Semiotika ‘Hidup Jokowi!’ Vs Seruan Legislator

 

Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik))

JAKARTA || Ekpos.com – (KM 50 adalah test the water tertinggi sebagai bukti Prabowo menyatakan “bangsa” ini omon-omon).

“Hidup Jokowi!” yang diteriakan oleh Presiden RI, Prabowo Subianto dan sengaja dipublis merupakan bentuk perlawanan penguasa dari sisi pandang psikologi politik dan sebagai test water, sebuah keyakinan kebenaran ‘teori omon-omon’ yang dimaksud Prabowo Subianto saat debat capres di 2024. Dan omon-omon jujur penulis katakan sebagai karya satire yang mengandung filosofi kebenaran dari sisi historis politik moralitas kebangsaan khususnya di era Jokowi dan era temporer.

Karena tujuan dalam konteks teori psikologi politik, menurut beberapa pakar psikologi politik diantaranya Prof. Hamdi Muluk, fungsi psikologi politik adalah untuk memahami perilaku manusia dan peran psikologi politik dalam kehidupan sebuah bangsa, dapat membantu masyarakatnya memilih pemimpin dengan bijak sebaliknya si (calon) pemimpin dan setelah menjadi pemimpin sebagai bagian dari masyarakat tentu dapat mengetahui karakter elemen atau kelompok masyarakat dalam kehidupannya.

Sehingga jika pendapat para pakar dihubungkan dengan perilaku manusia lalu dikembangkan dengan pola memilih pemimpin dan bagaimana pola memimpin, kemudian makna yang lebih luas psikologi politik dapat disimpulkan merupakan metode atau cara memahami tentang:

1. Bagaimana pemimpin dan warga negara menilai praktik pelaksanaan dan akibat kebijakan politik,
2. Konsekuensi kebijakan politik terhadap sistem politik,
3. Bagaimana kepribadian pemimpin memengaruhi persetujuan pengambilan keputusan,
4. Memahami bagaimana kepribadian massa memengaruhi batasan; kepemimpinan,
5. Dapat membuat peta konflik pada kondisi tertentu.

Akhirnya prediktif menurut pemahaman teori dan metode psikologi politik, Prabowo ingin mengetahui (test water) sampai batas sejauh mana bakal perlawanan publik sebagai arus balik terhadap peta konflik (kontroversial) yang Ia ciptakan, apakah sekedar riak kecil dengan ‘omon-omon’ keberatan atau kah akan melahirkan gelombang besar, radikal dan frontal?

Karena Prabowo orang paling dekat Jokowi selama 5 tahun (2019-2024) bahkan dari sisi “politis “mengakui sebagai murid dari Jokowi.

Tentu Prabowo amat paham, banyak elemen tokoh dari berbagai kelompok dan berbagai karakter masyarakat yang vokal dan keras menginginkan “proses hukum dan adili Jokowi” atas kekeliruan serta kesalahannya dalam kebijakan politik ekonomi dan hukum selama berkuasa, bahkan menganggap politik budaya (moralitas) bangsa menjadi rusak akibat revolusi mental, dari kejujuran yang idealnya harus dimiliki seorang pemimpin menjadi kebohongan yang ditolerir, kemanusiaan yang adil dan beradab atau moralitas kepemimpinan yang harusnya role model, oleh Jokowi dilecehkan, dianggap sikap (attitude) yang tidak berharga.

Prabowo sebagai menteri pertahanan dan Ketua Umum partai besar (Gerindra) pun pasti tahu, bahwa publik beberapa kali menggugat perbuatan melawan hukum (1365) yang dilakukan oleh Jokowi selaku penguasa (Onrechmatige overheidsdaad) dan DPR RI melalui litigasi, jalur badan peradilan karena Jokowi telah melakukan faktor 66 kebohongan diantaranya janji akan produksi mobil ESEMKA ternyata zonk dan Jokowi dituduh publik menggunakan ijasah S.1 palsu dari Fakultas Kehutanan UGM lalu Jokowi dilapor pidana melalui pengaduan di institusi Polri termasuk Gibran, Iparnya Anwar Usman, Kaesang dan menantunya Bobby Nst.

Oleh karenanya, segala perbuatan dan perilaku Jokowi dari sisi pertanggungjawaban hukum ketatanegaraan terhadap dampak politik, hukum dan ekonomi yang merugikan bangsa dan negara, adalah hal yang patut dipermasalahkan sebagai beban hukum seorang Presiden RI saat berkuasa oleh sebab RI adalah negara yang berdasar hukum (rechtstaat/rule of law) dan setiap WNI equal atau sama kedudukannya dihadapan hukum.

Sehingga Jokowi oleh publik dianggap holding company atau pabrik kerusakan politik ekonomi dan hukum serta rusaknya moralitas penguasa (moral hazard) di era kepemimpinannya dan akhirnya semua kerusakan moral menjadi residu bagi Prabowo Subianto dan para pemimpin lainnya yang akan datang.

Oleh karenanya, tentu saja publik tidak menerima yel-yel hidup Jokowi, kalimat yang terdiri dua kata ini, adalah sebuah tantangan yang illogical mirip oposisi namun tidak proporsional, karena terbalik, perlawanan dari penguasa justru kepada kehendak rakyat, yang sebelumnya publik menganggap Prabowo adalah saksi kunci dan hakekatnya justru Prabowo selaku anak bangsa substantif merupakan ‘korban dari Jokowi’ karena (menerima residu) dari perilaku kebijakan abnormal dari pola kepemimpinan Jokowi (attitude leadership) sehingga sebagian besar tokoh oposisi yang mendukung Prabowo berharap, setelah Prabowo menjadi orang nomor satu di republik ini, dengan segala kekuasaannya, akan menjadi titik sentral tokoh penguasa tertinggi yang bakal memimpin dan memerintahkan para aparaturnya behavior and law enforcement, atau faktor perilaku dan penegakan hukum mesti dilakukan secara clear and clean ” jelas dan bersih terhadap sosok Jokowi eks Presiden RI ke-7, namun nyatanya kontradiktif serta kontroversial memutus rantai harapan dari para tokoh di berbagai kelompok.

Selanjutnya terhadap peristiwa politik yang kontroversial oleh penguasa “Hidup Jokowi” sebagai perlawanan terhadap akumulasi masyarakat pendukungnya pra maupun yang baru pasca Prabowo jadi presiden oleh sebab pendukung pasca berharap “adili Jokowi”.

Ternyata benar pendapat Prabowo, yel-yel Hidup Jokowi hanya mendapat respon melalui representatif publik yang diwakili oleh perwakilan mahasiswa dengan spanduk berkonten “Indonesia gelap”.

Dan pendekatan politik penguasa saat ini, yang sekedar test water dan nyata memang lahirkan bentuk perlawanan dalam bentuk majas politik cerdas, “Indonesia gelap”. Namun oleh penguasa malah terbukti, bentuk perlawanan tetap bakal tidak berarti, dan memang menurut analisa objektif penulis, faktanya slogan ‘Indonesia gelap’ tidak efektif sebagai moral support bagi publik secara luas, radikal dan bergelombang, yang bisa membuat Prabowo terpaksa menjustifikasi perubahan “yel yel hidup Jokowi” menjadi “adili Jokowi”, inilah salah satu psikologi politik yang berasal dari Jokowi yang Prabowo terapkan, dari contoh konkretnya dari praktik pembelajaran dari Jokowi adalah, perisitiwa kematian 894 orang petugas KPPS Pemilu 2019 dan lebih spesifik terhadap peristiwa unlawful killing KM. 50 di tahun 2020, bahkan, pukulan telak dialami ketika tokoh ulama nomor satu di tanah air HRS yang menuntut proses hukum adili pelaku dan aktor intelektual dader pembunuhan KM. 50, hukum mati dan hukum para penyerta seberat-beratnya, (bahkan) HRS ditengarai justru sebagai salah seorang target korban pembunuhan yang diawali “resmi dilengkapi surat tugas”, akhirnya HRS ditangkap lalu langsung dipenjarakan dalam kasus ecek-ecek ius konsituendum, sekedar melanggar ketentuan prokes covid-19 yang sebenarnya cukup hanya denda, karena klasifikasi kualitas hukumnya sekedar hanya mudah-mudahan berlaku”, kemudian ada split tuduhan dan jeratan tuntutan lainnya kepada HRS melalui pasal kebohongan karena berkata “saya sehat” namun tuntutannya hampir sama dengan para koruptor kelas kakap.

Maka ironis dan tragis, justru alasan surveillance yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, faktanya para tersangkanya tidak ditahan, dan para pelaku sebagai terdakwa juga resmi dibebaskan melalui ketuk palu vonis majelis hakim.

Maka pengalaman shock therapy KM. 50 dan kematian 894 pada era Jokowi, dihubungkan dengan tes water sekedar yel-yel ‘hidup Jokowi’, tentu hal yang amat sepele, nyata sekedar berbalas “Indonesia gelap” tanpa follow up nyata dari publik umumnya, yang ada sekedar euforia gak jelas!

Bahkan triger dari para mahasiswa mandul, tidak efektif sama sekali, namun cukup memuaskan dan lumayan dibanggakan oleh para kelompok masyarakat yang “bak kerasukan setan revolusi mental hasil pencanangan Jokowi,” lalu triger Indonesia gelap sekedar gemericik air lembut di selokan kecil bebatuan, bukan gelombang besar dan radikal dari masyarakat luas. Selanjutnya triger mahasiswa dibantai di ajang kelas adu mulut oleh pejabat publik Wamen “eks kaki tangan Jokowi”, maka langsung aus sekejap, *_Indonesia gelap sudah mulai mendung kembali._*

Namun, beberapa hari yang lalu, 27/2/2025 warta media on line, ada wacana politik yang cukup menarik simpati publik dari seorang Deddy Sitorus, yang nota bene kader Partai PDIP di DPR RI dari komisi 2. Jika disimpulkan rangkuman pernyataannya cukup keras saat hadir dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP), anggota legislator ini menyatakan “hampir 60 % atau sekitar 310 dari total 545 hasil pilkada 2024 digugat ke MK. Sehingga konstasi politik era Jokowi sangat kacau, DPR RI yang memiliki tugas pengawasan hingga penganggaran harusnya merasa malu, lantaran anggaran yang dipakai untuk pelaksanaan Pilkada 2024 menghasilkan pemimpin yang terpilih dari hasil kecurangan pemilu 2024”, sehingga senator yang juga menjabat salah seorang Ketua DPP PDIP mengusulkan, agar KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri, dan termasuk dirinya dan semua anggota DPR RI harusnya mundur sebagai wakil rakyat.

Maka dalam ilmu politik Prabowo yang resmi atas nama Ketum Gerindra (atau atas nama Presiden?), dihari ulang tahun Gerindra ke 17, sudah uji coba (tes water) para kelompok oposisi melalui teriakan hidup Jokowi sebanyak 3 kali ditambah menyanyikan lagu sebagai apresiatif terhadap Jokowi, lalu Prabowo menikmati hasil analisa psikologi politik terhadap bangsa ini, akibat bekal ilmu dari sang guru politik nya Jokowi, yang empirik nyata berhasil selesai menjabat 2 periode presiden, bahkan nyaris memperpanjang jabatan untuk 3 periode, dan Prabowo semakin meyakini, bahwa rakyat eks dibawah kendali Jokowi, yang kini berada dalam genggaman dirinya, SERIUS SEKEDAR OMON-OMON.

Lalu apa yang bakal terjadi, dari tes water Deddy Sitorus terhadap warga PDIP dan umumnya kepada rakyat bangsa ini yang berharap “adili Jokowi” dari kelompok yang beranggapan Jokowi adalah musuh bersama (common enemy), memang pukulan telak kepada Jokowi oleh Deddy Sitorus mengajak seluruh penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan Eksekutif Mendagri) bahkan anggota legislatif hasil pemilu di era Jokowi mundur karena curang dan memalukan, sayang sentuhan kasar dari eks teman petugas partai, pasti tak bakal bermakna, karena Jokowi imunitas rasa malu.

Maka tes water dan atau sebagai triger dari tokoh politik (Deddy, Ketua PDIP) yang sedang adu ilmu atau tantang ilmu kepada Ketua Umum Gerindra, ibarat yang satu menggunakan tenaga gaib dari kulit macan, yang satunya mungkin dari kulit buaya? Maka triger Deddy akan bernasib sama dengan slogan kritik dan informasi politik ekonomi dan hukum dari mahasiswa bahwa Indonesia (bakal) gelap, sebagai wujud perlawanan filosofi yang wise dimaksud sekejap ramai, kini langsung seperti mati suri.

Diyakini pertarungan psikologi politik akan dimenangkan Ketua Umum Gerindra karana ada jabatan melekat sebagai Presiden RI ke 8 dan konstitusional, adapun kunci kemenangan Prabowo dalam memproteksi Jokowi (termasuk Gibran) oleh sebab pubik bangsa ini memang benar “omon-omon” hanya pandai teriak people power itupun dalam berbagai medsos, tanpa nyata turun rame-rame sesuai data empirik yang ada dalam ilustrasi, sehingga lahirkan analogi dari beberapa perisitiwa yang disebut didalam artikel ini. ***

Total
0
Shares
Previous Article

Semarak Ramadan Momentum Jajaran Pemkot Perkuat Komunikasi

Next Article

JOGGO, Fashion Leather Premium dari Jepang Hadir di Indonesia

Related Posts