JAKARTA || Ekpos.com — Burnout atau kelelahan ekstrem di kalangan tenaga kesehatan kini menjadi alarm serius dalam sistem layanan kesehatan Indonesia. Hal ini disampaikan Hadi Filino Gunarto, mantan CEO PT. Pindad Medika Utama, yang kini juga menjadi Pengurus Yayasan Komunikasi Literasi Kesehatan Masyarakat.
“Mereka yang merawat, juga harus dirawat. Burnout bukan sekadar lelah, tapi krisis mental dan emosional yang dapat membahayakan pasien,” ujar Hadi dalam keterangan tertulis yang diterima Selasa (22 Juli).
Menurut Hadi, pengalaman di Instalasi Gawat Darurat (IGD) menunjukkan tekanan tinggi yang dihadapi tenaga medis setiap hari. Ketika puluhan pasien keracunan dan korban kecelakaan masuk bersamaan, tenaga kesehatan harus sigap tanpa celah kesalahan. “Dalam tujuh jam nonstop, mereka bekerja nyaris tanpa jeda,” ungkap pemerhati isu kesehatan ini.
Hadi menyoroti hasil riset WHO dan studi di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang menyatakan burnout meningkatkan risiko kesalahan medis. Beban kerja berlebih, kurangnya istirahat dan minimnya dukungan sosial jadi pemicu utama.
Salah satu solusi, menurut Hadi, adalah menjaga work-life balance. Di rumah sakit yang ia kelola dulu, staf rutin bermain voli, berkumpul di kantin, atau mengikuti pengajian untuk menjaga kesehatan mental. “Langkah kecil tapi penting. Manusiawi. Bukan sekadar rutinitas,” jelasnya.
Namun, Hadi menyayangkan masih banyak rumah sakit belum memiliki sistem yang mendukung kesejahteraan nakes. Laporan Kementerian Kesehatan 2023 mencatat lebih dari 35 persen tenaga kesehatan mengalami tekanan psikologis selama dan pasca-pandemi. Perawat muda dan tenaga kontrak jadi kelompok paling rentan.
“Banyak yang takut mengeluh karena dianggap tidak profesional. Padahal itu alarm,” ujar Hadi.
Ia menekankan pentingnya kepemimpinan transformasional, pemimpin yang peka, empatik dan mampu mendeteksi tanda kelelahan di timnya.
Penelitian di rumah sakit pendidikan membuktikan gaya kepemimpinan ini mampu menurunkan burnout secara signifikan. “Bukan hanya menyampaikan target, tapi juga menguatkan,” tambah Hadi.
Ia menutup dengan peringatan, jika sistem tidak memberi ruang bernapas bagi tenaga kesehatan, maka ketahanan layanan akan runtuh. “Bukan soal promosi atau insentif semata. Tapi perhatian tulus. Kepedulian. Karena kekuatan sistem kesehatan ada pada manusia yang cukup kuat untuk terus peduli,” tegas Hadi. (Red).