Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Pengamat Hukum Politik dan KUHP)
JAKARTA || Ekpos.com – Pokoknya sesuai ketentuan KUHAP Jo. Perkappolri pihak penyidik polri harus mengundang para pihak:
1. Jokowi sebagai Teradu prinsipal,
2. Pengadu prinsipal,
3. Ahli independen,
4. Dr. Suryo (kausuistis) harus diundang,
5. Dr. Rismon (kasuistis) harus diundang.
*_Oleh karenanya atas adanya bukti undangan kepada pihak pihak atau pemanggilan oleh pihak Penyidik, maka penyidik terlepas dari tuntutan hukum (equalitas) atau kasuistis sebaliknya memiliki hak memaksa terundang untuk hadir._*
Adapun kehadiran Dr. Roy Suryo dan Dr. Rismon adalah *_KASUISTIS_* pasalnya dalam kapasitasnya yang diminta oleh para Pengadu atau Pelapor Dumas bukan sebagai ahli, namun sebagai saksi karena keterangan yang mereka sampaikan secara publis, lalu dijadikan saksi oleh Pengadu (kategori), bukti yang disampiakan publis, bahwa ijazah dan skripsi milik Teradu tersebut adalah palsu 100 prosen.
Dalam KUHAP memang tidak ditentukan bahwa ahli sebagai saksi adalah seseorang yang diharuskan menghadiri gelar perkara. Namun ini kasusistis, dikarenakan kedua saksli sebagai ahli sudah menyampaikan keterangan kealiannya diluar proses perkara yang diadakan oleh penyidik dan keterangannya terkait objek perkara delik yang diadukan oleh pihak Pengadu dan bahwasanya pihak pengadu menjadikan kedua pakar sebagai saksi, namun faktanya kedua ahli yang menjadi saksi tidak dimintakan keterangan kesaksian mereka pada saat proses perkara oleh karenanya menurut hukum Kedua pakar IT tersebut menjadi hak Para Pengadu untuk dihadirkan dalam helar perkara dan kedua pakar menjadi kewenangan untuk diterima kehadirannya oleh pihak penyidik dalam objek a quo in casu.
Adapun alasan hukum selebihnya namun tidak dapat terbantahkan sebagai dasar dan fungsi proses hukum pidana, yaitu proses hukum pidana sejak awal penyelidikan dan sejak awal penyidikan sampai dengan dakwaan dan tuntutan serta isi vonis adalhlah mencari kebenaran yang sebenarnya kebenaran dengan tujuan manfaat hukum dan kepastian hukum serta demi keadilan, agar pihak penyidik dan atau JPU tidak keliru mentersangkan menangkap dan menahan seseorang dan hakim tidak menghukum penjara sesorang namun ternyata bukan sebagai pelaku kejahatan, atau melepaskan sesorang yang ternyata justru sebagai pelaku pelaku kejahatan.
Sehingga kebenaran sebuah adagium, yang merupakan prinsip, jika para aparat diawal proses perkara sudah tidak berlaku adil atau tidak berlaku obejektif atau melakukan penyimpangan hukum sesuai ketentuan hukum, maka keadilan hakekat yang dicari dalam proses pidana tidak bakal ditemukan.
Maka oleh karenanya, agar semua pihak utamanya Penyidik hendaknya menggunakan nalurinya dan kesadaran terhadap fungsi tugasnya sebagai penegak hukum atau salah satu unsur penegak hukum (law behavior) agar dapat memanfaat (rules) hukum pidana formil (KUHAP) sebagai pedoman bukan untuk dilanggar. Oleh karenanya bijaksana dan adil, untuk pihak Penyidk Baresrkim menganulir atau membatalkan surat keterangan SP 2HP- Sp2lidik yang dikeluarkan oleh Bareskrim Mabes polri yang menyatakan ijazah Jokowi otentik, dengan menerbitkan kembali sprint ulang klarifikasi dan atau investigasi keoad smeua Para Saksi Pengadu TPUA 9 Demberer 2024 termasuk memeriksa hasil analisa bukti Para Pengadu dan pemanggilan dan pemeriksaan kepada alat bukti keterangan dari kedua saksi yang berkebetulan ahli dan butuh persaksian keahlian, selain dan oleh sebab Teradu Prinsipal dan beberapa kelompok masyarakat mengadukan temuan ijazah palsu Jokowi yang mereka temukan berdasarkan analisa ilmiah (scientifik), sehingga harus diberikan kesempatan upaya hukum kepada mereka agar dapat membuktikan kebenaran analisis mereka dan atau tidak kebenaran anaslisa meraka. Karena pada prinsipnya seorang yang berkata benar tidak boleh dihukum (DIPENJARA) didalam negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan (otoritarian).
Pastinya andai kedua pakar IT ternyata menyatakan dan atau menyampaikan kebenaran, tentu saja tuduhan membuat kebohongan dan kegaduhan tidak layak disandang oleh Roy Cs.
Karena dalam kacamata hukum dan filsafat tentang Teori Objektivitas yang mengacu pada gagasan bahwa pengetahuan dalam sains dan ilmu sosial agar dapat dihasilkan tanpa bias, mandiri bebas dari nilai; asumsi dan intervensi atau faktor mempengaruhi peneliti (intimidasi, kriminlisasi dan terorisasi).
Sebaliknya andai dalam praktik ditemukan gejala kontradiktif daripada temuan penyidik hal otentik ijazah? Justru logika hukum menyatakan Teradu atau Terlapor yang dapat dipersalahkan sebagai aktor intelektual dader, atau pelaku kebohongan yang menimbulkan kegaduhan? Dan pelaku kegaduhan harus lah dapat dituntut pertanggungjawaban hukumnya.
Dan hendaknya para penegak hukum melaksanakan fungsi tigasnya secara adil dan selain beradasarkan objektifitas tentu dipersilahkan oleh hukum berlaku subjetifitas, Jo. Conviction intime (KUHAP Jo. UU. Kekuasaan Kehakiman), diantaranya hak untuk menahan dan menseksamai jatidiri pihak Pengadu dan atau Pihak Teradu apakah individu individu (diantara) karaktristik mereka *_DIKENALI HOBBI BERBUAT (unsur unsur) KATEGORI DELIK KEBOHONGAN_* dan atau keterangan palsu (notorius) dengan pola lip service?
Tentu perlu diingatkan sebagai bangsa beradab pancasila dan mayoritas beragama, kelak ada pengadilan akhirat dan bertemu dengan para korban yang teraniaya dimasa hidup termasuk keluarga korban dan teman teman persaksian para korban.
Semoga selain azab saat dihidupkan setelah alam kematian, yang jahat akan dibuktikan pada perjalanan hidupnya didunia atau diakhir hayatnya berikut anak anak dan istri mereka yang mendukung atau membiarkan orang tuanya berlaku jahat dan ikut serta menimati uang haram hasil memenjarakan orang tak bersalah dan membenarkan sipelaku kejahatan oleh sebab ‘Sogok’. ***
*_Penulis_* adalah Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.