Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan KUHP))
JAKARTA || Ekpos.com – Saat ini gerakan sosial yang bersifat individu kelompok sudah amat marak dan momentum menuju gerakan sosial kolektif, tinggal menunggu letusannya.
Adapun misi prioritas, tentunya harus disepakati lebih dulu oleh pimpinan atau tokoh kelompok, yakni terkait perisitwa historis politik hukum yang sama yakni amburadulnya pola kepemimpinan Jokowi yang suka-suka dan kasat mata hobi melakukan pembiaran (disobedient) terhadap kewajibannya sebagai kepala negara, atau Jokowi justru melakukan obstruksi kepada jajaran Penegak hukum (law behavior) dibawahnya. Sesuai kepentingan pribadinya dan kekuasaan serta keamanan dan keselamatan diri dan keluarga dan kroninya, maka tidak jarang ‘rezimnya’ melakukan persekusi dan kriminalisasi kepada para tokoh aktivis dan tokoh ulama yang dianggap tidak pro kepada gagasannya yang sakit.
Sebaliknya, Jokowi menjerat leher beberapa Ketua Umum Partai yang terpapar korupsi lalu obstruksi (halangi) proses hukumnya, malah menjadikan mereka sebagai budak penyimpangan kebijakannya, sehingga diakhir kekuasaannya, fakta Jokowi menyisakan berbagai kasus yang merugikan bangsa dan negara, selain dirinya kuat temuan menggunakan ijazah palsu dari UGM, termasuk kasus IKN yang terhenti dan tak jelas kelanjutannya, juga kasus Rempang, PSN PIK 2 yang jahat dan obstruksi tehadap banyak perilaku Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), diantaranya terkait kasus KKN keluarganya, Gibran Bobby dan Kaesang di KPK dan kasus politik hukum yang nyata Gibran tidak penuhi persyaratan usia dan pendidikan sebagai peserta kontestasi pemilu pilpres 2024, selain meninggalkan hutang yang menumpuk dan para terpapar korupsi yang justru tetap berkuasa disertai janji yang tak terealisir dan hutang yang menumpuk tanpa realitas.
Sehingga latar belakang tuntutan penegakan rule of the law terhadap Jokowi termasuk Gibran yang ada dan moralnya terbukti secara sosial amat rendah, sehingga Gibran RR tidak pantas mendapat justifikasi memimpin negara yang bersandarkan moralitas, adab budaya Pancasila.
Maka gerakan sosial secara kolektif, tinggal menunggu pemantik dari seorang tokoh yang cukup dikenal. Selebihnya sektor ekonomi dan moralitas akan mengikuti sesuai tatanan hukum. Karena politik adalah pola pelaksanaan tatanan hukum untuk kebutuhan bangsa dan negara di semua sektor ekonomi, hukum dan adab budaya yang bermoral dan bermartabat dengan yang sudah jelas garisnya (rules).
Terkait masalah penyempurnaan rule (hukum) karena di era Jokowi banyak dibuat overlap, maka tentunya itu bisa belakangan segera menyusul. Setelah posisi Gibran Wapres digantikan oleh Wapres yang pantas dan bermartabat.
Gerakan sosial kolektif, bukan kolektivitas individu kelompok dengan fenomena saat ini yang tengah eksis _(yang ada dan berlangsung)_ dapat dilakukan melalui aksi protes, dikampanyekan via media sosial, petisi, daring dan demo para aktivis dengan didahului seruan tokoh publik yang dikenal sebagai pejuang nyata dan memiliki jiwa pemersatu perjuangan sebagai pemantik (trigger), lalu dengan ratusan ribu massa melahirkan gerakan sosial kolektif, atau telah bersatunya kolektif individual, dengan misi mendesak MPR RI dan DPR RI agar buat TAP MPR atas cacat moralitas perjalanan politik Gibran menuju Kursi RI 2 yang berawal pada tahun 2023 melalui praktik Nepotisme dengan pembiaran atau pembangkangan terhadap keberlakuan hukum oleh Jokowi saat menjadi Presiden RI.
Karakteristik gerakan sosial terhadap Jokowi dan Gibran (satu paket karena ayah dan anak) memiliki basis pada nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai yang mencakup berbagai aspek masyarakat, politik, ekonomi, sosial dan budaya, sehingga dapat memiliki kekuatan untuk mengubah kesadaran masyarakat agar fokus pada isu-isu sosial atau politik.
Selama ini para aktivis identitas kelompok individu sudah banyak yang mengedepankan bentuk-bentuk protes dengan jaringan interaksi (sekedar) informal, namun sudah memiliki perasaan dan solidaritas kesamaan kepentingan yakni ‘adili Jokowi’ penipu bangsa bersama anak nya Gibran yang seharusnya oleh sebab faktor KKN sesuai putusan etik dari MKMK yang menyatakan Anwar Usman selaku Ketua MK telah melakukan KKN terhadap putusan menyangkut “kepentingan Gibran” karena terbukti Anwar Usman paman dari Gibran, justru menjadi Ketua Majelis untuk perkara JR yang demi kepentingan keponakannya Gibran yang belum berusia 40 tahun namun memaksakan ingin mengikuti pilpres 2024.
MKMK telah menerima Permohonan Dugaan Pengaduan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan, “… q. Berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Atas laporan tersebut, MKMK menggelar sidang pemeriksaan, hingga akhirnya lahirkan putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi atas Terlapor Ketua MK Anwar Usman dan Ketua MKMK dinyatakan dalam putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK karena (Paman Gibran) atau, Ipar dari Presiden Jokowi telah melanggar kode etik.
Sehingga secara hukum Gibran layak dilengserkan oleh bangsa ini yang memang berdaulat terhadap negaranya dari Pemimpin yang tak elok, yang memiliki tanda tanda sejak awal bakal merusak tatanan hukum dan poltik serta moralitas anak bangsa, maka demi keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populi supreme lex esto), serta termasuk sekaligus juga mendesak penguasa saat ini melalui aparaturnya memproses hukum serta mengadili Jokowi terhadap perilaku dan perbuatan KKN nya selama masa satu dekade kepemimpinannya (2014- 2019 dan 2019-2024).
Bogor, Kamis (6 Maret 2025).