JAKARTA || Ekpos.com – Di tengah arus deras disrupsi digital yang mengancam nilai-nilai kolektif bangsa, secercah cahaya ideologis menyala terang dari jagat maya.
DPD IKAL Lemhannas DIY menggelar Seminar Daring Kebangsaan bertema
“Revitalisasi Ideologi Pancasila sebagai Fondasi Kehidupa Berbangsa di Era Disrupsi dan Digital”, Senin (30/6).
Tak sekadar seminar, forum ini menjelma menjadi ruang perlawanan ideologis yang menegaskan: Pancasila bukan warisan yang beku, melainkan napas hidup bangsa yang harus terus diperjuangkan.
Tensi ideologis makin mengkristal saat Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, M.Sc, tokoh sentral dalam lanskap strategis nasional, mengambil panggung dan menyampaikan orasi kebangsaannya. Dengan suara lantang dan sorot mata penuh keyakinan, ia menggaungkan peringatan sekaligus seruan, “Jangan biarkan disrupsi digital melunturkan jati diri kita sebagai bangsa! Pancasila harus kita hidupkan, kita perjuangkan, dan kita wariskan!” Kalimat ini tak sekadar retorika; ia menembus ruang digital dan menggugah kesadaran nasional akan pentingnya re-politikasi Pancasila di tengah kemelut zaman.
Seminar ini juga menghadirkan konstelasi intelektual dan birokrasi, dari Prof. Dr. rer. soc. R. Agus Sartono (Ketua DPD IKAL Lemhannas DIY), Lilik Andi Aryanto, S.IP, MM (Kepala Bakesbangpol DIY), hingga akademisi kawakan seperti Prof. Dr. Djagal Wiseso (UGM) dan Prof. Dr. Sunarso (UNY). Mereka tak hanya mengurai tantangan Pancasila di era digital dari radikalisme berbasis algoritma, hingga erosinya kesadaran kolektif, tetapi juga memetakan strategi kebijakan: mulai dari penguatan pendidikan ideologi, reformulasi narasi digital yang berakar pada nilai Pancasila, hingga sinergi kampus dan Pemerintah Daerah dalam
memperkuat identitas kebangsaan.
Dipandu oleh Dr. Yayuk Hidayah sebagai MC dan Dr. Hastangka sebagai moderator yang tajam memantik dialog, suasana seminar menggeliat hidup. Diskusi ini bukan sekadar pertukaran gagasan, tetapi perwujudan nyata dari apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai revolusi mental yakni proses kesadaran untuk kembali menautkan diri pada akar ideologis bangsa.
Seminar ini menjadi aksi simbolik dan politis: bahwa Pancasila harus kembali menjadi ideologi yang aktif, yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar simbol administratif dalam teks negara. E-sertifikat, materi dan diskusi hanyalah instrumen; yang utama adalah semangat kolektif yang kembali menyala, menunjukkan bahwa, Pancasila belum mati, ia hanya menanti untuk dibangkitkan di ruang-ruang digital, sosial dan politik kita.
Di tengah kebisingan algoritma dan derasnya arus globalisasi, seminar ini menegaskan satu hal: jika Pancasila tak dijaga oleh warganya sendiri, maka identitas kita akan hanyut dalam gelombang pasif global. Maka, sebagaimana disuarakan oleh para tokoh dan peserta, saatnya kita tidak hanya menghafal Pancasila, tetapi menghidupinya sebagai gerakan kultural, praksis politik dan etos kebangsaan.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia, Kang Achmad Dheni, menegaskan bahwa, Seminar ini bukan seremoni, tetapi ajakan konkret untuk kembali merapatkan barisan ideologi di tengah badai digitalisasi. “Pancasila tidak hanya kita rumuskan, tetapi kita aktualisasikan dalam tindakan nyata dan juga tentunya dengan mengkolaborasikan cara kerja konsep digitalisasi yang bergerak massif secara tersistem, terstruktur, terarah, terukur, termudah dengan penuh etika,” tandasnya melalui keterangan, Senin (30/6).
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Panitia, Pak Supri, yang menekankan pentingnya kontinuitas gerakan ini. “Semangat ideologis ini harus dilanjutkan di ruang-ruang strategis lainnya, tidak berhenti di layar Zoom semata,” ujarnya.
Sebagai bagian dari langkah konkret tersebut, yang juga hadir dan menyambut webinar ini yaitu Aliansi Bela Garuda, sebuah komunitas kader ideologis muda yang berkomitmen menghidupkan nilai-nilai Pancasila melalui media digital dan aksi sosial.
Mas Yoyok sebagai pengurus Aliansi Bela Garuda, menyampaikan bahwa, gerakan ini merupakan respon generasi muda atas tantangan ideologis kontemporer. “Kami hadir bukan untuk menggantikan narasi lama, tetapi untuk menghidupkan kembali semangat Pancasila dalam bahasa zaman kami,” ujarnya.
Pak Yoyok menyatakan dukungan para penggiat penerapan nilai-nilai kebangsaan dan ini merupakan langkah sangat signifikan untuk disebarluarkan dari sabang sampai merauke baik di kota maupun di Desa untuk seluruh generasi untuk penanaman toleransi dari tingkat dasar sampai tingkat pendidikan tertinggi.
Seminar ini menjadi aksi simbolik dan politis: bahwa Pancasila harus kembali menjadi ideologi yang aktif, yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar simbol administratif dalam teks negara. E-sertifikat, materi dan diskusi hanyalah instrumen; yang utama adalah semangat kolektif yang kembali menyala, menunjukkan bahwa, Pancasila belum mati, ia hanya menanti untuk dibangkitkan di ruang-ruang digital, sosial dan politik kita.
Di tengah kebisingan algoritma dan derasnya arus globalisasi, seminar ini menegaskan satu hal: jika Pancasila tak dijaga oleh warganya sendiri, maka identitas kita akan hanyut dalam gelombang pasif global. Maka, sebagaimana disuarakan oleh para tokoh dan peserta, saatnya kita tidak hanya menghafal Pancasila, tetapi menghidupinya sebagai gerakan kultural, praksis politik dan etos kebangsaan. (Red).