Perpres investasi untuk industri miras yang ditetapkan tanggal 2 Februari kemarin, memunculkan pro kontra dari masyarakat melihat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Tak ayal banyak penolakan terkait pelegalan miras tersebut.
Kalangan ulama dari berbagai ormas, mengkritik keputusan presiden yang bisa dibilang gegabah ini. Pasalnya miras yang termasuk dalam minuman alkohol ini adalah induk dari segala kejahatan. Pelakunya bisa melakukan berbagai tindakan kriminalitas setelah meminum miras. Bahkan bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Di Depok seorang pemuda mabuk mengancam warga menggunakan magasin dan pisau. (Kompas.com, 18/1/2021).
Bahkan tahun lalu di Garut seorang suami tega mencekik istrinya hingga meninggal setelah menenggak miras. (Viva.co.id, 23/7/2020).
Masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang terjadi disebabkan oleh miras. Akhirnya, setelah mendapat masukan dari beberapa kalangan, seperti pemerintah daerah, ormas, termasuk para ulama, Presiden Jokowi mencabut lampiran Perpres investasi miras pada tanggal 2 Maret 2021.
Padahal perlu kita semua tahu bahwa investasi minuman beralkohol sudah terjadi sejak era sebelum kemerdekaan tepatnya 1931. BKPM mencatat, ada 13 Provinsi yang diberikan izin investasi miras dengan jumlah 109 izin. (economy.okezone.com, 7/3/2021).
Pencabutan lampiran investasi miras tidak diiringi penghapusan regulasi lain yang mengijinkan produksi, distribusi/peredaran dan konsumsi miras. Seperti hanya formalitas belaka, karena faktanya miras masih beredar bebas di masyarakat.
Pemerintah perlu memberikan persepsi utuh ke masyarakat bahwa pencabutan lampiran perpres investasi miras tidak bermakna jaminan hilangnya pengaruh buruk miras. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa miras mempunyai pengaruh yang begitu buruk kepada setiap individu.
Namun sangat disayangkan, melihat negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia atas setiap individu, sehingga negara tidak mempunyai hak melarang keras setiap individu untuk mengkonsumsi miras. Sehingga miras mudah beredar dimasyarakat. Sehingga lampiran Perpres yang dicabut tidak memberikan pengaruh besar ke arah negara yang bebas dari miras.
Berharap negara bebas dari miras dalam sistem kapitalisme demokrasi bagaikan mimpi di siang bolong. Sebab sedikit banyaknya negara memperoleh pemasukan dari miras berupa pajak, tak peduli halal haram. Begitulah memang karakteristik sistem kapitalisme, mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.
Berbeda dalam sistem Islam, harapan tersebut akan terwujud karena Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang sempurna dalam mengatur setiap aspek kehidupan. Islam sendiri dengan tegas dalam firman-Nya surat Al-Maidah: 90, memerintahkan orang-orang beriman untuk menjauhi minuman keras, karena termasuk perbuatan keji.
Disamping pelarangan tersebut, negara juga ikut andil dalam pelaksanaannya. Dengan menerapkan hudud/ hukuman bagi pelanggarnya, tentunya dijalankan sesuai syariat Islam. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW hukuman bagi peminum khamar adalah dicambuk 80 kali (Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim).
Tentu saja pelaksanaan hudud ini akan berjalan dengan baik jika dibarengi dengan sebuah sistem yang tepat. Sistem yang mendukung penerapan hudud yakni sistem Islam. Sistem sempurna yang turun langsung peraturannya dari Zat Yang Maha Sempurna, Allah SWT.
Tujuan dari diterapkannya hudud ini adalah sebagai penebus dosa dan memberikan sikap jera bagi si pelaku, serta mencegah orang lain untuk melakukan kesalahan yang sama. Sehingga dengan sistem Islam akan terwujud negara bebas dari miras. Wallahu’alam bish-shawab.