Capek, itulah yang konon dirasakan oleh Wakil Bupati Bandung periode 2016-2021, Gun Gun Gunawan, selama menjalani masa jabatannya. Mengapa demikian? Karena menurutnya menjadi pemimpin itu dituntut harus dapat menjalani berbagai peran, entah sebagai dokter, pengusaha, birokrat, ayah, alim ulama, bahkan teman. Walaupun capek dan lelah, pria yang kini menduduki jabatan sebagai ketua DPD PKS ini mengaku bersyukur telah diberi kesempatan untuk memimpin wilayah yang memiliki penduduk hampir empat juta jiwa tersebut. Walau pro kontra senantiasa mewarnai setiap kebijakan yang diambilnya namun hal tersebut dianggapnya sebagai bagian dari resiko yang harus dihadapi. (Pojokbandung.com Jumat 19/2/21)
Terpilihnya beliau menjadi orang nomor dua di Kabupaten Bandung tentu tidak lepas dari pelaksanaan pesta demokrasi dengan segala kemeriahannya. Pemilihan yang menitik beratkan pada suara mayoritas sebagai perwujudan khas pemilu dalam sistem demokrasi. Sehingga saling berebut pendukung, tarik menarik simpatisan bahkan menghalalkan segala cara pun tak bisa dihindarkan. Kepemimpinan tidak lagi dipandang amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, akan tetapi dijadikan sebagai sarana meraih materi.
Selain itu mahalnya ongkos demokrasi tak ayal membuat para calon harus merogoh kocek yang begitu dalam hingga harus menggandeng para pengusaha tajir untuk memuluskan jalan menuju singgasana kekuasaan. Alhasil ketika terpilih menjadi pemimpin, prioritas utama bukanlah rakyat akan tetapi lebih cenderung mengikuti arahan para kapital sebagai pendukung yang telah menggelontorkan dananya.
Mungkin sikap mengutamakan para kapital tersebut tidak berangkat dari keinginan pribadi mereka. Namun apa boleh dikata, atas nama balas budi atas dukungan selama kampanye memaksanya berbuat demikian. Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalis demokrasi yang mengedepankan kepentingan dan manfaat. Pemerintahan korporatokrasi dimana para pengusaha lah yang sesungguhnya lebih cenderung berkuasa dibandingkan pemimpin yang sesungguhnya. Hal inilah yang membuat penguasa negeri enggan sepenuhnya berpihak pada rakyat. Dengan kata lain mereka sudah didikte untuk mengikuti kemauannya melalui berbagai kebijakan.
Maka dari itu wajar jika tidak sedikit diantara para pemimpin tersebut merasa capek, lelah, pasrah dan terkesan tak peduli. Seperti apa yang dirasakan oleh Gun Gun Gunawan mungkin tidak jauh berbeda dengan para pejabat setingkatnya. Baginya yang penting sudah menjalankan tugas kepemimpinannya, melaksanakan berbagai tuntutan yang dipikulnya, menyenangkan hati para tuannya sebagai ungkapan balas budi.
Inilah sesungguhnya watak demokrasi yang merupakan turunan dari kapitalisme sekulerisme. Slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya hanya ilusi belaka. Karena faktanya rakyat belum mendapatkan tempat nomor satu di hati para penguasa.
Berbeda dengan Islam, dimana seorang pemimpin adalah pengayom dan pelayan bagi rakyatnya. Yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Rasulullah bersabda yang artinya:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR al-Bukhari)
Dalam hadis yang lain juga dikatakan:
“Sesungguhnya al imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaan-Nya.” (HR al-Bukhari Muslim)
Dari hadis di atas jelaslah bahwa kepemimpinan bukanlah hal sembarangan yang bisa dianggap remeh. Tanggung jawabnya begitu besar. Dalam Islam, untuk menjadi seorang pemimpin haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantaranya: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka tidak sah akad kepemimpinannya. Selain itu juga ada syarat keutamaan (afdhaliah) yaitu: berasal kalangan Quraisy, mujtahid dan ahli mengangkat senjata. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Afkar as-Siyasiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin seperti berkepribadian kuat, bertakwa, memiliki sifat welas asih, dan penuh perhatian terhadap rakyatnya.
Islam juga telah mengajarkan sistem kepemimpinan syar’i yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat. Artinya hak membuat hukum hanyalah milik Allah Swt. dan manusia tidak diperbolehkan untuk membuat aturan. Adapun kekuasaan di tangan rakyat bermakna bahwa rakyat memiliki kewenangan untuk mengangkat kepala negara atau pemimpin Islam yang akan mengatur mereka dengan aturan syariah Islam.
Adapun contoh pemimpin dambaan dalam Islam tergambar dalam diri seorang Umar bin Khattab, beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Beberapa sifatnya yang dikenal adalah tegas dan pemberani. Namun dibalik itu semua beliau memiliki sikap yang lemah lembut kepada rakyatnya. Begitu besar perhatian dan kecintaannya terlihat dalam mengurus dan mengayomi rakyatnya secara maksimal.
Waktu itu ketika bumi Hijaz dilanda musim paceklik yang panjang. Selama sembilan bulan mengalami kekeringan, air dan makanan sangat sulit didapat. Rakyat banyak yang kelaparan sehingga menimbulkan bencana susulan berupa penyakit dan kematian. Hal itu membuat Amirul Mukminin Umar bin Khattab sedih. Ia pun berusaha semaksimal mungkin melindungi, memberikan sebagian hartanya untuk membantu rakyatnya. Bahkan beliau marah ketika diberi makan daging oleh pembantunya. Sementara rakyatnya sendiri sedang kelaparan.
Para wali di luar Madinah pun diminta bantuannya untuk menolong saudara mereka. Setelah bantuan tiba, Khalifah Umar segera turun membagikan bantuan kepada para penduduk. Lalu mengajak rakyatnya untuk bermunajat kepada Allah Swt. dengan melakukan shalat istisqa untuk meminta hujan. Hingga setelah waktu berlalu Allah Swt. mengabulkan doa dengan menurunkan hujan yang penuh rahmat dan keberkahan.
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab di atas cukuplah menjadi bukti dan contoh bagi para pemimpin di negeri ini khususnya. Seorang pemimpin yang mengabdi total kepada rakyat, tanpa mengenal lelah dan capek. Karena di dalam benaknya hanya menginginkan ridho Allah semata. Keberadaannya hanya untuk menjalankan tugas kepemimpinan yaitu riayah su’unil ummat (mengurusi urusan umat) dengan berlandaskan syariah Islam. Di pundaknya tanggung jawab yang besar dipikulnya. Dan berkat kepiawaian dan kecerdasannya amanah itu pun dapat dijalankan dan kesejahteraan dapat terwujud.
Sungguh kita mendambakan sosok pemimpin yang di tangannya lah rakyat dapat menggantungkan harapan. Pemimpin yang penuh ketakwaan dan perhatian pada rakyatnya. Begitupun dengan penerapan sistem Islamnya, yang akan menebar kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu tidak ada alasan lagi untuk tidak bersegera memperjuangkan syariah Allah dan pemimpin dambaan umat yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Karena hanya melalui tegaknya syariah Islam lah niscaya kesejahteraan dan keberkahan dapat diraih. Wallahu a’lam bi ash-shawab.