Dalam skala kecil rumah tangga, ketika kebutuhan melebihi dari pemasukan, maka solusi yang dituju adalah dengan utang. Tentu dengan kadar yang masih bisa dijangkau oleh pendapatan masing-masing rumah tangga.
Tentu berbeda halnya dalam lingkup negara. Banyak aspek yang harus benar-benar bisa diatur baik dari penerimaan negara maupun pengeluarannya. Namun kita lihat saat ini, negara maju maupun negara berkembang mengandalkan utang untuk pemasukan negara, sebab utang dianggap sebagai solusi cepat untuk pertumbuhan ekonomi.
Utang luar negeri menjadi salah satu pilihan yang ditempuh oleh pemerintah demi perbaikan ekonomi ditambah dalam kondisi pandemi yang melumpuhkan berbagai negara karena dampak resesi ekonomi. Seperti yang dilontarkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa pada masa pandemi, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3 persen.
Jumlah utang luar negeri Indonesia kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. (REPUBLIKA.CO.ID, 27/12/2020)
Dengan adanya defisit yang besar, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan APBN lainnya, termasuk melalui utang. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, utang yang dibuat di tengah masa krisis untuk selamatkan rakyat. “Makanya ada saja orang yang nyinyir ke saya itu utang-utang. Ya enggak apa-apa, wong itu utang untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia”.
Namun, apakah utang merupakan satu-satunya solusi bagi perbaikan ekonomi? Tidak adakah solusi lain yang bisa dilakukan pemerintah, mengingat Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah, dan banyak diantaranya belum dikelola secara maksimal?
Utang Sebagai Alat Penjajahan
Sumber pendapatan negara merupakan dana yang diterima negara untuk melakukan pembiayaan pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara adalah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri.
Perlu diingat bahwa dalam sistem kapitalisme, utang merupakan pengendali bagi suatu negara untuk menguasai negara lain atau sebagai alat politik. Terbukti dari sekian lama Indonesia berutang tidak ada perbaikan ekonomi yang berimbas pada perbaikan hidup bagi warga negaranya. Utang malah menjadikan negara tidak mandiri dan selalu bergantung kepada negara lain, baik melalui utang luar negeri maupun investasi. Alhasil kebijakan yang diambil pemerintah tidak jarang menguntungkan pihak pemodal (kapitalis). Sehingga terus berharap kepada kapitalisme dalam perbaikan ekonomi sama saja menceburkan diri kesengsaraan karena semakin mudah didikte asing. Masihkah mau dijajah asing?
Islam Hadir Sebagai Solusi
Islam sejatinya hadir dalam pengaturan sistem ekonomi. Sebab Islam hadir bukan hanya mencakup pengaturan urusan-urusan ibadah semata, melainkan seluruh aspek kehidupan. Tercakup didalamnya bagaimana Islam mengatur pemasukan dan pengeluaran negara. Sumber-sumber penerimaaan negara Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Kas Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin tidak memungut pajak dari rakyatnya.
Sumber-sumber utama penerimaan Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam. Paling tidak ada tiga sumber utama, yaitu (a) Sektor kepemilikan individu, seperti: sedekah, hibah, zakat, dsb. (b) Sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan, dsb dan (c) Sektor kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur, dsb.
Dengan sumber pemasukan negara Islam yang melimpah melalui kebijakan fiskal Baitul Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah Saw, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).
Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur.
Indonesia negara yang sangat melimpah sumberdaya alam serta sumberdaya manusianya tentu mampu menjadi negara yang makmur dan sejahtera bila pengaturan kebijakan negara mengambil sistem Islam, aturan yang datang dari Sang Maha Pengatur, Allah. Dengan pengaturan syariah, Indonesia mampu membayar seluruh utang luar negeri dan melesat menjadi negara mandiri dan kuat.
Negara yang kuat dan mandiri hanya dapat terwujud dalam aturan Islam dengan sistem khilafahnya. Begitupun ekonomi yang kuat hanya bersandar pada aturan Islam. Dalam sistem khilafah tidak menjadikan utang sebagai instrumen ekonomi, Khilafah juga menutup celah bagi investor masuk, mencegah eksploitasi ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, meskipun dieksplorasi, akan terjaga dengan baik. Sebab, dalam perspektif ekonomi Islam, hakikat kepemilikannya adalah rakyat sehingga hasilnya sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat banyak juga mencegah imperialisme negara-negara barat. Sehingga akan mewujudkan ekonomi yang sejahtera, mandiri, dan berkah. Jika kita ingin keluar dari jeratan utang, kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt., serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariahnya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. ***