Kapitalisme Gagal Lindungi Gizi Rakyat, Islam Hadir Sebagai Solusi

Oleh : Siti Masitoh

KEMBALI MENCUAT, kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) berulang. Awal terjadi pada Selasa, 18 Februari 2025, sebanyak 29 siswa SD Katolik Andaluri dilaporkan mengalami gejala keracunan makanan berupa mual dan muntah setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Dua bulan berikutnya, yakni Senin, 21 April 2025, dilaporkan adanya kasus keracunan makanan massal yang melibatkan 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur. Disusul dengan insiden dua hari berikutnya, Rabu, 23 April 2025, di SDN 33 Kasipute, sejumlah siswa mengalami muntah setelah mencium aroma amis dari paket makanan MBG yang terdiri atas nasi, chicken karage, tahu goreng, dan sayur sop. Kepala sekolah menyebut bau tak sedap berasal dari ayam yang diduga tidak layak konsumsi.

Kepolisian setempat mencatat bahwa dari 1.026 paket makanan, sebanyak 53 di antaranya diketahui tidak dalam kondisi segar (tempo.com).
Selang tiga bulan, sebanyak 36 orang yang terdiri pelajar SD, SMP, dan guru Sekolah Bosowa Bina Insani, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, dilarikan ke sejumlah rumah sakit. Mereka diduga mengalami keracunan makanan. Dandim 0606/Kota Bogor, Letkol Inf. Dwi Agung Prihanto, membenarkan adanya peristiwa tersebut. Para pelajar dan guru di sekolah tersebut mengalami gejala yang diduga keracunan makanan secara bertahap dari kemarin sore dan pagi hari.

Sejauh ini, korban yang dilaporkan berasal dari satu sekolah. Sementara makanan yang didistribusikan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bina Insani menyasar 13 sekolah. “Gejala yang muncul mual, pusing, dan diare (tirto.id). Jumlah korban keracunan diduga akibat mengkonsumsi makan bergizi gratis (MBG) di Kota Bogor bertambah jadi 223 orang berdasarkan perkembangan kasus hingga 7 Mei 2025 (kompastv).

Hasil uji lab menunjukkan lauk telur saus barbeque dan tumis tauge tahu tercemar bakteri Salmonella dan E. coli. Hal ini disampaikan langsung oleh Wali Kota Bogor, Dedie Rachim. Makanan dimasak oleh SPPG Bosowa Bina Insani dan didistribusikan ke 13 sekolah, di mana sembilan di antaranya melaporkan gejala keracunan. Hingga 12 Mei 2025, masih ada 18 orang yang dirawat.

Namun ironis, respon dari sang pemilik program tak sampai hati. Dengan lantang mengatakan, “Hari ini memang ada yang keracunan, yang keracunan sampai hari ini dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah di bawah 200 orang (yang keracunan), yang rawat inap hanya 5 orang. Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya enggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen,” ujar Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5/2025) (kompas.com).

Respon blunder yang menuai berbagai kritik. Salah satunya Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Iskandar, mengkritik klaim keberhasilan Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo Subianto di tengah sorotan mengenai kasus keracunan MBG.

“Keracunan itu bukan hanya soal makanan basi. Ini menyangkut nyawa manusia. Satu nyawa saja tidak bisa dinilai dengan angka statistik. Tidak bisa dibilang hanya sebagian kecil dari keseluruhan,” kata Media Wahyudi Iskandar kepada Kompas.com, Selasa (5/5/2025).

Memang benar, klaim keberhasilan MBG dari Prabowo tersebut tidak berdasar pada evaluasi yang bersifat ilmiah dan empiris. Miris, karena ucapan itu keluar dari Presiden yang seharusnya menjelaskan sesuatu berdasarkan data empiris dan mengevaluasi kebijakan dengan indikator yang benar.

Perlu dipahami, bahwa indikator keberhasilan MBG tidak bisa hanya diukur dari jumlah penerima manfaat atau besaran anggaran yang disalurkan. Justru yang terpenting adalah sejauh mana program ini tepat sasaran, pelaksanaannya berjalan baik, serta dampaknya positif terhadap anak-anak penerima. Misalnya dari sisi gizi, motivasi belajar, dan aspek lainnya. Kalau itu belum bisa dibuktikan, belum bisa diklaim program ini berhasil. Klaim keberhasilanpun semakin tidak relevan jika ada nyawa yang terancam. Apalagi kasus keracunan MBG bukan kasus tunggal, melainkan berulang sejak awal 2025. Oleh karenanya, pemerintah semestinya tidak defensif, tetapi secara transparan mengakui adanya masalah dalam kualitas makanan yang disediakan.

Bukannya membenahi kondisi objektif persoalan kualitas makanan, pemerintah justru mengamini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan program makan bergizi gratis (MBG) bakal mendapat pengamanan asuransi.

Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) mengatakan saat ini Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sedang menyusun proposal awal yang berisi mekanisme penyelenggaraan produk asuransi untuk program MBG (finansial.bisnis.com).

Adanya asuransi ini seolah perwujudan dari komersialisasi resiko, selalu kuratif profit yang dilakukan dan hampir tak pernah serius mengantisipasi solusi pencegahan/preventif. Semakin jelas watak negara bernafas kapitalisme penghamba uang (ro’su maal: di kepala hanya mikirin uang), penderitaan rakyatpun harus mengutamakan keuntungan para tuannya daripada keselamatan dan kesehatan masyarakat.( Bersambung)

Penulis adalah seorang pengajar di sapah satu SMA di Majalengka.

Total
0
Shares
Previous Article

Empat Hari Menembus Longsor, Saat Kemanusiaan Lebih Kuat dari Medan Berat

Next Article

Danlanud Sultan Hasanuddin Terima Kunjungan Ketua Pansus DPR RI Bahas Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Related Posts