Oleh Brigjen Pol (P) Victor Edi Simanjuntak, Ketua Dewan Pembina DGP (Dulur Ganjar Pranowo)
Jakarta – ekpos.com – Sebelum Ganjar di deklarasikan sebagai Capres dari PDI-P pada 21 April 2023, pada bukan Januari 2023, terdengar kabar bahwa koalisi besar telah terlebih dahulu menyepakati, Prabowo sebagai Cawapres untuk Ganjar.
Kesepakatan itu terganggu dengan kembali munculnya keinginan Prabowo menjadi Capres dari Gerindra, lalu koalisi dengan partai mana ? dan siapa Cawapresnya? Menarik untuk di cermati, karena Gerindra hanya memikiki 78 kursi DPR RI, sedangkan syarat minimal pengusung Capres harus 115 kursi.
Jika Gerindra bersikeras mengusung Prabowo sebagai Capres, Gerindra harus berhitung kemungkinan koalisi, partai mana yang memungkinkan untuk mencapai 115 kursi, tentu harus juga memperhitungkan Cawapres pendamping yang memungkinkan dapat membantu memenangkan Pemilu 2024?
Untuk itu, mari kita bantu Gerindra untuk berhitung:
1. Ada gimik politik yang mengatakan bahwa PPP 19 kursi, akan berkoalisi dengan Gerindra 78 kursi mengusung Cawapres Sandiaga Uno mendampingi Prabowo, namun total kursi hanya 97, belum memenuhi syarat, lalu partai mana lagi yang akan bergabung agar memenuhi syarat 115 kursi? Yang mungkin hanya PKB 58 kursi, atau PAN 44 kursi dan atau Golkar 85 kursi, tetapi tidak mungkin ketiga partai itu menyetujui koalisi dengan melepas Cawapres, belum lagi perhitungan kemungkinan menurunnya perolehan suara DPR RI dalam Pemilu 2024, artinya bahwa dengan perhitungan demikian, sangat tipis kemungkinan pasangan PS-Sandi terwujud.
2. Cak Imin juga bisa membawa PKB 58 kursi untuk berkoalisi dengan Gerindra 78 kursi, total 136 kursi, memenuhi syarat mengusung Capres (PS-MI), namun NU telah kembali ke Gusdur, dukungan NU tidak lagi kepada Cak Imin, tentu Prabowo sangat paham hal ini, maka kemungkinan ini pun sangat tipis.
3. Bisa juga Golkar 85 kursi, koalisi dengan Gerindra 78 kursi, total 163 kursi, memenuhi syarat mengusung (PS-Erlangga), namun tokoh senior Golkar dan para kader Golkar akan sangat menentang hal ini.
Kondisi diatas menggambarkan bahwa, begitu sulitnya bagi Gerindra untuk mendapatkan partai koalisi, kalau mendapatkan partai koalisi saja masih sulit, apalagi menghitung kemungkinan memenangkan Pemilu 2024.
Walaupun kesulitan mendapatkan partai koalisi dan Wapres pendamping pada pemilu 2024, mungkin saja PS memaksakan kehendak untuk tetap menjadi Capres dalam Pemilu 2024, disisi lain koalisi perubahan juga masih kesulitan menyepakati Cawapres pendamping Anies, maka walaupun kemungkinan sangat tipis, bisa saja terwujud koalisi antara Gerindra dengan koalisi perubahan, dengan dua kemungkinan:
1. Mengusung PS-Anies, hanya 30% kemungkinan PS bersedia, 80% kemungkinan Anies bersedia.
2. Mengusung Anies-PS, 100% PS tidak bersedia, lebih baik menjadi Cawapres untuk GP.
Dengan demikian bahwa, DGP yang sejak awal mempredksi bahwa Pemilu 2024 akan menjadi dua poros, akan terwujud, dengan dua skenario:
1. Koalisi Besar vs Koalisi Perubahan.
2. Koalisi Besar terbagi dua, yaitu pengusung GP-siapapun Cawapresnya vs pengusung Capres lainnya atas kesepakatan koalisi besar. Dalam hal ini Nasdem akan bergabung dengan pengusung GP, maka PKS dengan Demokrat akan kelabakan dan Anies terbuang.
Dalam hitungan bulan koalisi besar akan menentukan sikap dalam memutuskan Cawapres pendamping GP, jika tidak ada lagi perubahan lainnya, maka prediksi DGP akan terwujud, kalau pun ada perubahan, pastilah karena kebutuhan kompromi politik untuk menjamin kemenangan, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta keamanan, hal itu dapat kita cermati pada keputusan politik saat memasangkan Jokowi dengan MA pada pemilu 2019, dengan mengacu pada hal itu, maka bisa saja GP di pasangkan dengan KH Said Agil Sirodj pada Pemilu 2024.