Oleh : A Rusdiana
Saat ini, kita telah melewati 2 momen penting diantaranya: Pertama; Satu bulan yang lalu berbagai tahapan pemilihan umum (Pemilu) di tahun ini. Kita sudah berpartisipasi aktif dengan menggunakan hak pilih kita kepada calon presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD. Harapannya, lahir pemimpin bangsa dan legislator yang benar-benar amanah, mengayomi rakyatnya, dan menebar kecintaan kepada semua warga Indonesia. Berbagai dinamika di tahun politik sudah kita saksikan bersama, dan alhamdulillah dapat kita lalui. Rakyat Indonesia sudah menunaikan hak pilihnya masing-masing. Para simpatisan, pendukung, tim sukses sudah bekerja maksimal. Kini saatnya berdoa dan bertawakal kepada Allah swt. Apapun hasilnya, bila semua tahapan dilalui dengan baik dan sesuai aturan yang berlaku, kita harus terima. Di sinilah sikap kedewasaan kita kemudian diuji, kita harus legowo bila calon yang kita pilih belum ditakdirkan menjadi pemimpin saat ini. Kita juga harus ikhlas dan menjauhi sikap-sikap yang tak pantas.
Momen ke dua: Saatnya kita menyatu kembali. Halal bi halal selapas merayakan Idul Fitri 1445 H. Dalam konteks kebangsaan, kita adalah satu dan menyatu dalam satu negara, yaitu Indonesia. Kepentingan kita adalah menjaga negeri ini tetap utuh. Dan keutuhan tersebut dapat diwujudkan oleh rakyatnya yang selalu mencintai persatuan, mencintai perdamaian, dan mencintai persaudaraan. Terkait pentingnya persatuan ini, Allah swt telah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Artinya, “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al–Ghaib menyatakan para ulama ahli tafsir memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal maksud dari hablillah (agama Allah). Pertama, memiliki arti taat atas segala perintah dan menjauhi larangan. Kedua, ada yang mengartikan dengan bertaubat kepada Allah. Ketiga, ulama manafsirkan perihal spirit persatuan antarumat, dan pendapat yang terakhir itu merupakan pandangan yang paling kuat dari penafsiran lainnya.
Dengan demikian, membangun dan mempertahankan persatuan merupakan kewajiban kita semua yang tidak boleh dilalaikan. Semua media atau perantara penting yang bisa menjadi pendukung terciptanya persatuan harus kita lakukan. Salah satunya adalah dengan menumbuhkan sifat saling menghargai, mengakui keragaman, dan tidak saling menyalahkan antar yang satu dengan yang lainnya, meskipun kita beda pilihan politiknya.
Terlebih, saat ini pula kita baru saja usai menunaikan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu shiyam ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat-shalat sunnah, tadarrus al-Qur’an, shadaqah, dan lain sebagainya. Maka saat ini atau bulan Syawal, kita digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhalana waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin. Idul fitri ada karena adanya shiyam ramadhan, maka tidak ada nilai dan identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam ramadhan. Kenapa orang mukmin saat ini dikembalikan ke fitrahnya? Mari kita flash back dan kaji kembali.
Bagi umat Islam, sekarang ini sedang memasuki babak baru, babak kembali ke fitrah yang suci. Karena muara ibadah berpuasa ramadhan adalah terbentuknya muslim yang bertakwa. Dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran, ayat 133;
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali ‘Imrran [3]: 133).
Makna yang terkadung dalam ayat tersebut, Allah Swt menegaskan bahwa di antara ciri-ciri orang bertakwa itu diantaranya ada empat :
Pertama, ciri-ciri orang yang bertakwa yaitu orang yang berinfak di waktu lapang dan sempit; Senantiasa berinfak di jalan Allah subhanahu wata ‘ala dalam keadaan lapang atau pun sempit. Apalagi berinfak di bulan Ramadan ini. Bulan Ramadan sudah jelas lebih besar dan berlipat ganda pahala dan ganjarannya. Sebab, di antara tiga amalan utama di bulan Ramadan salah satunya adalah berinfak atau bersedekah. Dalam hadis Ibnu Abbas r.a. disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadan untuk mudarosah (mempelajari) Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari).
Nabi Muhammad saw. adalah orang yang sangat luar biasa dermawan dan bertambah dermawan lagi ketika tiba Ramadan. Maka dari itu, tingkatkanlah rasa kedermawanan, berikanlah infak maupun sedekah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Memberi itu tidak harus dengan uang tetapi dapat pula memberi dengan makanan sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Artinya: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih). Jadi, ciri pertama orang bertakwa yang akan mendapatkan maghfirah dan akan mendapatkan surga yang luasnya seperti langit dan bumi yaitu orang-orang yang gemar membela jalan hartanya di jalan Allah subhanahu wata ‘ala. Baik dalam kondisi susah maupun mudah.
Ciri yang Kedua: orang yang bertakwa yaitu orang yang mampu menahan amarah,Ciri yang kedua adalah orang-orang yang bisa menahan emosi atau amarahnya. Saking bahayanya tidak bisa mengendalikan rasa amarah, orang Arab menyebutnya dengan al-ghadhabu ra`su kulli khatiiatin, yang artinya: marah adalah sumber segala keburukan. Namun, bagi siapa saja yang mampu menahan amarahnya maka dijamin baginya banyak kebaikan. Salah satunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ
“Barang siapa yang mampu menahan atau mengendalikan rasa marahnya, padahal ia mampu melampiaskannya, namun ia tahan dan ia kendalikan, maka Allah ‘azza wajalla akan panggil ia dengan panggilan kehormatan nanti di akhirat di depan khalayak umum dan diberi kebebasan untuk memilih siapa saja yang ingin ia jadikan pasangan dari para bidadari surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 2021, 2491; Abu Dawud no. 4777; Ibnu Majah no. 4186; Ahmad no. 15210).
Salah satu cara yang diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW, untuk mengendalikan rasa marah, yaitu apabila seseorang marah sedang dia dalam kondisi berdiri, hendaklah ia duduk; jika tetap marah, hendaklah ia berbaring; jika tetap marah, hendaklah ia berjudul; dan jika tetap marah juga, hendaklah ia shalat. Kenapa harus dengan wudhu? Sebab, marah itu bagian dari setan dan setan itu tercipta dari api, dan api hanya bisa dipadamkan dengan air sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW. Dan hampir semua kejahatan yang terjadi yang sampai bisa melukai orang lain atau menzalimi bahkan menghilangkan nyawa orang lain itu pangkal masalahnya adalah tidak bisa menahan rasa marah.
Ciri yang Ketiga: orang yang bertakwa yaitu suka memaafkan kesalahan orang lain, Mudah Memaafkan Sifat ketiga orang bertakwa yang akan mendapatkan maghfirah dan masuk ke surga Allah subhanahu wata ‘ala adalah orang yang mau memaafkan orang lain. Marilah kita mencontoh orang-orang saleh terdahulu yang mudah memaafkan kesalahan sesama. Nabi Yusuf ‘alaihissalam semasa kecil dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Hingga mereka berhasil memisahkan Yusuf kecil dari Ya’qub ‘alaihissalam, ayahanda tercinta, selama hampir empat puluh tahun lamanya. Dibuang di sumur, dijadikan budak, dijual dengan harga yang murah, beliau rasakan. Namun, apa yang terjadi? Setelah Allah mengangkat Nabi Yusuf menjadi Nabi, setelah Allah membebaskannya dari perbudakan, menjadikannya bendaharawan Al-Aziz, Raja Mesir. Setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya, dan saudara-saudaranya yang dahulu berniat membunuhnya datang memohon belas kasihan. Di saat Nabi Yusuf berkuasa atas mereka, apa yang beliau katakan?
قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 92).
Sebelum saudara-saudaranya meminta maaf, beliau sudah memaafkan. Bahkan memohonkan agar Allah mengampuni mereka. Inilah contoh sifat mudah memaafkan yang sesungguhnya. Sangat tepat dilakukan dalam momen halal-bihalal saat ini.
Ciri yang Keempat: orang yang bertakwa yaitu; orang yang selalu berbuat baik; dalam konteks ini, merupakan Ikhtiar agar selalu merajut persatuan juga diajarkan Rasulullah saw. Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat berjuang untuk menciptakan persatuan sejak masa awal kenabiannya. Beliau tidak henti-hentinya mengajak para sahabat untuk terus bersatu menghindari perpecahan di saat khutbah. Dan, salah satu buktinya adalah keberhasilan nabi dalam mempersatukan dua sahabat, yaitu sahabat Anshor dan Muhajir, hingga tercipta sahabat yang solid dan saling bahu membahu antar keduanya.
Teladan Rasulullah dalam mengajak untuk bersatu ini terus dilanjutkan oleh para sahabat setelah ia wafat. Para sahabat selalu berupaya untuk terus mempertahankan persatuan yang telah diwariskan oleh baginda nabi. Di antara contohnya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud sebagaimana diceritakan dalam kitab al–Mu’jam al-Kabir, bahwa dalam suatu kesempatan, ia berkhutbah di hadapan para sahabat yang lainnya untuk terus memperjuangkan persatuan dan kesatuan. Beliau bersabda:
خَطَبَنَا عَبْدُ الله يَوْمًا خُطْبَةً لَمْ يَخْطُبْنَا مِثْلَهَا قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا، قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ أتَّقُوْا اللهَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّهَا حَبْلُ اللهِ الَّذِي
Artinya, “Abdullah bin Mas’ud telah berkhutbah kepada kami di suatu hari, dengan khutbah yang tidak pernah disampaikan sebelumnya atau sesudahnya. Ia berkata: Wahai manusia! Bertakwalah kalian semua kepada Allah, dan berpegangteguhlah dengan ketaatan dan persatuan, karena persatuan itu adalah tali Allah yang telah Dia perintahkan. Sungguh, apa yang dibenci dalam ketaatan dan persatuan, lebih baik dari apa yang disenangi dalam perpecahan.”
Allah swt juga telah melarang kita melakukan tindakan-tindakan dan semua ucapan yang merusak persatuan. Semua itu harus kita hindari. Bahkan, Allah swt mengancam dengan azab yang sangat berat kepada orang-orang yang merusak persatuan ini, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya, “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (QS Ali ‘Imran [3]: 105).*** Wallahu alam
*Artikel adalah Intisari Khutbah Jumat, 18 April 2024
* Penulis adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan FTK UIN SGD Bandung, Pendiri/pembina Yayasan Al-Misbah Kota Bandung dan Yayasan Tresna Bhakti Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.