Kami Sayang Prabowo, Tolong Perhatikan Aturan Bagi Penyalur Gas 3 Kg

 

Oleh: Agusto Sulistio (Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR era tahun 90an, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo))

JAKARTA || Ekpos.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baru saja mengeluarkan kebijakan baru terkait distribusi elpiji subsidi 3 kg. Dalam aturan ini, penyaluran hanya boleh dilakukan oleh pangkalan resmi yang telah terdaftar, bukan lagi melalui warung pengecer yang selama ini menjadi garda terdepan dalam distribusi gas melon ke masyarakat. Pendaftaran sebagai pangkalan resmi pun dilakukan secara online melalui sistem Online Single Submission (OSS).

Secara teori, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan subsidi elpiji 3 kg tepat sasaran dan menghindari praktek harga yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, di lapangan, peraturan ini justru berpotensi menciptakan kelangkaan dan mempersulit akses masyarakat kecil terhadap gas subsidi yang menjadi kebutuhan utama mereka.

Pemerintah memang memberi kesempatan bagi para pengecer untuk mendaftar sebagai pangkalan resmi. Namun, prosesnya tidak semudah yang diklaim. Syarat administrasi yang harus dipenuhi cukup kompleks, meliputi:
– Bukti Kepemilikan Lahan, banyak warung kecil yang beroperasi di bangunan sewaan atau rumah kontrakan, sehingga tidak memiliki sertifikat tanah atas nama mereka sendiri. Persyaratan ini menjadi kendala besar karena mereka tidak bisa mendaftarkan usaha sebagai pangkalan resmi jika tidak memiliki bukti kepemilikan lahan. Akibatnya, hanya pemilik lahan yang bisa mengajukan izin, yang berarti banyak warung kecil akan tereliminasi dari sistem distribusi gas subsidi.
– Surat Izin Usaha, bagi pemilik usaha besar, mengurus surat izin usaha mungkin hanya sekadar prosedur administrasi. Namun, bagi pemilik warung kecil yang selama ini berjualan secara mandiri tanpa izin resmi, mengurus surat izin usaha bisa menjadi hal yang sulit dan memakan waktu. Banyak dari mereka yang tidak terbiasa dengan prosedur birokrasi atau bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus izin ini, yang tentu memberatkan bagi usaha mikro.
– Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), serta Surat Izin Lainnya. Dokumen ini umumnya diperlukan untuk usaha berskala menengah ke atas. Sedangkan warung kecil yang hanya menjual beberapa tabung gas elpiji dalam sehari sering kali tidak memiliki kapasitas untuk mengurus dokumen-dokumen ini. Selain itu, proses perizinan ini juga membutuhkan waktu lama, yang dapat menghambat mereka dalam beradaptasi dengan kebijakan baru.
– Surat Referensi Bank, sebagian besar warung kecil masih beroperasi dalam sistem keuangan yang sederhana, tanpa rekening bisnis atau riwayat transaksi yang dapat dijadikan referensi oleh bank. Untuk mendapatkan surat referensi, pemilik usaha harus memiliki rekening bisnis aktif dengan jumlah transaksi tertentu, yang tidak semua warung kecil bisa penuhi. Persyaratan ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang selama ini menjalankan usaha berbasis tunai tanpa keterlibatan perbankan.
– Dokumen Persetujuan Lingkungan, persyaratan ini menjadi tantangan lain bagi pengecer kecil, terutama karena mereka umumnya beroperasi di lingkungan pemukiman yang tidak memiliki izin usaha khusus. Untuk mendapatkan dokumen persetujuan lingkungan, sering kali diperlukan kajian lingkungan atau rekomendasi dari instansi terkait, yang bisa menjadi proses panjang dan rumit. Padahal, warung-warung kecil hanya menjual gas dalam jumlah terbatas dan tidak memiliki dampak lingkungan yang signifikan.

*Potensi Kelangkaan dan Keterbatasan Distribusi*

Salah satu dampak terbesar dari kebijakan ini adalah, potensi kelangkaan gas subsidi di pasaran. Warung-warung kecil yang selama ini menjadi titik distribusi utama bagi masyarakat akan kesulitan mendapatkan pasokan gas, karena mereka tidak lagi diperbolehkan menjualnya tanpa status pangkalan resmi.

Meskipun pemerintah berargumen bahwa masyarakat tetap bisa membeli gas subsidi di pangkalan resmi, kenyataannya tidak semua daerah memiliki pangkalan yang mudah diakses. Di banyak wilayah, khususnya pedesaan dan daerah terpencil, warung-warung kecil justru menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan elpiji 3 kg tanpa harus menempuh perjalanan jauh. Jika akses distribusi semakin terbatas, maka warga akan kesulitan mendapatkan gas subsidi dengan harga yang wajar.

Di sisi lain, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan pasar gelap. Ketika distribusi formal dipersulit, bukan tidak mungkin akan muncul praktek penjualan ilegal dengan harga jauh lebih tinggi dari HET, yang justru bertentangan dengan tujuan awal kebijakan ini.

*Menjaga Subsidi Tepat Sasaran, Tapi Jangan Menyulitkan*

Upaya pemerintah untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan menghindari kebocoran anggaran memang perlu diapresiasi. Namun, kebijakan yang diterapkan seharusnya tidak justru memperumit distribusi dan menyulitkan para pengecer yang selama ini berperan penting dalam rantai pasok elpiji subsidi.

Solusi yang lebih efektif adalah dengan menyederhanakan proses perizinan bagi pengecer kecil, misalnya dengan memberikan izin usaha khusus tanpa syarat yang terlalu memberatkan. Selain itu, pengawasan distribusi bisa diperkuat dengan sistem digitalisasi yang lebih terintegrasi, sehingga penyaluran gas subsidi tetap bisa dikontrol tanpa harus mengorbankan akses masyarakat.

Jika kebijakan ini diterapkan tanpa evaluasi yang matang, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin sulit mendapatkan elpiji 3 kg, sementara di sisi lain, tujuan untuk menyalurkan subsidi dengan lebih baik justru tidak tercapai. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali aspek distribusi agar niat baik ini tidak berujung pada masalah baru di lapangan.

*Apakah Kebijakan Ekonomi Pemerintah Prabowo Pro Rakyat?*

Melihat kompleksitas persyaratan yang diberlakukan bagi masyarakat kecil yang ingin menjadi penyalur gas elpiji subsidi 3 kg, dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil.

Alasannya, mempersulit warung kecil, banyak warung yang selama ini menjadi titik distribusi gas melon kini terancam tidak bisa beroperasi karena persyaratan administrasi yang rumit dan tidak sesuai dengan kondisi mereka.

Meningkatkan Risiko Kelangkaan, dengan semakin sedikitnya warung yang bisa menjual elpiji subsidi, akses masyarakat terhadap gas murah akan semakin terbatas, yang berujung pada kenaikan harga di pasaran.

Memperkuat Oligopoli, kebijakan ini bisa menguntungkan segelintir pihak yang memiliki modal besar dan mampu memenuhi syarat sebagai pangkalan resmi, sementara rakyat kecil kehilangan mata pencahariannya.

Minim Perlindungan bagi Pengecer Tradisional, pemerintah tidak memberikan solusi yang jelas bagi pengecer kecil yang sudah lama beroperasi. Alih-alih diberikan kemudahan dalam beradaptasi, mereka justru dihadapkan pada prosedur birokrasi yang sulit.

Jika pemerintah Prabowo benar-benar ingin menjalankan ekonomi yang pro-rakyat, seharusnya kebijakan seperti ini tidak diterapkan secara kaku. Peraturan harus disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat kecil agar subsidi gas benar-benar bisa tersalurkan dengan lancar tanpa mengorbankan akses masyarakat miskin terhadap kebutuhan dasar mereka.

_Kutoarjo, Jawa Tengah, Kamis 13 Februari 2025, 16:18 Wib._

Total
0
Shares
Previous Article

Kasum TNI Terima Laporan Korps Kenaikan Pangkat 32 Perwira Tinggi TNI

Next Article

Kasad: Kita Tidak Lagi Berpikir Dwi Fungsi, Kita Hormati Demokrasi

Related Posts