JAKARTA – Dalam menghadapi situasi bauran krisis ekonomi dengan masuknya tahun politik tidak diimbangi kecakapan kinerja kabinet sebagai instrumen pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.
Ini akan menjadi masalah serius, mana kala kabinet Jokowi tidak seirama dan tidak serius dalam mengenali masalah dan menangani masalah.
Hal tersebut dikemukakan Legislatif dan Ekskutif 1999-2012, H. Mochtar Mohamad Wartawan di Jakarta, Kamis (22/4/21).
Menurutnya, ada beberapa indikator, kenapa perlu diwaspadai tahun 2022 rawan terjadi turbulensi politik di Kabinet Jokowi.
Pertama, di Kabinet Jokowi, Kabinet Indonesia Maju, didominasi oleh unsur menteri dari partai politik. Sementara sesuai dengan UU No 7 tahun 2017 tantang Pemilihan Umum bahwa tahapan Pilpres 2024 dan tahapan Pemilu Legislatif 2024 pencoblosannya adalah bulan Maret 2024. Sedangkan tahapannya dimulai 20 bulan sebelum pencooblosan, berarti Juli 2022 sudah masuk tahapan pemilu, baik pilpres maupun pileg.
“Artinya adalah para menteri dari partai, yang berniat untuk menjadi capres, dan berniat untuk menjadi anggota legislatif, pikirannya akan bercabang di dalam tugasnya sebagai menteri dan misi politik dirinya menjelang pileg dan pilpres,” ujarnya.
Kedua, beberapa anggota kabinet terindikasi punya misi politik di Pilpres 2024. Mereka rawan melakukan upaya penggalangan dana melalui kewenangan yang melekat pada dirinya, untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, Permasalahan yang dihadapi kabinet Jokowi saat ini adalah krisis ekonomi. Sejak 2020 APBN dan APBD terkoreksi ataupun tidak mencapai target, terjadi perubahan parsial ke arah negatif.
Di APBN terjadi pengurangan dana perimbangan (bagi hasil pajak /bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana transfer daerah berkurang).
“Bahkan di Jawa Barat beberapa kali perubahan ke arah negatif, dan untuk memenuhi APBD itu harus berhutang. Tercatat, Jawa Barat melakukan pinjaman Rp 1,53 triliun (Sumber: LKPJ 2020). Contoh lain, di beberapa daerah di Jawa Barat pada triwulan pertama tahun 2021 ini sudah melakukan perubahan parsial. Ini gejala negatif bahwa ancaman krisis itu nyata,” terangnya.
Keempat, Tahun 2022 adalah tahun ketiga untuk periode kedua pemerintahan Jokowi, artinya sudah masuk kurva turun kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang akan selesai masa
pemerintahannya.
Ditambah dengan beberapa kebijakan tidak populis seperti larangan mudik
lebaran 2021.
Kelima, Kabinet yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dalam hal pangan seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN tidak berhasil memenuhi produktivitas pangan dalam negeri yang cukup sehingga kebijakan mengenai pangan diselesaikan dengan impor.
Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN tidak berhasil mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai penopang utama dalam menghadapi krisis.
“Dengan indikator itu, bisa dikatakan kondisi saat ini dan menjelang masuknya tahun politik tahun 2022 adalah kondisi yang menurut istilah Bung Karno adalah Tahun Vivere Pericoloso, untuk menggambarkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa genting,” pungkasnya. (Red).