”.
Sehingga unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk dapat menjerat seorang yang dituduh sebagai pelaku korupsi/ koruptor, adalah:
1. Setiap orang atau korporasi,
2. Faktor *_sengaja_* melawan hukum,
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi,
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Oleh karenanya, ketika tidak memenuhi 1 (satu) unsur saja daripada ke 4 (empat) unsur, maka terhadap orang atau sosok pengurus korporasi yang bukan disebabkan OTT/Operasi Tangkap Tangan tentunya penyidik Polri/Penyidik JPU harus segera mengeluarkan SP 3 terhadap seseorang yang ber-status TSK/TDW.
Sehingga idealnya aparat penyidik tidak boleh prematur atau tergesa-gesa untuk mempublish seseorang sebagai (TSK) korupsi, terlebih langsung dilakukan penahanan (dipenjara) sebelum vonis inkracht. Hal tuduhan disertai penahanan yang prematur ini beresiko psikologis yakni membunuh atau merusak moralitas (CARRACTER ASSASINATION) bukan saja mencederai terhadap mental si tertuduh/TSK atau terdakwa, namun mencederai mentalitas pihak keluarganya, terlebih andai hasil badan peradilan ternyata putusannya terdakwa tidak bersalah. Maka implikasi hukumnya, terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim penguasa. Dan hal bebasnya terdakwa bukan hal yang mustahil, mengingat bahwa sistim atau sifat hukum di NRI menganut prinsip presumption of innocent/praduga tak bersalah.
Dan tuduhan adanya pelaku korupsi harus melibatkan aparatur negara/PNS/ASN atau pejabat publik dan faktor keuangannya adalah milik negara yang berasal dari APBN/APBD atau penghasilan pemerintah dari sektor BUMN atau BUMD.
Bahwasanya perbuatan korupsi merupakan jenis delik biasa bukan delik aduan, dan klasifikasinya sebagai delik materil atau bukan delik formil.
Sehingga secara yuridis formal (asas-asas hukum) penjabaran daripada eksistensi tuduhan atau temuan terhadap *_delik biasa_* dengan kategori *_delik materil,_* adalah:
1. Delik biasa, andai para aparatur yang diberi bekal kewenangan dengan kekhususan tupoksi pada sektor pemberantasan tipikor, menemukan adanya tanda-tanda perilaku korupsi, dapat langsung memproses sesuai ketentuan hukum (due process of law) Jo. UU. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU.No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001atau Jo. KUHAP UU. No. 8 Tahun 1981,
2. Delik materil, tuduhan terhadap perilaku korupsi, dalam tahapan investigasi harus ada berhubungan dengan keuangan milik negara dan akibatkan kerugian.
Nah, dalam hal ini adakah Tomas Trikasih Lembong, sengaja melakukan perbuatan melawan hukum? Dan apakah ini merupakan kebijakan dengan melalui analisa para ahli dan sikon yang semestinya dan atau hasil koordinasi daripada pihak kementrian lainnya (menko). Bahkan ada hubungannya dengan faktor utilitas (manfaat) dan apakah hal kerugian muncul bukan akibat kebijakan (faktor X atau hal-hal lain pada saat atau diakhir pelaksanaan), lalu apakah kebijakan sudah melalui persetujuan dari pimpinan (Presiden RI).
Lalu tidak kalah pentingnya, terkecuali OTT/operasi tangkap tangan, maka demi patuhi dan hormati asas legalitas terkait asas presumption of innocent semestinya Tom Limbong *_tidak harus ditahan_*, terlebih dari sisi kacamata perbandingan daripada law enforcement terhadap diri LBP yang katanya “saat berbisnis alat tes PCR Covid-19 tapi rugi,” namun adakah pihak lain yang diuntungkan ? Airlangga, Muhaimin dan Zulhas bahkan Firly Bahuri atau mereka para pejabat penyelenggara negara lainnya yang publik ketahui pernah menjadi TSK. Namun tidak ditahan, lama-lama sirna beritanya, lalu kasusnya melayang entah kemana fly on the air? Sehingga bukan penegakan hukum/rules (law enforcement) yang harus extraordinary consistency/teguh taat asas. Namun perilaku (behavior) yang justru incredibly strange (luar biasa aneh).
Dan untuk menghindari penegakan hukum yang dualistik tidak berkepastian dan tidak berkeadilan hanya faktor machstaat, patut Lembong atau kuasa hukumnya atau publik melalui amicus curiae pertanyakan, apakah terhadap Tom Lembong, sudah diupayakan model kasus e ktp, Ganjar Pranowo dan model gratifikasi “nebeng pesawat” Ketum PSI, Kaesang Pangarep Bin Joko Widodo? Dan korup/gratifikasi Projek BTS 27 milyar yang katanya, sudah dikembalikan Ario Bimo Nandito Ariotedjo, sebagai bagian dari praktek restoratif justice kepada negara? Tentu dibutuhkan prudential prinsipe dari para aparatur negara, jangan sampai lalai bahwa Tom Lembong juga punya hak yang sama terkait upaya hukum restoratif of justice.
Sehingga terhadap komparasi penegakan hukum a quo yang ada relatif dan (bakal) terus berkembang, karena fakta nya bukan baru saja terjadi namun sudah banyak data empirik dan bukan sekedar stagnan terhadap diri Tom Lembong, sepertinya bakal terus berlanjut.
Maka, sebuah kewajaran jika ada pihak atau publik yang menyatakan kasus Lembong bukan semata atau pure pelanggaran hukum namun sebuah politisasi atau peristiwa politik yang dilegimitasi (atasnamakan) hukum, karena fenomena dan dinamikanya sarat dengan gejala-gejala overlapping kebijakan penguasa dalam sektor penegakan hukum yang nyata banyak suka-suka dan ke-kronian atau primordial jabatan dalam tampuk kekuasaan sungguh transparan menghasilkan tidak kepastian dan jauh dari rasa keadilan.
*_Muncul dibenak publik, “ternyata pesta belum juga usai, pesta terus berlanjut”._* Tomas Trikasih Lembong mesti bersabar, karena rakyat yang sudah jauh lebih dalam dan lama telah merasakan serta mengalami beban berat baik moral dan himpitan materiil dan ternyata cukup (lama) bersabar. Lalu kapan sejatinya amandemen NRI berdasarkan machstaat bukan rechstaat?