Oleh: A.Rusdiana
Di dalam Ramadhan umat Islam dianugerahi sebuah malam spesial bernama Lailatul Qadar yang setara dengan seribu bulan. Artinya melakukan satu amal kebaikan pada malam itu setara dengan seribu amal kebaikan pada malam-malam di luarnya. Tidurnya orang berpuasa bernilai ibadah, diamnya orang yang berpuasa bernilai tasbih, doanya dikabulkan, dan balasan atas perbuatan baiknya dilipatgandakan.
Artinya: Setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Allah memberikan anugerah yang luar biasa semacam itu? Hal ini bisa dipahami setidaknya dalam dua sudut pandang. Pertama, ini merupakan kemurahan dari Allah untuk hamba-Nya. Sebagaimana Allah mengistimewakan hari Jumat di tengah hari-hari lain dalam satu minggu, Allah pun mengistimewakan Ramadhan di tengah bulan-bulan lain dalam satu tahun. Momen tersebut menjadi kesempatan terbaik bagi setiap hamba dalam meningkatkan amal ibadah. Kedua, Ramadhan juga bisa dibaca sebagai sindiran kepada mereka yang umumnya terlalu tenggelam dengan kesibukan duniawi. Jam-jamnya, hari-harinya, dan bulan-bulannya, dipenuhi dengan aktivitas untuk kepentingan dirinya sendiri atau paling jauh untuk keluarga sendiri.
Kegiatan yang benar-benar diniatkan untuk ibadah mendekatkan diri kepada Allah nyaris terlupakan. Kita sering mendengar seorang ibu yang merayu anaknya dengan iming-iming hadiah untuk mencegahnya dari tindakan-tindakan bandel tertentu.
Jangan-jangan Ramadhan adalah hadiah karena Allah tahu kita terlalu “bandel”, tak cukup waktu untuk bermesraan dengan-Nya, tak banyak waktu untuk mengingat-Nya. Itulah mengapa pada malam Lailatul Qadar kita justru dianjurkan banyak meminta ampun dengan membaca:
Artinya: Ya Allah Engkaulah maha pengampun, senang kepada ampunan, maka ampunilah aku.
Anjuran memohon ampunan adalah sinyal bahwa umat manusia memiliki kecenderungan berbuat lalai dan dosa. Ini adalah pesan tentang pentingnya muhasabah atau introspeksi diri seberapa besar kesalahan kita selama ini, ada empat pertanyaan yang perlu dijelaskan, diantaranya: Sudahkah seluruh harta yang kita makan didapatkan dengan cara yang halal? Sudahkah kita bebas dari tindakan menyakiti orang lain? Seberapa ikhlas kita meninfakkan sebagian kekayaan kita untuk di luar kepentingan kita? Seberapa semangat kita beribadah dibanding semangat kita melakukan aktivitas dunia?
Pertama: Sudahkah seluruh harta yang kita makan didapatkan dengan cara yang halal? Pertanyaan ini menggugah kesadaran spiritual terdalam. Dalam Islam, keberkahan hidup sangat erat kaitannya dengan kehalalan sumber rezeki. Makanan yang masuk ke tubuh tidak hanya memengaruhi kesehatan jasmani, tetapi juga ruhani. Makan dari harta yang haram, seperti hasil korupsi, riba, manipulasi, atau menipu orang lain, dapat mengeraskan hati, mempersulit doa terkabul, dan menjauhkan dari keberkahan hidup. Untuk hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati sahabat Ka’ab,
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.”(HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Maka, penting untuk senantiasa muhasabah terhadap sumber penghasilan kita: apakah pekerjaan kita bersih dari unsur penipuan? Apakah kita adil dalam urusan bisnis dan upah pekerja? Apakah kita menjaga integritas dalam setiap transaksi? Kehalalan tidak hanya soal label, tapi juga menyangkut kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab moral. Oleh karena itu, memastikan bahwa seluruh harta yang kita konsumsi adalah halal merupakan bagian dari ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Ini juga menunjukkan rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan-Nya dengan cara yang diridhai.
Kedua: Sudahkah kita bebas dari tindakan menyakiti orang lain?; Manusia adalah makhluk sosial, dan interaksi dengan sesama adalah keniscayaan. Dalam proses tersebut, sangat mungkin tanpa sadar kita menyakiti orang lain, baik melalui ucapan, tindakan, sikap, bahkan diam yang bermakna penolakan. Dalam (Ash-Shahih juga) dari Abu Hurairah secara marfu’ Rasulullah bersabda;
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”
Ini menjadi tolok ukur akhlak yang luhur. Menyakiti bisa dalam bentuk ghibah, fitnah, mengabaikan tanggung jawab, atau tidak menghargai perasaan dan hak orang lain. Bahkan dalam hubungan keluarga pun, kita bisa tergelincir dalam sikap kasar, tidak peduli, atau tidak adil. Maka introspeksi sangat penting: sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan yang kita sadari maupun yang tidak? Sudahkah kita memperbaiki hubungan yang retak karena sikap egois kita? Membersihkan hati dari rasa dendam, iri, dan arogansi adalah langkah penting menuju kebebasan dari perilaku menyakiti. Sebab, manusia terbaik bukan yang hanya banyak ibadahnya, tapi yang kehadirannya menjadi rahmat bagi orang di sekitarnya.
Ketiga: Seberapa ikhlas kita menafkahkan sebagian kekayaan kita untuk di luar kepentingan kita? Keikhlasan dalam menafkahkan harta menjadi indikator kekuatan iman seseorang. Firman Allah memuji mereka yang menafkahkan hartanya di waktu lapang maupun sempit;
“…..(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran [3]:134).
Dalam kenyataan, banyak yang dermawan saat memiliki banyak, tetapi kikir saat rezeki terbatas. Bahkan lebih banyak lagi yang memberi hanya jika ada pujian atau balasan. Inilah yang membedakan sedekah biasa dengan sedekah yang ikhlas yang dilakukan semata-mata karena Allah. Memberi kepada orang lain tanpa mengharap imbalan adalah bentuk tertinggi dari pengendalian diri dan cinta kasih. Ia memahami bahwa harta hanyalah titipan yang harus disalurkan kepada yang membutuhkan. Apakah kita rela berkurang agar orang lain bertambah? Apakah kita mampu menginfakkan harta yang kita sukai, bukan hanya yang sudah tak terpakai? Jika belum, maka kita masih berada dalam zona cinta dunia yang menyesatkan. Latihan ikhlas bisa dimulai dari sedekah kecil tapi rutin, membantu tanpa pamrih, dan merelakan bagian terbaik dari milik kita untuk kepentingan umat. Di situlah letak nilai spiritual dan sosial sedekah yang sejati.
Keempat: Seberapa semangat kita beribadah dibanding semangat kita melakukan aktivitas dunia? Dalam kehidupan sehari-hari, kita mudah bersemangat bangun pagi untuk bekerja, menghadiri rapat, mengejar target, atau menjalankan proyek duniawi. Tapi saat tiba waktu shalat subuh, atau ketika ada ajakan untuk menghadiri majelis ilmu, kita sering merasa berat. Ini adalah cerminan ketimpangan antara semangat dunia dan akhirat. Padahal, Allah berfirman bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati;
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS. Al-Ankabut [29]: 64).
Maka pertanyaannya, mengapa kita lebih giat mencari dunia yang fana daripada mengejar pahala yang abadi? Semangat beribadah harus dibangun dengan pemahaman mendalam tentang makna ibadah, bukan sekadar kewajiban, tetapi juga kebutuhan jiwa. Shalat, puasa, zikir, dan amal lainnya adalah cara untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih ketenangan hakiki. Mengatur ulang prioritas hidup dengan menempatkan akhirat sebagai tujuan utama akan menjadikan aktivitas dunia tidak sekadar pekerjaan, tapi juga ibadah. Maka mari bertanya pada diri sendiri: jika semangat mengejar dunia begitu besar, mengapa semangat mengejar ridha Allah tidak lebih besar lagi?
Pembicaraan ampunan juga muncul dalam janji pada sebuah hadits bahwa siapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan mendapat ampunan atas dosa-dosanya yang telah lewat (man shâma ramadhâna îmânan wa-htisâbah ghufira lahu mâ taqaddama min dzanbihi). Ini juga menyiratkan pesan tentang betapa manusia telah melewati hari-hari mereka dengan penuh kedurhakaan. Melalui Ramadhan dan Lailatul Qadar, dosa-dosa yang pernah kita lakukan diharapkan terhapuskan.
Memahami Ramadhan sebagai momen koreksi diri merupakan hal yang penting agar kita menghargai waktu dengan cara mengisinya secara positif dan memiliki kaitan dengan pendekatan diri kepada Allah subhânahu wata‘âlâ. Tidak meremehkan bulan-bulan di luar Ramadhan. Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan dengan mengutip hadits dalam kitab Ayyuhal Walad:
Artinya: Pertanda bahwa Allah ta’ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.
*Artikel ini adalah esensi Khutbah Jumat,11 April 2025
*Penyusun, Gubes, dosen, tutor manajemen pendidikan, pembina YPI Al-Misbah Kota Bandung-YPI Tresna Bhakti.