Selain Jeli Mencari Celah Eksepsi Dakwaan tidak Cermat, Pengacara Hasto Mesti “Radikal”

Damai Hari Lubis (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

JAKARTA || Ekpos.com – Oleh Hasto Kristiyanto atau melalui Para Advokat/Penasihat hukumnya, terhadap dakwaan obstruksi (Pasal 21 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor) terkait dakwaan Obstruksi Gratifikasi oleh KPK, maka terdapat 3 jenis eksepsi untuk mematahkan surat dakwaan KPK yang bisa disampaikan kepada Majelis Hakim:

1. Eksepsi surat dakwaan kabur (obscuri libeli) karena tidak cermat, akibat kan adanya putusan sela/tussen vonnis,
2. Eksepsi Kompetensi absolut (tussen vonnis).
3. Eksepsi Dakwaan Perkara Prematur/dilatoir, putusan akhir atau setalah pemeriksaan pokok perkara (saksi ahli, bukti para pihak dan lain-lain).

Dalam perlawanan hukumnya dalam perkara pidana dengan dakwaan obstruksi (Pasal 21 Jo. Pasal 12B Jo. 12C UU Tipikor) Jo. Gratifikasi, baiknya, Hasto mengarahkan Tim Kuasa Hukumnya agar memberikan perlawanan hukum secara radikal versus dakwaan (tuntutan) KPK, serta tidak melawan dakwaan subjektif KPK dengan pola perlawanan dengan pola yang sama, yakni ikutan subjektif.

Artinya, jika Hasto meyakini dan memang nyata merasa terzolimi oleh KPK tentu mesti selalu inline menggunakan bukti dan peristiwa hukum berikut asas legalitas.

Karena salah satu asas untuk hakim untuk alat pemutus membutuhkan keyakinan berdasarkan conviction in raisonee (dasar hukum yang menjadi dalil/alasan yang logis).

Dan Hakim pun bila ternyata surat dakwaan KPK pada susunan kronologisnya tidak memenuhi syarat formil Jo. Pasal 143 KUHAP atau dakwaan tidak memenuhi syarat ketentuan “dakwaan harus cermat” dan tidak berkesinambungan, maka berdasarkan Pasal 144 KUHAP ‘tanpa adanya Eksepsi dari Kuasa Hukum Terdakwa’, maka analogis dan konsekuensi logis hakekatnya, Majelis hakim, karena jabatannya (aamsalve), dapat memutus melalui putusan sela, yang isinya menyatakan dakwaan itu batal atau tidak dapat diterima Jo. alas dasar asas Kemandirian dan Hak Hakim berlaku Progresif dan selaku Fungsi Kontrol Jo. UU. Tentang Kekuasan Kehakiman (UU. RI Nomor 48 Tahun 2009).

Selain dikarenakan Para Hakim pasti dianggap lebih tahu hal hukum (ius curia novit), sehingga tentu terlebih keberlakuan asas Mandiri dan Progresif menemukan hukum dan fungsi peran sosial kontrol, menjadikan Majelis Hakim benar-benar dan sungguh-sungguh sesua fungsi utamanya (kewenangan) memutus atau menjatuhkan vonis didalam setiap perkara yang mereka gelar, terlebih asas semua orang (awam) terikat akan fiksi hukum (presumptio iures de iur) atau asas hukum yang menyatakan semua orang dianggap tahu akan eksistensi Pasal 143 dan Pasal 144 KUHAP, maka selebihnya makna lain sebagai keharusan untuk para hakim (curia novit) yang ‘dianggap serba mengetahui seluruh isi Kitab (KUHAP) bahkan seluruh sistem hukum yang berlaku’.

Selebihnya Kuasa Hukum Hasto mesti terus memberikan keyakinan kepada para hakim terhadap perilaku KPK yang suka belaku tebang pilih, dan khususnya dalam hal dakwaan pun kuasa hukum tidak keliru atau melanggar undang-undang/KUHAP, walau belum masuk kepada pokok atau objek perkara, agar berupaya menyisipkan alasan hukum untuk memberi keyakinan kepada hakim, sehingga hakim yang memiliki hak atas asas conviction in time (keyakinan nurani) dapat menerima eksepsi (Eksepsi Obscur) dan Eksepsi Kompetensi absolut andai Para Advokat/Penasihat Hukum menemukan adanya bahwa isi dakwaan ternyata merupakan jurisdiksi peradilan lain sehingga bukan gratifikasi Jo. Tipikor serta mutatis mutandis tidak bermuara pada UU. Dan Peradilan Tipikor, justru ternyata isi dakwaan merupakan tuduhan pemerasan atau penipuan dan atau penggelapan? Maka diantara dua eksepsi (obscuri libelli dan Kompetensi Absolut) mudah-mudahan mendapatkan putusan sela yang membebaskan Hasto dari dakwaan.

Serta alasan lain eksepsi, bahwa Terdakwa (Hasto dan DPO Harun Masiku) bukan Pejabat Publik, bukan Penyelenggara Negara dan bukan pula ASN/PNS.

Kemudian selanjutnya andai Tim Hukum Hasto, memiliki data tentang kekeliruan terkait kewenangan mengadili atau kompetensi absolut, maka dapat saja menghubungkan dengan Eksepsi Dilatoir, dengan alasan hukum bahwa dakwaan prematur, karena sejak status TSK sampai dengan dijadikannya Hasto sebagai Terdakwa saat dibacakannya surat dakwaan, sejatinya dakwaan nihil atau tanpa adanya BAP pengakuan dari Tokoh Utama (dader/pleger) yaitu Harun Masiku (TSK DPO) daripada eksistensi tuduhan Gratifikasi dan termasuk menyampaikan bukti putusan inkracht bahwa Wahyu Setiawan anggota KPU RI mantan terpidana yang dituduh menerima gratifikasi, terdapat pengakuan dari Wahyu Setiawan, baik dalam tahap penyidikan (BAP) maupun selaku terdakwa, bukti putusan (naskah putusan dilampirkan) sesuai tertera dalam vonis hakim yang Pertimbangan Hukum,lnya menyatakan secara jelas-jelas tertulis, “bahwa Wahyu Tidak Pernah Menerima Uang Suap dari Terdakwa Hasto, melainkan dari Harun Masiku dan selainnya (yang bukan Hasto)”, sehingga perspektif logika hukumnya atas dasar apa Hasto dijadikan Terdakwa? Bagaimana kelak andai Harun Masiku ditemukan (tertangkap) dan selanjutnya ternyata dalam BAP Harun Masiku menyatakan, “Hasto tidak terlibat gratifikasi antara dirinya dengan eks terpidana Wahyu Setiawan”.

Maka tidak mustahil, eksepsi Hasto dapat diterima kelak saat setelah selesainya pemeriksaan pada pokok perkara (putusan dilatoir).

Namun lacur nya apabila Hasto dinyatakan harus dibebaskan sementara (putusan dilatoir) oleh sebab dakwaan prematur, namun ternyata Hasto sudah mendekam dalam penjara sehingga mengalami kerugian psikologis untuk hidup dan kebebasan untuk bergerak selama dirinya dipenjara, dan tentu saja indikasi hukumnya ada pelanggaran HAM.

Dalam tahapan pleidooi (setelah requisitoir) andai eksepsi ditolak, Kuasa Hukum Terdakwa Hasto dan para penasihat hukumnya (advokat) mesti terus memberikan keyakinan kepada Hakim, agar hakim menggunakan hak-hak lainya yang Hakim miliki, yakni bukti perilaku lembaga anti rasuah sudah sepengetahuan umum (notoire feiten), tentu andai Hasto memiliki dengan disertai bukti-bukti yang konkrit, terkait perspektif publik serta mencakup logika hukum, sebagai tambahan asupan keyakinan terhadap track record KPK yang tebang pilih atau peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan dakwaan serta dengan politik kekuasaan yang bisa membuktikan kentalnya aroma subjektivitas KPK (tidak akuntabel) dalam perkara a quo in casu yang terbukti dengan data dan fakta (empirik) bahwa KPK dalam mendakwa dan menuntut dirinya tidak pure hukum, melainkan melulu merupakan pesanan dan tekanan politik dari seseorang terhadap Terdakwa (Hasto) melalui penyidik atau Jaksa Penuntut KPK.

Hal hal terkait bukti notoire feiten ini amat dibutuhkan Hasto, karena bisa jadi berhubungan atau dapat dihubungkan oleh Majelis Hakim yang berlaku objektif terhadap keberadaan eksepsi dilatoir, maka bukan hal yang tidak mungkin diterima, maka Majelis Hakim membebaskan Hasto oleh sebab perkara prematur.

Sehingga dapat disimpulkan demi kepastian dan manfaat hukum, agar para Hakim mendapatkan atau menemukan kebenaran materil (materiele waarheid) yang diharapkan oleh Hasto maupun KPK dan masyarakat pemerhati dan pencahari keadilan oleh karenanya terhadap perjalanan persidangan a quo in casu Jo. Dakwaan/Tuntutan obstruksi gratifikasi, Hasto dan atau kuasa hukum dan juga JPU. harus membekali diri dengan banyak bukti faktual yang sah dan berkekuatan hukum agar selain dapat meyakinkan Para Hakim di persidangan juga untuk mendapatkan hakekat fungsi hukum yang tertinggi yakni rasa keadilan (gerechtigheid/Justice).

Total
0
Shares
Previous Article

Wamen Ossy: Siap Dukung Penanganan Banjir Melalui Tata Ruang dan Pengadaan Tanah

Next Article

Indonesia Kondusif Melalui Politik One Way Ticket, Proses Hukum Adili Jokowi

Related Posts