Oleh Iqbal Irsyad
JAKARTA || Ekpos.com – 9 Februari bukan sekadar tanggal di kalender. Tanggal ini menjadi pengingat sejarah perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Dalam salah satu tulisannya, wartawan senior yang juga Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun memaparkan bahwa pada 9 Februari 1946, di tengah tekanan politik dan ancaman tentara Belanda, wartawan dari berbagai daerah berkumpul di Solo. Meski komunikasi terbatas dan situasi tidak stabil, mereka tetap hadir untuk satu tujuan besar: memperkuat suara kemerdekaan Indonesia.
Di Gedung Museum Pers Nasional Solo, mereka mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bagi mereka, tinta dan kertas adalah senjata untuk menyuarakan hak bangsa, bahkan saat nyawa dipertaruhkan. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pers nasional, yang kelak menginspirasi penetapan Hari Pers Nasional (HPN).
Pada 1985, melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, Presiden Soeharto menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Penetapan ini didasarkan pada momen bersejarah lahirnya PWI sebagai simbol persatuan dan perjuangan wartawan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Namun, HPN bukan milik satu organisasi. Hari ini mencerminkan semangat kolektif seluruh insan pers di Indonesia. Setiap tahun, HPN dirayakan bersama organisasi pers yang menjadi konstituen Dewan Pers. Meski ada kritik mengenai relevansi tanggal tersebut, kebersamaan di Solo tetap menjadi tonggak sejarah yang tak terbantahkan.
Sejak masa kolonial, pers di Indonesia telah menjadi alat perjuangan melawan penjajahan. Surat kabar Medan Prijaji, karya Tirto Adhi Soerjo, misalnya, berani menyoroti ketidakadilan terhadap masyarakat pribumi. Setelah proklamasi kemerdekaan, wartawan melanjutkan peran penting mereka di tengah ancaman penjajah yang ingin merebut kembali kekuasaan.
Di masa Orde Baru, tantangan berbeda muncul. Pemerintah memberangus pers kritis dengan pembredelan. Reformasi 1998 membawa harapan baru dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Namun, perjuangan tidak berhenti di situ.
*Tantangan Pers di Era Digital*
Di era digital, ancaman terhadap pers muncul dalam bentuk baru: kriminalisasi wartawan, serangan siber, penyebaran informasi palsu, dan tekanan ekonomi. Media sosial sering menjadi platform penyebaran informasi viral tanpa etika jurnalistik. Akibatnya, kebenaran sering dikaburkan oleh narasi yang tidak berimbang. Tantangan ini menuntut wartawan untuk menjaga integritas, disiplin verifikasi dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran.
Tulisan wartawan senior Dimas Supriyanto tentang skandal Janet Cooke di The Washington Post yang penulis terima cukup menarik dan menjadi pengingat penting. Ia menyoroti bagaimana kesalahan wartawan, baik disengaja maupun tidak, dapat merusak reputasi media besar dan kepercayaan publik. Disiplin verifikasi, sebagaimana diingatkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme”, harus menjadi fondasi kerja jurnalistik untuk mencegah terulangnya skandal serupa di era post-truth saat ini.
Hari Pers Nasional 2025 yang akan digelar di Kalimantan Selatan harus menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momen refleksi bagi insan pers untuk menjaga profesionalisme, independensi dan keberanian mereka dalam menghadapi tantangan zaman. Kebebasan pers yang diperjuangkan dengan darah dan air mata tidak boleh dikhianati.
Dalam demokrasi, pers adalah pilar keempat yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Di era globalisasi, kebebasan pers menjadi kunci melawan arus informasi yang tidak bertanggung jawab. Tanpa pers yang bebas dan bertanggung jawab, demokrasi akan rapuh.
Sebagai masyarakat, kita harus menghormati kerja wartawan dengan mendukung kebebasan pers. Wartawan bukan hanya pembawa berita, tetapi penjaga kebenaran. HPN adalah simbol kebersamaan, keberanian, dan tanggung jawab insan pers. Kini, tugas kita bersama adalah memastikan kemerdekaan pers yang profesional tetap hidup demi Indonesia yang lebih baik.
Wartawan Senior, Sekjen PWI Pusat