Bandung, EKPOS.COM
Menjalani hidup dengan penuh dedikasi, optimis, dan ulet selalu berujung dengan anugrah dan berkah. Ungkapan tersebut layak disematkan kepada Alamsyah, karena ia telah sukses mengukir dengan tinta emas dalam jengjang karir akademiknya meraih gelar DOKTOR Hukum Islam di Pascasarjana UIN SGD Bandung dalam sidang terbuka di Aula Lantai 4 Gedung Pascasarjana, Kampus 2 Jalan Soekarno-Hatta,Bandung, Rabu,09 Juli 2025.
Dengan judul Disertasi “Perlindungan Hukum Terhadap Pemberian Nafkah anak Melalui Hak ExOfficio Hakim Dalam Putusan Perkara Perceraian di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu.” Alamsyah sukses meraih IPK 3.93 ( Cumlaude).
Dihadapan tim penguji, Alamsyah mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan penguji. Bahkan dengan dengan argumentatif dan rasional Ia bisa memaparkan semua sanggahan penguji.
Dalam pemaparan hasil penelitiannya,Ia menyimpulkan beberapa hal yaitu
1. Pertimbangan filosofis pemberian nafkah anak melalui hak ex officio hakim
dalam putusan perkara perceraian di wilayah Pengadilan Tinggi Agama
Bengkulu adalah mendasarkan pada upaya memberikan perlindungan hukum
dan keadilan bagi anak sebagai kelompok rentan, pemenuhan hak asasi anak,
dan mewujudkan kepentingan terbaik anak.
2. Pertimbangan yuridis dan sosiologis hakim dalam menggunakan hak ex officio
mengenai nafkah anak di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu adalah
mendasarkan pada aturan hukum positif, kemampuan ayah, dan kebutuhan dasar
anak. Pertimbangan yuridis adalah bersandar pada hukum positif, yaitu: Pasal 41
huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 105
huruf (c) dan Pasal 149 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam, dan Surat Edaran Mahkamaha Agung Nomor 4 Tahun
2016, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015. Pertimbangan sosiologis adalah
berdasarkan kemampuan ayah yang diukur berdasarkan pekerjaan dan
penghasilan ayah, kondisi kesehatan ayah dan usia produktif ayah, kemudian
kebutuhan anak mendasarkan pada usia anak dan kebutuhan minimal daerah
setempat.
3. Hakim tidak menetapkan biaya pendidikan dan kesehatan tatkala menggunakan
hak ex officio mengenai pembebanan nafkah anak dalam putusan perceraian di
wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu karena tiga alasan. Pertama, Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 mengatur agar pembebanan
nafkah anak mencakup tambahan 10% sampai 20% per tahun di luar biaya
pendidikan dan kesehatan. Kedua, biaya pendidikan dan kesehatan adalah
kewajiban mutlak orang tua sehingga tidak perlu dicantumkan secara spesifik
dalam putusan. Ketiga biaya pendidikan bervariasi sesuai jenjang dan biaya
kesehatan bersifat insidentil, sehingga sulit diukur dengan jelas.
4. Implikasi penggunaan hak ex officio hakim mengenai nafkah anak dalam
putusan perkara perceraian terhadap perlindungan hukum bagi anak adalah
kepastian jumlah nafkah anak, jangka waktu pemberian nafkah anak hingga
anak dewasa, cakupan nafkah anak, dan putusan pengadilan sebagai bukti
autentik pembebanan nafkah anak. Putusan pembebanan nafkah anak
melalui hak ex officio hakim dalam putusan perkara perceraian memberikan
kepastian hukum bahwa anak memperoleh hak nafkah dan ayah
berkewajiban memberikan nafkah kepada anak hingga dewasa. Apabila
kewajiban memberi nafkah kepada anak tidak dijalankan secara sukarela
oleh ayah, maka dapat diajukan eksekusi pembayaran nafkah anak dengan
menyertakan harta-harta yang dimiliki ayah atau melaporkan kepada
kepolisian tentang peristiwa tindak pidana penelantaran anak.
Dari hasil penelitiannya,Alamsyah memberikan beberapa saran penting yaitu:
1. Perumusan kembali pengaturan hak ex officio hakim mengenai nafkah anak
sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam,
dengan rumusan hakim harus membebankan nafkah anak kepada ayah dalam
memutus perkara perceraian tatkala anak tidak turut bersamanya dengan melihat
kemampuan ayah dan kebutuhan dasar anak, jika ayah terbukti tidak memiliki
kemampuan maka ibu berkewajiban memberikan nafkah anak.
2. Penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur bahwa Pengadilan
Agama secara ex officio harus menetapkan nafkah anak kepada ayah jika anak
tersebut senyatanya berada di bawah asuhan ibunya, baik perkara cerai talak
maupun cerai gugat dalam pemeriksaan perkara contradictoir maupun verstek.
Selain itu, Mahkamah Agung perlu mengatur masalah pembebanan biaya
pendidikan dan kesehatan anak tatkala orang tuanya melakukan perceraian di
pengadilan.
3. Keharusan pemeriksaan perkara secara komprehensif dengan tidak hanya
memeriksa alasan perceraian tetapi juga harus memeriksa secara mendalam
kemampuan suami dan kebutuhan dasar anak sebagai acuan dalam menentukan
nafkah anak dalam putusan perceraian. Hakim juga perlu memperluas kriteria
kemampuan ayah dalam menentukan nafkah anak, tidak terpaku pada pekerjaan
dan penghasilan ayah semata, tetapi mempertimbangkan usia produktif ayah,
kesehatan ayah, serta pendidikan dan keterampilan yang dimiliki ayah yang
mendukung dirinya melaksanakan kewajiban memberi nafkah anak.
4. Peningkatan kesadaran pihak berperkara menjalankan putusan Pengadilan
Agama mengenai pembebanan nafkah anak semata demi kepentingan dan masa
depan terbaik anak*** harry