Urgensi Indikator Penilaian Literasi Digital dalam Uji Kompetensi Wartawan

Teks foto: Nur Fitri Yani Saputri, Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Penulis: Nur Fitri Yani Saputri (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU)

Jakarta – ekpos.com – Kondisi tsunami informasi menjadikan siapa saja mampu mendapatkan dan menghasilkan informasi kapan saja untuk disebarkan secara luas.

Persebaran internet dan peningkatan kecepatannya menjadikan siapa saja bisa mendapatkan informasi dari mana saja secara singkat. Sebelumnya orang menjadikan buku, televisi, radio dan surat kabar sebagai sumber informasi terpercaya.

Namun sumber-sumber tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk diproduksi dan diperoleh oleh khalayak media.

Bisnis media konvensional tentunya tidak dapat menghindari dampak keberadaan internet. Pada akhirnya perkembangan internet melahirkan jenis media baru, new media.

New media menjadikan bisnis media online semakin menjamur. Kemudahan pendirian media online yang tidak memerlukan modal sebesar media konvensional juga menjadikan siapa saja bisa mendirikan media.

Selain melalui kantor berita media, informasi juga bisa dihasilkan individu-individu yang memiliki akses internet. Informasi-informasi ini dibagikan dan diunggah lewat media sosial maupun mini blog.

Tidak akan ada yang tahu sebuah website dijalankan oleh sekelompok orang atau hanya satu orang saja.
Khalayak hanya melihat informasi yang ditemukan dengan cepat lewat internet.

Jika pemerintah bisa mengatur kantor berita lewat undang-undang dan peraturan lainnya. Namun tidak ada yang dapat mengatur ketentuan sumber informasi khalayak.

Berbeda dengan dunia akademik yang memiliki aturan keras terkait sumber referensi untuk kajian formal. Kebutuhan informasi khalayak tidak dapat diatur karena peruntukannya bergantung pada tiap individu.

Kecepatan akses new media menjadi tantangan bagi media konvensional. Tidak sedikit media konvensional yang memperluas platform bisnis ke media online.

Tidak jarang juga ada media yang pada akhirnya sepenuhnya beralih ke media online. Alasan biaya operasional yang lebih sedikit menjadi salah satu alasan peralihan bentuk media. Selain itu, media online juga memungkinkan media dapat menjangkau khalayak lebih luas.

Kemudahan-kemudahan terbentuknya media online juga dibarengi dengan kesempatan siapa saja dapat menjadi pekerja media.

Tidak hanya terjadi setelah terbentuknya media online, namun sudah sejak lama banyak media menurunkan pekerjanya meliput suatu kejadian tanpa memberikan pengetahuan jurnalistik dan kode etik yang cukup.

Kegiatan peliputan suatu berita tidak hanya sebatas mengumpulkan informasi lalu menuangkannya dalam tulisan.

Ada aspek-aspek jurnalistik dan kode etik yang harus ditaati dalam proses peliputan hingga produksi berita.

Oleh karenanya, Dewan Pers sebagai lembaga independen yang memiliki fungsi pengawasan kehidupan pers di Indonesia mengadakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk menjamin kualitas berita yang dihasilkan.

Uji Kompetensi Wartawan memiliki tiga jenjang, muda, madya dan utama. Wartawan dituntut untuk belajar dan meningkatkan kompetensi diri untuk dapat mencapai jenjang Kompetensi Wartawan lebih tinggi.

Peningkatan kompetensi tersebut bermafaat untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.
Menjadikan UKW sebagai sistem evaluasi kinerja oleh perusahaan media terhadap wartawan yang dimiliki.

Menegakkan kemerdekaan pers untuk kepentingan publik. Menjaga harkat wartawan sebagai profesi yang menghasilkan karya intelektual.

Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Juga untuk menempatkan wartawan pada posisi strategis dalam industri media. Aspek-aspek UKW menuntut wartawan dapat merancang dan menghasilkan produk baik berita maupun perusahaan media.

Keberadaan new media membawa tantangan baru bagi jurnalis. Tidak hanya cukup pada aspek UKW dan praktik peliputan secara langsung. Saat ini wartawan harus beradaptasi dengan melek pada media digital.

Jika khalayak dianjurkan untuk memiliki kemampuan literasi media untuk menghindarkan mereka dari dampak buruk media. Maka wartawan juga dituntut untuk memiliki kemampuan literasi digital untuk dapat menghasilkan berita yang kredibel.

Literasi digital bagi wartawan meliputi 5 aspek kompetensi. Pertama, wartawan dituntut dapat mengumpulkan informasi, mengevaluasi informasi dan menyimpan informasi baik dalam bentuk data digital.

Kedua, wartawan dituntut untuk dapat memanfaatkan teknologi digital untuk berkomunikasi dalam proses peliputan, berbagi informasi, menarik khalayak internet, melakukan kolaborasi lewat jaringan digital, menerapkan netiket, dan mengelola identitas digital.

Ketiga, wartawan dituntut untuk dapat membuat konten dengan sadar akan lisensi dan hak cipta. Wartawan juga dituntut untuk dapat menguasai bahasa pemrograman sederhana.

Keempat, wartawan dituntut untuk dapat melindungi keamanan perangkat, data, kesehatan (dari dampak penggunaan teknologi) dan lingkungan.

Kelima, wartawan dituntut untuk dapat melakukan pemecahan masalah terkait hambatan teknis penggunaan teknologi, dan melakukan inovasi penggunaan media secara kreatif.

Aspek-aspek literasi digital bagi wartawan tersebut perlu dimasukkan sebagai aspek tambahan peningkatan kompetensi wartawan. Hal tersebut bertujuan agar wartawan dan lingkungan pers Indonesia dapat beradaptasi dengan perkembangan new media.

Kualitas wartawan sebagai tombak penyebaran informasi, menjadi salah satu penentu kualitas masyarakat.

Terlebih saingan wartawan saat ini bukanlah sesama wartawan di media lain yang lebih baik, namun masyarakat itu sendiri. Keberadaan teknologi memaksa semua aspek beradaptasi, begitu pula wartawan.

Sebagai kelompok profesi yang memiliki tanggung jawab dan kualitas intelegensi yang diandalkan, sudah sepatutnya wartawan menjadi yang paling diutamakan untuk meningkatkan kualitas yang setara dengan perkembangan jaman.

Tugas wartawan tidak hanya lagi menuliskan berita berdasarkan fakta yang mereka lihat. Namun juga menjadi penyaring pertama bagi masyarakat. Tantangan terkini yang dihadapi pada masa tsunami informasi ialah bagaimana dapat menghasilkan berita yang dibutuhkan dan tidak menggiring pada informasi yang salah.

Kemampuan menulis, mengolah data, mengkonfirmasi dan perlindungan data juga informan sudah sepatutnya menjadi bekal kemampuan yang harus dimiliki wartawan saat ini. Tentu banyak pihak yang harus terlibat dalam mewujudkan hal ini.

Tidak hanya kantor berita masing-masing yang berkewajiban mengirimkan wartawannya untuk menempuh pendidikan atau mengambil kelas keterampilan yang berkaitan, kesadaran akan kebutuhan kemampuan tersebut juga perlu ditanamkan dalam diri wartawan.

Pada akhirnya, wartawan bukan lagi profesi yang bisa dilakukan siapa saja, ada tahap pendidikan dan ujian yang harus ditempuh selayaknya jenjang perolehan profesi seperti profesi lain. Perjalanan yang panjang demi perbaikan iklim jurnalistik di Indonesia, dan harus dimulai segera. ****

Total
0
Shares
Previous Article

Babinsa Bantu Kerja Bakti Bersihkan Sampah Di Aliran Sungai Wulan

Next Article

Kasal : Pemimpin TNI AL dengan Cakrawala Luas Akan Mampu Penuhi Amanah Pengawal Laut Nusantara

Related Posts